Skip to main content

Kerja, Pekerjaan, Atau Apalah Namanya….


Telah 76 hari aku menyandang gelar S.Sos dan dikukuhkan dalam rapat terbuka universitas. Telah 76 hari aku menyandang gelar baru bernama pengangguran atau pencari kerja. Yang mana yang paling tepat, aku juga kurang tahu.

Lumayan banyak CV telah aku tebar di seantero SulSel dan Jakarta. Banyak yang hanya menjadi koleksi divisi HR bahkan mungkin untuk yang kurang beruntung berada ditumpukan barang kantor yang harus segera disingkirkan.


Ada juga yang berbaik hati mau menelponku dan mewawancaraiku. Tak sedikit yang gagal di tes psikologi. Hanya satu yang lulus sampai tahap wawancara (sejauh ini.) Tapi tak sedikit pula yang menerimaku dan mau menjadikanku karyawannya. Tapi tak sedikit pula yang aku tolak dengan alas an yang bermacam-macam. Kadang aku pikir, kerjaan itu ga gw banget deh. Atau kerjaan itu terlalu berat untukku, atau kerjaan itu tak sesuai dengan divisi yang aku inginkan.


Sampai pada titik, aku kemudian bingung mau kerja apa. Telah begitu banyak perusahaan yang kukirimi aplikasi, tapi semuanya belum seseuai yang aku inginkan. aku tiba pada titik tidak tahu mau jadi apa. Ada beberapa planning yang telah aku buat skenarionya, tapi masih perlu waktu yang lama dan mungkin kompromi yang tak sedikit. Satu scenario belum terlaksana karena sedang berkonteplasi mencari ide. Satu scenario butuh intelektualitas tingkat tinggi, satunya lagi butuh gabungan keduanya. Namun kesemuanya butuh perjuangan, dan itu tak pernah dengan mudah.


Aku bermimpi untuk tak kerja saja dan membuat perpustakaan dan usaha kecil di kampungku, tapi itu kemarin. Ketika aku masih di sana. Sekarang aku di Makassar, dan sebuah scenario yang baru muncul lagi.
Tapi aku masih tetap mencintai mimpiku. Aku masih setia padanya. Pada hobby dan minatku.

Seseorang mengirimiku pesan pendek berbunyi “pekerjaan yang terbaik adalah melakukan apa yang kita suka dan orang membayar kita untuk melakukannya”.
Yah…semua orang pastinya bahagia jika menemukan kerjaan seperti itu.

Merujuk pada kata bijak itu aku kemudian menemukaan kerjaan impianku.
Aku menyukai jalan-jalan (traveling) dan aku menyukai menulis. Dan satu-satunya jalan untuk itu adalah menjadi penulis tentang lokasi wisata. Aku bias jadi wartawan majalah wisata. Atau bekerja pada sebuah travel agen di divisi komunikasi untuk promosi wisata. Atau paling tidak jadi PNS di dinas pariwisata, dengan catatan tidak terikat kantor dan kerjaan utamanya hanyalah jalan-jalan dan memberi penilaian akan tempat wisata itu……

Comments

  1. Anonymous2/28/2010

    http://markonzo.edu So where it to find?, ashley furniture [url=http://jguru.com/guru/viewbio.jsp?EID=1536072]ashley furniture[/url], lyykv, allegiant air [url=http://jguru.com/guru/viewbio.jsp?EID=1536075]allegiant air[/url], vfdrg, pressure washers [url=http://jguru.com/guru/viewbio.jsp?EID=1536078]pressure washers[/url], yyvme, dishnetwork [url=http://jguru.com/guru/viewbio.jsp?EID=1536080]dishnetwork[/url], 2268, adt security [url=http://jguru.com/guru/viewbio.jsp?EID=1536076]adt security[/url], cixuf,

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

The Intimate Lover

sumber foto : www.amazon.com Apa yang akan kamu lakukan jika bertemu Mr. Rightman sesaat sebelum kamu menikah? Ms. Girl, perempuan yang telah bertunangan bertemu dengan Mr. Boy disuatu hari di dalam lift. Hanya mereka berdua di dalam lift yang meluncur turun dari lantai 20. "Jika tidak ada orang yang bersama kita dilift ini hingga lantai dasar, maka aku akan mentraktirmu minum"kata pria itu. Sayang, sang wanita memilih menginterupsi lift tersebut. Berhenti satu lantai sebelum lantai tujuan mereka dan memilih pergi. Tapi gerak bumi mendekatkan mereka. Tak berselang waktu mereka kembalib bertemu dan saling bercakap. Tak bertukar nama, memilih menjadi orang asing bagi masing-masing. Bertemu, berkenalan, dan melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama. Menyerahkan pada semesta kapan mereka hendak berpisah. Namun, ketika semesta mengharuskan mereka berpisah, dua orang tersebut telah saling jatuh cinta. Seberapa pun mereka berusaha berpisah, hati mereka tetap saling ...

Review #1 Trilogi Jendela-Jendela, Pintu, dan Atap

Akhirnya saya menamatkan trilogi Jendela, Pintu, dan Atap karya Fira Basuki. Membaca buku ini terbilang cukup telat mengingat buku ini ditulis pada tahun 2001 dan sudah mengalami 10 kali cetak ulang.  Untuk pertama, saya ingin mereview buku Jendela-Jendela.Review berikutnya akan ditulis terpisah. Nah, sebelumnya saya bukanlah pembaca Fira Basuki. Sejauh ini saya hanya membaca buku Astral Astria dan Biru karyanya. Dua buku yang ditulis kemudian setelah menuliskan trilogi ini.  Jendela-jendela bercerita tentang seorang perempuan bernama June yang mengalami cukup banyak perubahan dalam hidupnya. Mulai dari kuliah di Amerika, menjadi editor majalah Cantik di Indonesia, kemudian menikah dan pindah ke Singapura. Menepati rumah susun sederhana dan menjadi ibu rumah tangga. Ceritanya mirip-mirip hidup saya pas bagian ibu rumah tangga. Hahaha.  Transisi hidup yang cukup glamor saat kuliah di Amerika dengan tanggungan orang tua serta limpahan hadiah mahal dari pacarnya ke kehidupan...

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan ...