Ramadhan lagi. Ini kali kedua Ramadhan kulalui tanpa mamaku. Perlahan aku telah mampu mendamaikan hatiku dan bertatap pada kenyataan bahwa semua telah berubah. Dan tiap perubahan itu membuatku belajar dewasa.
Namun terkadang dalam sunyi dan diam aku masih merindukan sosoknya. Masih merindukan saat-saat sahur, berbuka, dan lebaran yang pernah kami lalui bersama. Terkadang berharap bias kembali ke masa itu dan merekamnya lebih kuat dalam ingatanku. Melakukan percakapan-percakapan antara ibu dan anak yang tak pernah kami lakukan bersama.
Perlahan rasa kerinduan akan ramadhan terkikis seiring umur dan aktivitasku. Aku tak lagi merasakan rasa bahagia yang pernah aku rasakan pada waktu kecil saat berjumpa dengan ramadhan. Aku mulai sibuk dan tak lagi peduli dengan ibadah yang dulunya sering aku lakukan. Dan ramadhan pun kemudian terasa seperti bulan-bulan yang lain, hanya saja tak ada makan siang di 30 harinya.
Aku ingin merasakan kembali kebahagiaan itu. Tarawih di masjid dan mulai membaca mushab. Mesid tempatku ibadah masih seperti itu. Yang berubah hanyalah beberapa perombakan untuk membuatnya sedikit lebih terlihat luas dan sejuk. Jamaah-jamaah yang memadatinya masih para orang tua rekan jamaah mama dan etta.
Tak kutemukan lagi kawan-kawan masa kecilku yang dulunya selalu berkumpul di saf depan dan mencatat judul ceramah taraweh untuk dituliskan pada buku jadwal ramadhan. Tugas itu masih ada sampai sekarang. Beberapa anak-anak perempuan usia SD dengan antusias duduk di barisan terdepan menceklist buku jadwal ramadhannya. Mungkin kawan-kawan kecilku dulu pun telah sesibuk aku. Bahkan mungkin tak tinggal lagi di kampung kami.
Tak berubah, anak-anak laki-laki selalu menjadi tukang ribut paling di cari keamanan mesjid. Mereka layaknya Ipin dan Upin membuat kekacauan diluar mesjid atau di dalam mesjid saat tarawih.
Aku ingat beberapa ramadhan lalu ketika Mama masih hidup dan kita masih tinggal di rumah panggung sebelah. Ada kasur yang kami gelar di depan televisi. Di situ, Saya, Mama, dan Etta tidur selama ramadhan. Bangun sahur maupun tidur setelah sholat subuh. Aku menyebutnya “Kasur Ramdhan”. Begitu menyenangkan saat itu.
Sekarang semua telah berubah. Aku merasa makin individual. Aku tak memiliki lagi “hubungan antar manusia” yang begitu kuat bahkan dengan keluargaku sekalipun. Kita masih kadang saling menyalahkan dan tak menguasai emosi. Padahal mama telah mengajarkan untuk selalu bisa mengontrol semua hal. Apalagi saat Ramadhan.
Ramdhan kali ini, aku benar-benar merindukannya. Tapi bahkan sampai sekarang aku belum mampu menyempatkan waktu untuk duduk sejenak di samping nisannya. Membacakannya Al Fatihah, meski nisan itu berada di samping rumahku.
Mama, Maaf ya. Semoga besok aku bisa menjenguk nisanmu.
Maafkan anakmu yang tak berbakti ini…..
kali ini ramadhan di makassar, tanpamu, meski baru beberapa kali merasakan berbuka dan makan sahur bersamamu, ada yang hilang disini. tidak ada lagi pekikan lantang melalui khasnya suaramu.
ReplyDeletekami merindukanmu dwi, seperti rindumu pada mama
ramadhan kali ini juga menimbulkan badai hati bagiku. berpikir mengenai eksistensi yang semakin dipertanyakan. untuk apa saya ada di dunia?
ReplyDeleteck...ck..ck
ReplyDeleteramadhan kali ini,,,makin menambah jam tidur saya di pagi hari,heheehe...
Miss u dwi