Skip to main content

Setelah Me Before You


Let me say gue lagi tersesat. Entah sejak kapan saya tidak lagi menonton film romance Amerika. Saya lebih tertarik menonton drama Korea yang berepisode-episode panjangnya yang kemudian saya perttanyakan hari ini apa gunanya?

Film barat yang saya nonton terakhir adalah saya lupa sama sekali. Saya hanya menonton serial Game of Thrones. Mengikuti Criminal Minds. Sesekali menonton episode Second Chance. Menunggui The Royal Season terbaru. Terakhir saya menonton Wonder Woman. Kalo film romance barat, terakhir yang saya nonton adalah The Age of Adeline yang telah menahun usianya.

Kemarin, tiba-tiba saya menonton Me Before You. Seseorang memosting di fb kalo film ini bagus. Beberapa kali di Whatsapp group membaca teman-teman membahas film yang diangkat dari buku ini. Saya tidak ada niat menontonnya. Hanya sekedar berselancar iseng, kemudian mengeklik dan mencoba menontonnya sampai tuntas.
Salah satu alasan saya menontonnya karena pemeran Loussia Clark adalah Emilia Clarke, Sang Khalessi di Game of Thrones (yang karakternya beda jauhnya dengan Sang Mother of the Dragons).
Di film ini juga kamu bisa melihat Dany Targaryen akur dengan seorang Lannister, Charles Dance, pemeran Tywin Linnester, berperan sebagai Steven Traynor.

Dua pemeran dari Game of Thrones itu cukup mampu membuat saya tertarik untuk menontonnya. Terlebih dengan sinopsis yang bercerita tentang seorang asisten yang merawat pemuda lumpuh usia 30an.

Yang muncul di kepala saya adalah sebuah drama percintaan tentang seorang pria yang putus asa akan hidupnya kemudian bertemu dengan perempuan yang membuatnya bersemangat kembali untuk melanjutkan hidup. Sedikit benar, hanya saja tidak sesuai dibagian melanjutkan hidup.

Film ini memilih ending yang tidak sesuai ekpektasi kebanyakan orang. Sang pemuda memilih tetap pada keputusannya untuk mengakhiri hidupnya, meski ia telah jatuh cinta pada Loussia. Ending sedih ini membuat film ini tidak membuat saya berkesimpulan "too good to be true", seperti pada film  Preetty Woman atau serial drama korea yang sering saya nonton.

Film ini memilih ending sedih yang membuatnya tampak tak terlalu fiksi dan cukup manusiawi. Sudah terlalu sering saya disajikan dengan cerita cowok cakep, kaya, dan sempurna bersanding dengan cewek biasa dari desa sunyi. Meski cerita film ini pun menghadirkan cowok ganteng pemilik kastil yang memiliki hidup sempurna sebelum kecelakaan. 


Film ini diangkat dari buku Jojo Moyes dengan judul sama. Bukunya cukup laris hingga terjual 5 juta eksamplar. Rumus buku ini seperti buku John Green atau Nicholas Sparks. Cerita romantis namun tidak dipaksakan memiliki keajaiban di akhir cerita. Berbeda dengan serial Harlequin yang sangat sempurna  atau yang paling laris dengan bumbu sex trilogi Fifhty Shade of Grey, dengan Tuan Grey yang sangat kaya dan akhirnya mampu menundukkan egonya demi cinta. 

Mungkin kebanyakan pembaca lebih menyukai cerita-cerita fiksi yang dekat dengan keseharian. Cerita dongeng ala Cinderella dimana selalu berakhir bahagia dan penuh keajaiban mungkin sudah terlalu langitan. Drama kehidupan sudah terlalu dramatis tanpa perlu diiming-imingi dengan kedatangan peri kecil dengan tongkat ajaib yang mampu menghapus segala duka lara. 

Pada akhirnya pembaca atau penonton membutuhkan cerita yang menginspirasi. Cerita yang setelah dituntaskan, ada petikan pelajaran yang mampu kita pelajari. 
Demikianlah, selesai saya menonton film ini, saya kemudian termenung lama. Kemudian bergumam "Kenapa gue nonton film ini?". Satu yang pasti karena film ini saya mengisi blog saya. 

