Barusan saya selesai menonton film Galih dan
Ratna tahun 2017. Saya tertarik menonton film ini karena tertarik dengan
trailernya beberapa waktu lalu di tivi swasta. Selain itu saya juga menyukai
film Gita Cinta dari SMA dimana karakter utama yang diperankan oleh Rano Karno
dan Yessy Gusman, bernama Galih dan Ratna. Bahkan baru setelah menonton film
ini saya baru sadar kalo judul Asli filmnya adalah Gita CInta dari SMA. Selama
ini kupikir judulnya Galih dan Ratna. Hahahaha.
Oh iya, Film Galih dan Ratna ini memang terinspirasi dari film dan novel Gita Cinta
dari SMA karya Eddi D Iskandar. Tapi
dari segi cerita film Galih dan Ratna ini tidak ada kaitannya dengan
Film Gita CInta dari SMA. Meski penonton akan menemukan Rano Karno dan Yessy
Gusman sebagai cameo di film ini.
Film ini berkisah tentang Ratna yang pindah ke
Bogor, dititipi ke tantenya karena Bokapnya pindah kerja di luar negeri.
Awalnya Ratna tidak bersemangat, hingga kemudian dia bertemu Galih di hari
pertama sekolah. Ia melihat Galih sebagai sosok yang misterius. Galih juga
bukan tipe bintang sekolah dan digilai cewek-cewek. Prestasinya hanyalah karena
ia cerdas. Ia tidak masuk dalam jajaran cowok keren nan atletis yang diteriaki
di pinggir lapangan karena mencetak slumdunk. Ia cowok pendiam dengan walkman
dan kaset sebagai teman.
Ratna menyukai Galih saat pertama ia
melihatnya. Kemudian ia memberanikan
diri berkenalan. Tidak butuh waktu lama untuk keduanya saling menyukai. Malah
menurutku PDKT hingga jadiannya hanya
beberapa scene yang begitu cepat. Mereka saling follow di twitter, kemudian
Ratna mengunjungi toko kaset tua milik Alm.Ayah Galih. Selanjutnya Galih
membuat mix tape but Ratna. Yang menurut tantenya adalah serupa suarat cinta di
jamannya. Scene berikutnya Ratna lari menuju toko kaset Galih dan momen
berikutnya saling bertatapan dan ciuman.
Buat saya adegan ciuman di scene ini harusnya
tak perlu ada. Ciuman harusnya bukan menjadi satu-satunya pernyataan kalo
keduanya saling mencintainya. Adegan
Ratna berusaha mencari tape player yang
membuatnya harus naik angkot Bogor demi mendengar kaset Galih, kemudian dia
berlari masuk ke toko Galih. Selanjutnya slow motion yang makin menegaskan
bahwa ada cinta yang tengah menggebu sudah cukup terwakilkan. Kalo pun harus
ada kontak fisik, sekedar bergandengan tangan atau memeluk cukup sudah. Kalo pun ciuman, keninglah yang cocok. Ga
usah bibir sama bibir. Soalnya masih SMA. (Ini uneg-uneg mamak-mamak yang punya anak perempuan).
Cerita bergulir. Ratna pacaran dengan Galih.
Membantu Galih yang berusaha mempertahan toko kaset ayahnya sementara mamanya
ingin toko itu dijual untuk biaya kuliah Galih. Mereka membuat toko kaset itu
eye catching, jualan mix tape buat biayain renovasi. Oh iya, Ratna sempat
mempertanyakan mengapa harga kasetnya yang cukup langka sangat murah. Harusnya
bisa menjadi buruan kolektor. Nah, aku
sepakat nih sama Ratna. Harusnya Galih menjual kasetnya via online dengan
harga yang lebih tinggi agar untungnya juga lebih tinggi. Beberapa toko kaset
dan CD yang bertahan di mal-mal melakukannya cara ini.
Berikutnya yang cukup menggelitik saya adalah
ketika ada razia ga boleh berjualan di sekolah. Saya sedikit agak bertanya-tanya,
mengapa? Padahal kalo dikurikulum sekolah-sekolah swasta zaman now, anak SD
udah diajarin untuk jualan. Menjadi enterprenaur sejak dini. Terus kok di film ini mereka dilarang jualan
ya? Padahal yang mereka jual juga bukan narkoba. Sempat sih gurunya menyinggung
kalo mix tape itu bentuk pembajakan yang pantas dirazia. Tapi yang menjadi
penekanan saya adalah mengapa dilarang jualan? Atau maksud film ini adalah sekolah ini masih
menggunakan peraturan lama dengan guru-guru yang masih dari jaman old. Bisa jadi begitu.
Selanjutnya dengan karakter mama Galih yang
memaksa menjual toko kasetnya, sedangkan Galih dan Ratna telah berusaha membuat
toko itu bangkit kembali. Harusnya sih kenapa ga biarkan anak-anak itu terus
mengembangkan kreativitasnya untuk berjualan di toko itu. Mungkin udah ga ada
yang suka beli kaset, tapi manusia-manusia digital selalu pengen mengenang
masa-masa analog. Coba kalo mereka mengubah tempat itu jadi kafe buku dengan
memberikan sentuhan akan musik-musik dari kaset. Atau menyediakan tempat untuk membuat mix tape
sendiri. Dijamin keren. Pasti
instragramable dan layak dikunjungi.
Tapi ya…overall…film ini lumayan menghibur.
Sajian Kota Bogor yang ga ada macetnya (padahal kenyataannya macet banget) dan liat mukanya Bima Arya jogging di kebun
raya cukup menyenangkan. Aktor dan aktris utamanya cukup bagus, meski beberapa pemain pendukungnya ga terlalu
bagus. At least pemeran Galih dan Ratna bukan artis yang mukanya sering banget
di layar lebar. Ending film ini pun sama
dengan film Gita CInta dari SMA. Keduanya memilih jalan masing-masing. Cukup memuaskanlah. Aku kasi nilai B.
Bogor, 20 Nov 2017
pengen nonton juga Ara Anna
ReplyDeletekayaknya sekarang film2 Indonesia udah terpengaruh film korea deh mm Ara... setuju banget...kenapa sih ngga pakai adegan yang lebih sopan untuk anak remaja.
ReplyDeleteIya ummi. aku kesel dibagian mereka ciuman. Hahaha. Pengen nyanyiin lagu Chrisye "Engkau masih anak sekolah satu SMA. Belum tepat waktu tuk begitu begini...." :D
Delete