Membawa anak jalan-jalan adalah sebuah tantangan tersendiri. Sebelum berkeluarga dan punya anak, menyaksikan kakak-kakakku yang repot mengurus anaknya maka kusangsikan pula untuk melakukan trip bersama Ara. Tapi so far, bawa dia pulang balik Makassar-Baubau. Naik mobil Makassar-Bone hingga naik pesawat sehari semalam ke Ohio bukan soal baginya. Ia tidak terlalu rewel. Kecuali ya saya sedikit banyak harus rela sedikit kelelahan mengurusnya. Selain itu, tak ada masalah. Asal bersama saya dia cukup nyaman. Bisa bobo dimana saja.
Saat mendengar kabar bahwa Erik, teman akrab kami di Athens, Ohio akan segera ke Indonesia dan menikah dengan kekasih hatinya, kami telah meniatkan hati untuk hadir. Jauh hari kami memesan tiket Makassar Yogya dan mempersiapkan Itinerary. Tidak mudah mempersiapkan rencana perjalanan dengan berusaha meminimkan budget. Apalagi kami melakukan perjalanan disaat hampir lebaran idul Adha. Akhirnya kami memutuskan untuk berlebaran di Jakarta sambil menunggu harga tiket kembali normal.
Yogyakarta
Kami tiba di Yogya saat malam. Ini pertama kalinya saya ke Yogya. Hal pertama yang terlintas di benak saya adalah Yogya sangat padat. Lampu kota berkelap-kelip dibawah kami saat pesawat yang kami tumpangi akan mendarat. Tak ada sepetak tanah pun yang tak memiliki kelap kelip itu. Tak seperti Makassar yang kepadatannya masih terkonsetrasi sekitar jalan raya. Di Yogya seluruh daratan penuh. Kabarnya Yogya adalah kota dengan kepadatan paling tinggi di Indonesia. Kota ini memiliki ratusan unversitas yang otomatis menyedot banyak mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia. Tingkat kualitas hidup usia paruh baya cukup tinggi. Serta daya tarik budaya yang menjadikan kota ini dipadati wisatawan domestik dan mancanegara.
Kami menginap di rumah kakak ipar saya di Cangkringan. Tepat di bawah kaki gunung Merapi (saat itu gunung merapi tertutup awan, beruntungnya beberapa hari kemudian cerah dan gunung merapi menjulang sangat angkuh di depan saya cukup menyeramkan. Saya akhirnya sadar gunung tempat berumah nini hitam di serial Peribiru nyata adanya). Cangkringan berjarak Sekitar 45 menit dari bandara. Sepanjang jalan yang terlihat adalah warung makan. Berdempet-dempetan tanpa spasi. Saya penasaran dengan angkringan dan nasi kucing. Ternyata angkringan adalah pedagang kaki lima dipinggir jalan sembari menggelar tikar untuk diduduki para pembeli. Bukan meja dan kursi panjang. Sedangkan nasi kucing adalah nasi ukuran mini dengan lauk sedikit-sedikit berharga murah. Sayangnya saya nda sempat mencobanya.
Di Yogyakarta, Malioboro adalah kawasan wajib lapor buat wisatawan seperti saya. Jadi destinasi pertama adalah Malioboro dan Keraton. Sebelumnya kami bersua sebentar dengan beberapa teman dari Makassar. Kemudian memilih makan di House of Raminten. Sebuah restoran yang kental nuansa Jawa, beraroma Hio dengan alunan gemelan, perempuan-perempuan membatik, kereta kuda, plus kuda di kandang bagian belakang. Makanannya pun enak dengan harga ramah.
Sayangnya siang itu kawasan Kraton cepat tutupnya karena hari jumat. Jadinya kami hanya mutar-mutar naik becak keliling dan jalan kaki menuju Malioboro. Singgah di Mirota dan berbelanja. Tak ada yang menyenangkan dari jalan-jalan selain berbelanja, bukan?
Pedagang batik tumpah ruah. Cendera mata bertebaran. Kaos-kaos motif kreasi dengan mudah ditemukan di sepanjang jalan Malioboro. Jangan takut untuk menawar karena semakin berani harga yang didapatkan pun makin terjangkau. Industri kreatif tumbuh subur di kota ini. Segala macam kreasi cindera mata dijual. Tempat ini serupa surga belanja yang menyediakan apa saja dengan harga miring.
Hari kedua di Yogyakarta kami bertolak ke Wonosari untuk menghadiri pernikahan Erick. Wonosari terletak di kabupaten Gunung Kidul yang terletak di balik gunung. Mobil yang kami tumpangi mendaki gunung. Merayap dijalan berkelok yang terlihat mengitari pegunungan. Tapi jangan berpikir bahwa namanya Gunung Kidul namun tidak memiliki pantai. Tempat yang kami tuju, Wonosari terletak di dataran rendah yang memiliki daerah pantai yang cantik. Tapi tujuan kami adalah menghadiri pernikahan, jadi kami tidak begitu ngotot ke pantai.
Ini pertama kalinya saya mengikuti pemberkatan pernikahan di gereja. Bayangan saya seperti film-film di hollywood. Ternyata beda. Hahahhaa. Kurang lebih mirip-mirip sih, kecuali jingle teng-tededeng teng tededeng yang mengiringi sang mempelai memasuki gereja menuju altar pernikahan. Saya sempat bercanda pada Erick yang adalah bule Amerika, "mereka meniadakan bagian " you may kiss the bride"", yang dia sambung," ya dan tidak ada bersulang dengan sampanye. Padahal sejak kecil saya telah menyiksakan ritual itu". Komentarnya dijawab oleh suami saya "not allow here" dan disambut tawa dari sang pengantin. Ara begitu antusias menghadiri pernikahan ini. Mungkin karena ia masih mengingat Erick sebagai orang yang paling suka menggendongnya di Amerika. Kerjaannya adalah dadah dadah ke pengantin sambil berteriak kegirangan.
Sorenya Erick mengajak kami ke pantai Drini. Sayangnya kami tiba saat malam. Debur ombak yang berbenturan dengan batu besar gemuruh di lautan. Saya bisa membayangkan begitu cantiknya pantai itu kala matahari bersinar. Di depannya ad sebuah pulau karang yang dibanguni tangga sehingga para pengunjung pantai bisa naik ke atas pulau dan menyaksikan keindahan pantai yang lebih tinggi. Di kawasan pantai ini begitu banyak pantai-pantai yang menjadi daya tarik wisata. Tapi menurut orang setempat pantai Drini dan pantai Indrayanti yang paling cantik. Erick begitu antusias menjelaskan tentang pantai Drini kepada kami, sembari kami bertahan menahan kantuk. Ara lebih dulu terlelap karena jalanan yang berliku.
Kembali dari Wonosari kami kembali melanjutkan wisata kota Yogya. Karena belum sempat ke keraton maka kami pun keliling keraton. Nebeng dengar penjelasab dari guide yang disewa sebuah rombongan bapak-bapak. Ara lebih tertarik kasi makan ayam jantan dengan coklat MnM sampe terjatuh dikubangan lumpur dan masih tertawa lucu. Untungnya cuma bagian roknya saja yang terkena lumpur. Dibersihkan sedikit, kami pun menuju taman pintar, sebuah wahana edukasi untuk anak-anak. Ada percobaan kimia, biologi, fisika, matematika, nuklir hingga robot. Lagi-lagi yang menarik buat Ara adalah ayunan dan seluncuran. Ia bahkan menolak untuk pulang. Esoknya kami memutuskan ke Bandung menggunakan kereta api.
Bandung
Ini pertama kalinya saya naik kereta malam. Duduk di gerbong kereta selama delapan jam. Berangkatnya dari stasiun tugu, stasiun yang diceritakan dalam lagu "Sepasang Mata Bola". Kami menaiki gerbong bisnis. Tidak semewah kelas eksekutif tapi juga bukan kelas ekonomi. Kupikir dalam kereta api akan banyak penumpang, ternyata tidak juga. Malah bisa pindah duduk dan tidur selonjoran. Bantal dijual seharga Rp. 6000. Jadi bisa tiduran sambil pake bantal. Enaknya perjalanan malam adalah Ara tidur sepanjang perjalanan. Delapan jam tidak terasa. Jika lapar bisa pesan makanan di dapur kereta. Pukul 6 pagi kami tiba di Bandung. Kota ini sebenarnya tidak menjadi tujuan perjalanan kami. Sedikit bingung ketika browsing hendak ke mana. Mau ke kawah putih letaknya cukup jauh dengan hotel yang lumayan mahal harganya. Jadinya kami cuma ke gedung sate. Narsis di depannya kemudian ke Cihampelas Walk, mall mewah di bilangan kota Bandung yang ramah lingkungan ditandai dengan pohon-pohon yang dibiarkan tetap tumbuh sehingga mall terasa rindang.
Bandung adalah kota daratan tinggi. Sehingga ketika menjelajahi kota ini rasanya seperti di Malino yang penuh dengan kendaraan dan bangunan tinggi. Sebagaimana kota besar yang penuh dengan kendaraan hawa panas tetap terasa, namun pohon-pohon rindang di sepanjang jalan cukup menjadi tempat berbaung bagi pejalanan kaki. Factory outlet cukup mudah ditemui. Sayangnya kami tidak sempat melihat-lihat koleksi busananya. Kabarnya dulu orang-orang Indonesia dari luar negeri membawa majalah mode luar negeri kepada para pengrajin dan industri pakaian rumahan di Bandung. Mereka lantas mencontek model pakaian yang ada. Karena itulah Bandung disebut Paris Van Java. Surga fashion Indonesia. Info ini saya peroleh dari suami saya sebagai guide perjalanan serta penyandang dana. Hahahha
Kami memutuskan cuma sehari di Bandung, mengingat tempat tinggal kami agak mahal karena nginap di hotel. Kalo ke Jakarta akan lebih murah karena nginap di rumah Kak Adi. Anyway, esok paginya kami berangkat ke Jakarta menggunakan kereta api. Kali ini naik kereta eksekutif Parahyangan. Baik kali ini saya lebay, huuaaa...seru naik kereta apinya. Mirip naik pesawat. Ada cewek-cewek cantik yang berdiri depan gerbong, mengucapkan selamat datang, serta menunjukkan gerbong yang kami naiki. Kemudian, sebelum berangkat ada semacam sapaan dari Kru kereta api, entah masinisnya atau kaptennya ( emang di KA pake kapten?). Intinya mirip di pesawat kalo mau take off. Di dalam kereta api ada colokan buat charger. Meja untuk makan, televisi layar datar yang cukup besar, petugas pengaman yang bersiaga di tempat tidur bagian belakang, serta sanggahan untuk kaki biar lebih nyaman. Saat kereta berangkat kru kereta api yang cewek-cewek tadi mendatangi para penumpang dan menawarkan untuk memesan makanan. Makanannya nda cuma indomie goreng loh. Ada nasi goreng, nasi rawon, dan makanan berkuah lainnya. Juga kopi, teh, hingga aneka jus yang bisa dipesan. Harganya pun berkisaran Rp. 10.000-Rp.35.000.
Bagian yang asyik lainnya adalah pemandangan yang bisa dilihat dari jendela kereta api. Bukit-bukit hijau, sawah-sawah di bawah rel kereta api, serta kebun-kebun petani yang subur. Jembatan-jembatan rel yang tinggi membuat saya seakan terbang rendah diatas sawah-sawah dan sungai-sungai yang beraliran deras. So Beautiful. Kami melalui sebuah jembatan rel buatan Belanda yang sudah tidak digunakan lagi. Kru kereta api memberikan penjelasan singkat tentang sejarah jembatan itu. Saya lupa nama jembatannya. Cukup tinggi dan panjang. Bikin merinding meski hanya mengintipnya dari jendela kereta api. Perjalanan kereta api ini adalah yang menjadi highlight perjalanan kami di Bandung. Perjalanan ini seperti perjalanan Kugi dan Keenan minus bulan purnama.
Dua jam perjalanan tidak terasa hingga Jakarta. Jika di Bandung yang terlihat adalah hamparan tumbuhan hijau, maka memasuki Jakarta ditandai dengan pemukiman padat. Keluar kereta hawa ibu kota menyapa. Panas. Di stasiun Gambir orang-orang berlalu lalang. Musik keroncong dari sebuah band mengiringi aktivitas warga kota. Denyut bergegas begitu terasa seakan tidak butuh jeda untuk bernafas. Kami menggunakan taksi ke kawasan Kalibata. Rasanya begitu melelahkan tapi senang juga karena kota ini adalah tujuan terakhir dari perjalanan kami.
Jakarta
Kemana kami di Jakarta? Hmmm.... Jakarta tak ada bedanya dengan Makassar. Wisatanya ya Mall. Agak malas membawa Ara ke museum, jadinya kami jalannya ke toko buku dan Mall. Ara kalo ketemu Mall semangatnya minta ampun. Bagian favoritnya adalah zona bermain. Kalo udah main lupa nenen. Untungnya setiap permainan cuma butuh satu koin seharga Rp. 1000. Kalo tidak, bangkrut mamamu, nak.
Kami lebih banyak ketemuan sama temannya Kak Yusran sambil numpang berenang di kolam renangnya. Ara paling semangat liat kolam. Paling lama main air dan paling sering mandi. Seharian yang dia kerja hanyalah berenang sampe kulitnya kecoklatan dan belum kembali normal hingga sekarang.
Saat Idul adha kami bela-belain bangun subuh buat sholat di Istiqlal. Ini pertama kalinya saya sholat di Istiqlal. Mesjidnya gede banget. Pas sholat di mesjid dekat rumah saya jadi berpikir nih mesjid kecil banget kalo dibandingkan dengan Istiqlal. Ara yang bangun subuh tanpa mandi tidak rewel di mesjid meskipun agak lama hingga presiden datang dan sholat Iednya dilaksanakan. Dia menikmati suasana mesjid dan keramaian yang dia lihat. Selesai sholat ternyata banyak orang bawa bekal dan makan di halaman mesjid. Niat banget ya sholat Iednya. Dan narsis-narsisan pun terjadi. Berlomba berfoto dengan latar Istiqlal. Beberapa fotografer bayaran pun memanfaatkan situasi dengan menjual jasa foto langsung cetak. Kupikir sudah nda ada yang minat dengan jasa seperti itu, tetapi masih ada juga orang yang mau difoto trus dicetak besar-besar. Satu kali foto dihargai 20 ribu rupiah. Pulang sholat Ied kami menuju Kebun Raya Bogor. Nah, highlight jalan-jalan di Jakarta adalah Kebun Raya Bogor. Ternyata kebun ini sangat luas dan penuh dengan pohon. Sebuah oase ditengah padatnya kota. Spot yang membuat saya jatuh cinta adalah padang rumput depan halaman cafr daun yang sangat cantik. Danau yang ditumbuhi bunga teratai lebar. Diatas daun-daun teratai terdapat banyak kepingan koin. Kuperkirakan seperti tradisi melempar koin di air mancur, melempar koin ke atas daun teratai berarti harapan yang kita ucapkan akan dikabulkan. Ini interpretasi bebas saya. Kali saja koin-koin itu dilempar hanya untuk adu jauh dan mendarat di ataa daun teratai. Kami tidak sempat melihat bunga bangkai, padahal saya sangat ingin lihat. Apesnya lagi karena Bogor adalah kota hujan yang ternyata dibuktikan dengan sore itu hujan deras yang memerangkap kami di tenda tengah hutan yang gelap gulita. Nongkrong bodo'-bodo' selama dua jam sampe tanah yang kami duduki basah. Untungnya Ara tidak rewel dan tidak menangis.
Jika Kebun raya bogor highlight buat saya, mungkin highlight buat Ara adalah bermain di taman Ade Irma atau yang dikenal dengan taman Topi. Sebuah Area permainan dekat stasiun bogor. Dia mencoba semua wahana tanpa takut. Mulai dari helicopter, bianglala, hingga naik perahu sendirian yang bikin saya senewen. Kenapa? Karena ternyata perahu itu harus dikendalikan dengan stir untuk belok kanan ato kiri. Dia dengan asyiknya mutar kanan kiri. Jadinya arah perahu bergerak melawan arah dan berputar-putar. Membuat macet di sungai-sungai kecilnya. Bikin mas-masnya harus mengendalikan secara manual laju perahunya dengan mendorong dengan kaki tiap kali perahunya tersangkut. Saya yang stres, dianya asik-asik saja. Kupikir Ara akan nangis, eh dia cuma melongo tidak jelas.
Saat menaiki monorail bersama Ara, saya setengah mati takut dia malah berteriak girang. Sepertinya Ara cukup mampu melakukan olahraga Adrenaline. Duh, nak! Mamamu sudah cukup olahraga Adrenaline. Main sendiri saja ya.
Besoknya kami memutuskan pulang ke Makassar. Saya sudah kangen rumah. Capek ternyata melakukan perjalanan pindah-pindah. Saya kagum pada para traveler yang bisa tahunan pindah-pindah tanpa pernah pulang ke rumah. Inilah akhir perjalanan keluarga kami yang pertama. Pesan moralnya adalah belajarlah dari Ara yang bisa berbahagia dalam situasi dan kondisi apapun. Dialah yang memiliki energi positif yang paling banyak. Tetap tersenyum sekalipun sudah capek.
Tiga kota, tiga cerita. Tapi sepertinya hatiku tertinggal di Yogyakarta.
Anyway, pulang ke rumah dengan Pe er menabung agar bisa jalan-jalan lagi tahun depan. Satu ember KFC telah saya sulap menjadi tempat lembaran ribuan untuk biaya trip tahun depan. Semoga ada rejeki yang berlebih lagi supaya bisa jalan-jalan lagi. Aamiin (*)
Ps : Foto-foto nyusul karena ini diposting dari Hp :D
Bone, 27 Okt 2013
Comments
Post a Comment