Bogor, 25 Oktober 2017

Comments

  1. Hahaha ..ini tulisanñya aku bangeett...udah lama gak nonton film barat....dan setelah baca tulisan ini gak jadi nonton karena ternyata ngga happy ending 😄😄

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bagus filmnya :D. yang penting ga nonton endingnya. hahahahaa

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Seketika Ke Sukabumi

twit ekspektasi vs twit realita Setelah kelelahan karena hampir seharian di Mal sehabis nonton Dr.Dolittle pada hari rabu, dengan santai saya mencuitkan kalimat di Twitter "karena udah ke mal hari Rabu. Weekend nanti kita berenang saja di kolam dekat rumah”. Sebuah perencanaan akhir pekan yang sehat dan tidak butuh banyak biaya. Saya sudah membayangkan setelah berenang saya melakukan ritual rebahan depan TV yang menayangkan serial Korea sambil tangan skrol-skrol gawai membaca utasan cerita yang ga ada manfaatnya.  Sebuah perencanaan unfaedah yang menggiurkan. Tiba-tiba Kamis malam suami ngajakin ke Taman Safari liat gajah pas akhir pekan. Mau ngasih liat ke Anna yang udah mulai kegirangan liat binatang-binatang aneka rupa. Terlebih lagi sehari sebelumnya kami menonton film Dr.Dolittle yang bercerita tentang dokter yang bisa memahami bahasa hewan. Sekalian  nginap di hotel berfasilitas kolam air panas. Hmmm. Saya agak malas sih. Membayangkan Taman Safari yan...

Pride and Prejudice : I’m Bewitched

Tak pernah kusangka saya akan jatuh cinta pada film Pride and Prejudice. Waktu kuliah dan masa-masa belum punya anak, saya tidak pernah tergerak untuk menonton film ini. Prasangka saya terhadap film ini sudah tumbuh sejak memiliki versi Film India di tahun sebelumnya. Mungkin karena hal itu saya kemudian tidak tertarik menontonnya.   Namun karena episode-episode drama korea yang aku nonton udah habis, ditambah kebosanan pada topik medsos yang masih heboh dengan pilpres, dan juga pengaruh hari valentine yang menyebabkan algoritma lapak streaming merekomendasi film-film romantis menjadi sebab akhirnya saya menonton film ini Semuanya berawal dari ketidaksengajaan menonton Atonement yang diperankan oleh Kiera Knightley. Film ini cukup bagus, meski di tengah jalan saya udah kena spoiler via wikipedia dan rada senewen dengan endingnya. Tapi kecantikan Kiera Knightley tetap mampu membuat saya menyelesaikan film itu sampai detik terakhir. Saking senewennya dengan ending Atonement, sa...

Membaca Loversus

Kata K Zulham, teman sekantorku Chicklit itu oportunis. Chicklit adalah genre novel remaja yang menceritakan persoalan anak sekolahan dan percintaan. Tapi yang menyenangkan adalah bagaimana kau membaca dan menemukan apa yang ingin kau baca. Bagaimana kamu tersenyum bahagia di ending sebuah buku. Dan ribuan diksi baru menghingapi otak dan pikiranmu karena penyajiannya. Tak peduli jenis bacaan apa pun ia. Tak peduli ia adalah kumpulan cerpen, dongeng sebelum tidur, bacaan remaja,Chicklit, Teenlit atau novel berat yang terlalu ngejelimet. Aku mengikat kesan itu setelah menuntaskan 216 halaman buku Farah Hidayati. Loversus . Sebuah chicklit yang berfokus pada cerita tentang persahabatan dua siswa SMA yang berawal dari adegan pencarian sepatu hingga pencarian TKI dalam geografis Macau dan London. Pada awalnya saya menganggap buku Loversus ini sama dengan chicklit-chicklit yang pada umumnya hanya sekedar berdialog dan tidak memiliki kedalaman cerita. Namun aku harus mengubah pendapatku di ...