Setiap oktober musim gugur telah mencapai puncak. Suhu udara jatuh menuju titik rendah tiap harinya. Hingga di bulan november dan desember musim berganti menjadi dingin.
Namun oktober tidak hanya sekedar musim gugur, daun merah dan kuning, serta udara dingin yang terasa menusuk. Oktober adalah saat labu-labu kuning besar tersusun rapi depan walmart dengan plan diskon besar. Juga pie labu kuning yang terasa aneh di lidahku. Dan aneka kostum putri, pahlawan super, topeng presiden, hingga topeng seram dan pernak-pernik laba-laba, tukang sihir, dan segala hal yang menyeramkan lainnya. Oktober adalah Halloween. Perayaan bangsa Celtic kuno yang berkaitan dengan masa berakhirnya musim panas dan dimulainya musim dingin. Mereka meyakini bahwa pintu batas alam roh dan alam manusia mengabur, sehingga roh-roh bisa datang ke bumi. Karenanya topeng-topeng seram digunakan untuk mengelabui para roh yang hendak ke bumi.
Halloween mengalami akulturasi budaya dan agama. Di masa kini halloween dirayakan sebagai hari libur yang mengasikkan tanpa dicampuri mistik dan tahayul. Tak hanya anak-anak yang sibuk memilih kostum, namun juga para remaja dan orang dewasa.
Di kota kecil seperti Athens, OH perayaan seperti Halloween sangat terasa atmosfernya. Kota kecil ini terkenal sebagai college town karena Ohio University sebagai pusat kota ikut mendekorasi kota mereka. Labu-labu berukir wajah seram dan hantu duduk rapi di teras rumah. Pohon-pohon dihiasi gambar laba-laba besar, lampion labu, tengkorak, hingga nisan. Asrama dan apartemen mahasiswa tidak luput dari dekorasi halloween.
Baik kampus maupun pemerintah setempat membuat acara bertema halloween. Trick or treat untuk anak-anak, carving pumpkin di kampus, serta karnaval kostum dan live music di court street sebagai puncak acara Halloween di 31 oktober. Aneka kostum dipakai oleh para orang dewasa yang mayoritas mahasiswa. Mulai dari kostum minion, lego, mario bross, hingga kesatria templar.
Angin musim dingin terasa menusuk hingga ke tulang. Jaket yang kukenakan tidak sanggup menghangatkan tubuhku. Beberapa perempuan berpakaian minim dengan sayap kupu- kupu lewat di depanku. Entah bagaimana mereka mampu menahan hawa dingin yang hampir membekukan ini. Mungkin tubuh mereka telah beradaptasi dengan suhu lingkungan. Tidak sepertiku yang berasal dari negeri tropis.
Ini adalah perayaan Halloween pertamaku. Di Indonesia, saya tidak akan buang-buang waktu untuk merayakan Halloween ini. Perayaan Halloween di Indonesia biasanya dilakukan di pub atau klab malam sebagai tema sebuah pesta. Agak aneh merayakan Halloween yang notabenenya bukan tradisi yang mengakar di Indonesia.
Anyway, karena ini adalah Halloween pertama saya maka saya memilih untuk mencari tahu bagaimana perayaan halloween yang sebenarnya. Maksudku, bukan sekedar karnaval, pesta kostum, dan minum beer di club di bilangan court street. Tapi perayaan Halloween yang mungkin agak mistis atau sekedar mencari suasana yang memang seram. Sebelum datang ke Athens untuk melanjutkan sekolah, saya sudah mengoogling seperti apa kota kecil yang lebih mirip kampung daripada kota. Hasilnya adalah Athens masuk dalam urutan pertama kota paling berhantu di Amerika Serikat. Ketika membaca informasi tersebut bayanganku adalah kota yang sepi, tidak ada pemukiman kecuali sebuah pompa bensin tua dan toko yang tidak berpenghuni sebagaimana yang sering digambarkan di film-film horor. Namun, dua bulan sejak kedatangan saya ke sini, imajinasi itu jauh dari kenyataan. Kota dengan down town di wilayah kampus OU dan court street cukup ramai dengan berbagai toko-toko serta bar dan cafe yang selalu dipenuhi mahasiswa. Setiap malam minggu bar-bar itu penuh oleh orang-orang yang merayakan weekend. Bukanlah hal aneh jika tiap minggu para polisi berjaga di sekitar asrama mahasiswa yang berpesta dan memasang lampu super besar untuk menghindari perkelahian atau hal-hal yang tidak diinginkan lainnya.
Maka setelah melihat karnaval kostum yang disponsori oleh sebuah toko di court street, saya memilih menunggu Helen, teman kelas saya untuk menghadiri sebuah tour Halloween di Ridges. Saya menemukan pamflet tour tersebut tertempel di depan pengumuman. The Ridges lah yang membuat Athens menjadi kota paling berhantu di Amerika Serikat. Saat Halloween seperti ini tidak jarang orang-orang datang dari berbagai kota hanya untuk merayakan halloween di Athens. Mengapa? Karena penasaran itulah maka saya mengajak Helen untuk ikut tour menggunakan kereta kuda di kawasan The Ridges.
Helen menjemputku di Donkey cafe. Kostum halloweennya hanya sebuah topeng manik-manik berwarna ungu metalik. Kusambar topi sihir seharga 1 dollar yang kubeli di Walmart tempo hari dan bergegas menuju mobilnya. Udara dingin menggelitik sementara hingar bingar pesta mulai berdetak di jantung kota.
"Are you ready?" Tanya Helen padaku. "Sure" kataku dengan gigi gemelutuk. Heater mobil berhasil menghangatkan tubuhku yang telah menggigil.
Jalanan ramai oleh orang-orang yang berpesta di halaman rumah. Berbeque dan bir adalah penghangat malam. Athens Cemetery pun tidak luput dari keramaian. Perkuburan ini menjadi salah satu sebab mengapa Athens disebut sebagai kota paling berhantu di US. Ditemukan bentuk pentagram di perkuburan tersebut. Beberapa rumor menyebutkan bahwa Athens adalah pusat dari pentagram bagi paganisme. Tapi tujuan kami bukanlah berkunjung ke kuburan itu. Mobil Helen melaju pelan di atas aspal membawa kami menjauhi keramaian kota. Di sisi jalan pohon-pohon yang meranggas berdiri layaknya tengkorak kayu dengan bayang-bayang panjang. Jalanan sepi hanya sesekali mobil kami berpapasan dengan pengendara lain. Helen membelokkan mobilnya menuju perbukitan. Perlahan merangkak di jalan menanjak. Sebuah bangunan bergaya victorian berdiri tegak seperti perempuan tua yang anggun. Lampu penerang sangat minim. Yang menyala Hanya satu di pintu utama yang sekarang digunakan sebagai kennedy museum of Art. Dugaanku hanya bangunan yang masih dimanfaatkan yang diberi penerangan sisanya dibiarkan gelap. Dua keret kuda telah menunggu untuk membawa para peserta tour ke berkeliling The Ridges. Beberapa mobil telah terparkir. Orang- orang mulai berkumpul. Beberapa menggunakan tudung hitam sehingga tampak seperti domentor di buku Harry Potter. Beberapa menggunakan kostum zombie dan tengkorakz Syarat tour ini adalah tidak menggunakan kostum yang mencolok kecuali pada riasan. Mungkin untuk menambah suasana seram di malam Halloween. Tanpa kostum seperti itu pun, suasana tempat ini sudah menyeramkan. Bulu kudukku bergidik.
Hanya sedikit yang mengikuti tour ini. Dalam pamfletnya penyelenggara memang sengaja membatasi jumlah peserta biar tidak terlalu banyak dan lebih mudah diatur. Dua kereta kuda telah diatur bersiap mengantar para peserta tour. Kusir kereta yang kami tumpangi berperawakan besar dengan jenggot panjang dam topi tinggi berwarna hitam. Suaranya terdengar berat saat menyambut kami. Suara sepatu kuda berderap di keremangan malam.
" Selamat datang di The Ridges. Saya Joe, pemandu anda malam ini. Apakah anda merasakan bulu kuduk anda berdiri? Jangan terlalu cepat ketakutan karena tour ini akan membawa anda ke suasana yang lebih seram lagi" katanya sambil tertawa. Dia berusaha mencairkan ketegangan sayangnya tidak ada yang menanggapi candaan itu sebagai sesuatu yang lucu.
Derap kaki kuda berjalan perlahan di jalan beraspal yang mengitari The Ridges.
"Dulunya bangunan ini bekas rumah sakit jiwa yang dikenal dengan Athens Lunatic Asylum" terang Joe memulai tournya. Dibangun pada tahun 1868 dan mulai dioperasikan pada tahun 1874 hingga tahun 1993. Rumah sakit khusus untuk penderita penyakit mental ini melayani pasien korban perang, veteran, anak-anak, dan masyarakat umum.
Kuda kereta kami berjalan pelan mengikuti ayunan tali kekang yang dikendalikan Joe. "Di masa lalu pemyakit mental disebabkan oleh hal- hal yang menurut orang zaman sekarang cukup aneh. Banyak pasien pria yang menderita gangguan mental karena masturbasi. Atau untuk perempuan karena memasuki masa menepouse. Entah mengapa masturbasi dan manepouse dianggap penyakit gila saat itu. Saya tidak lagi memperhatikan penjelasan Joe. Saya sibuk memperhatikan bangunan-bangunan The Ridges , tiba-tiba "Prang". Kaca jendela di salah satu bangunan pecah. Kuda kereta kami terkejut dan meringkik kuat menguncang kereta dan membuat semua orang panik.
Yang terjadi berikutnya saya berada di sebuah istal kuda bersama perempuan muda. "Ini bukan di the Ridges" kataku terkejut. " Ini dimana?" Tanyaku pada perempuan muda itu. Namun ia mengabaikanku. Sisi belakang kepalaku terasa berdenyut. Tapi tak kuhiraukan. Saya tidak lagi bersama para peserta tour lainnya. Ini ditempat yang lain dan suasana yang lain. Perempuan dihadapanku menghampiri sebuah kuda dan mengelus-elusnya. Ia mengenakan baju model tahun 1970an. Celana panjang cutbray dengan rambut dipotong pendek dan mengembang. Kuda itu mendengus halus dan mengentakkan kakinya, senang.
Seorang pria menghampiri dan memeluknya. Menggunakan topi koboi. Kemeja dan celana khakynya lusuh. Perempuan itu tidak terkejut dan tidak pula marah. Ia berbalik dan membalas pelukan pria tersebut. Tak ada dialog diantara keduanya. Namun mata mereka memancarkan kerinduan yang dalam.
Kehadiran saya tidak mereka sadari. Saya tetap berdiri diistal itu berjarak kurang lebih 10 meter dari sepasang kekasih itu. "Hei", suara pria yang cukup keras dan berat mengagetkan saya dan pasangan itu. Perempuan itu berdiri ketakutan. Dengan cepat sang kekasih berdiri di depannya. Melindunginya.
"Margaret, apa yang kamu lakukan bersama pria itu?", teriak pria paruh baya tersebut.
Perempuan bernama Margaret itu berdiri ketakutan. Tangannya sibuk bergerak seperti menjelaskan sesuatu. Dia berusaha berbicara, namun hanya suara tak jelas yang keluar dari mulutnya. Saya pun menyadari perempuan itu tidak mampu berbicara tapi ia mampu mengerti saat orang berbicara.
"Margaret tak bersalah Mr. Schilling. Kami saling mencintai. Biarkan kami bersama" kata pria itu.
Mr. Schilling berang, "Sudah cukup. Kamu hanya penjaga kuda-kuda di sini. Berani-beraninya mencintai anakku". Diayunkannya tangannya dihadapan pria it dan...buk. Telapak tangannya mendarat di pelipis Margaret yang kemudian jatuh dan kejang.
Mr. Schilling terkejut. Ia tak bermaksud menampar anaknya. Tamparan itu ia tujukan untuk sang penjaga kandang yang adalah pekerjanya sendiri. Namun, Margaret begitu cepat menghalanginya sehingga tamparan itu mengenainya. Drama itu berlangsung cepat di hadapanku tanpa pernah mereka menyadari kehadiranku.
Berikutnya saya berdiri di The Ridges. Ramai. Orang-orang berlalu lalang. Beberapa berjaket dokter, beberapa yang hanya duduk dan menatap kosong. Hingga seorang pria paruh baya menarik kasar seorang perempuan yang sedang mengamuk. Perawat menyuntikkannya obat penenang yang seketika itu membuatnya lemas.
"Margaret menderita epilepsi, Mr. Schilling. Sebaiknya ia dirawat di rumah sakit ini", jelas seorang dokter kepada pria paruh baya itu. Mr. Schilling menatap wajah anaknya yang dibawa ke ruang perawatan. Kulihat pria yang dikandang tadi menghampiri Mr. Schilling. "Ada apa dengan Margaret, Mr. Schilling?".
"John, jangan pernah menganggu Margaret lagi"
"Tapi, kami saling mencintai, Mr. Schilling. Harusnya anda mementingkan kebahagiaannya", ucap John, kasar.
"Jangan menguliahiku tentang kabahagiaan, anak muda. Margaret tidak akan seperti ini jika kamu menjauh darinya. Jangan pernah lagi mendekatinya", kata Mr. Schilling kemudian berlalu.
Serupa kabut, pemandangan di depanku mengabur. Kemudian saya berdiri di ruang kamar yang cukup besar. Sebuah ranjang sempit dengan seprai putih dan bantal tipis di atasnya. Lemari kecil di sampingnya. Sebuah kursi yang menghadap ke jendela. Seorang perempuan duduk dan menatap lurus. Sebuah kertas tergenggam lusuh di jemarinya. Tubuhnya menggigil. Gaun putih yang ia kenakan tidak cukup memberinya kehangatan. Di luar jendela petang menjelang dan salju turun perlahan.
Pintu terbuka. Dua orang perawat menghampirinya. Seketika itu juga ia berteriak dan mengamuk. Perawat tersebut memegangi kedua lengannya. Sekuat tenaga ia meronta-ronta. Cengkraman kedua petugas itu serupa jerat yang kian membelitnya. Ia dibawa ke sebuah ruang yang nampak seperti ruang operasi.
Tapi tak ada meja operasi di sana. Yang ada hanyalah sebuah kursi dengan beberapa sabuk di sisinya. Didudukkannya Margaret di kursi itu kemudian dikencangkannya sabuk itu mengikat badannya. Seorang perawat menekan sebuah tombol yang menghidupkan mesin kursi. "Buzz buzz buzz" suara listrik menyengat seperti lebah. Tubuh Margaret kejang tersengat. Terapi kursi listrik digunakan sebagai salah satu metode pengobatan. Sangat tidak manusiawi.
Margaret terduduk lemas. Perawat melepas sabuk pengikatnya. Tanpa mereka sadari Margaret mengumpulkan kekuatannya yang tersisa kemudian menghambur ke pintu keluar. Kedua petugas rumah sakit itu mengejarnya. Namun ia berlari lebih kencang. Lari dari siksa yang menyakitkan.
***
"Di desember yang dingin itu, Margaret tidak ditemukan meski para perawat dan petugas rumah sakit sudah berupaya mencarinya", Joe berhenti sejenak. Aku mengerjapkan mataku. Kepalaku sedikit pusing. Rasanya seperti habis jatuh dari lubang spiral. Helen yang berada di sampingku menguncang-guncang tubuhku. "Apa kamu baik-baik saja?", tanyanya sambil berbisik. Kuanggukkan kepalaku.
"Tubuh Margaret ditemukan beberapa minggu kemudian. Di sebuah bangsal yang tidak lagi digunakan di lantai paling atas bangunan itu" kata Joe sambil menunjuk sebuah jendela di puncak bangunan. Kereta kami berhenti sejenak.
Para peserta tour mengamati jendela yang ditunjuk Joe. "Tubuhnya ditemukan di depan jendela. pada minggu kedua januari 1979. Diperkirakan ia meninggal karen gagal jantung disebabkan oleh musim dingin kala itu. Anehnya sebelum ia meninggal ia menanggalkan bajunya dan melipatnya di sampingnya. Entah mengapa ia melakukan itu. Tubuhnya yang mengurai meninggalkan noda di lantai yang tidak bisa hilang sekalipun telah dibersihkan. Hingga sekarang noda itu masih terlihat", terang Joe.
"Apakah Margaret menderita epilepsi?" Tanyaku pada Joe yang membuat semua peserta tour menatapku karena tiba-tiba bertanya. " Tidak ada yang mengetahuinya", jawab Joe. "Apakah ia punya kekasih? Bisa jadi ia melarikan diri karena terapi di rumah sakit tidak manusiawi? Mungkinkah ia merasa terpenjara di rumah sakit ini dan ingin keluar bertemu kekasihnya?", tanyaku lagi. Kurasakan siku Helen menyodok pinggangku. " Soal itu, kami tidak tahu banyak. Namun ada beberapa desas desus yang menyebutkan demikian. Namun keluarga dari Margaret sendiri tidak membenarkan cerita tersebut", jawab Joe.
"Ia melarikan diri di hari ia mendapat terapi kursi listrik. Ia hendak bertemu pacarnya yang memberinya surat di sore hari sebelum ia masuk ke ruang terapi. Mereka berjanji untuk bertemu di ruang itu. Namun, sang kekasih tak pernah datang karena ayah Margaret telah mengusirnya dari kota. Margaret masih menunggu di sana" kataku tanpa sadar.
"Saya tidak mengerti yang kamu bicarakan. Tapi terapi kursi listrik itu benar adanya. Pada masa itu kursi listrik menjadi salah satu metode pengobatan", terang Joe sambil memandang aneh kepadaku. "Shall we continue the tour?", tanyanya. Saya hanya diam.
Derap kuda kembali terdengar seiring kereta kami bergerak kembali. Joe kembali menjelaskan tentang pemakaman yang akan kami lewati. Namun cerita Joe tersebut menganggu pikiranku. Serta bayang-bayang yang tadi aku lihat. Semua terasa nyata. Kulayangkan pandanganku sekilas lagi ke arah jendela itu ketika kumenemukan siluet bayang yang bergerak di sana. Samar tampak seperti perempuan dengan gaun putih. Margaret, batinku.(*)
Bone, 4 februari 2014
Catatan : Cerpen ini dibuat beberapa bulan lalu. Rencananya akan diikutkan pada lomba cerita horor, tapi karena tidak puas dengan hasil penulisannya saya tidak mengikutkannya. Daripada dibuang mending saya upload di blog ini :D sekalian menyambut Halloween. Cerita ini rekaan dengan menyadur cerita horor yang terjadi di The Ridges Athens, Ohio.
Happy Halloween 31 oktober 2014
Comments
Post a Comment