Skip to main content

Kisah Dua anak, Dua Orang Tua


Sumber foto di sini


Aku menemani Ara duduk di satu restoran cepat saji di sebuah pusat perbelanjaan modern. Restoran cepat saji itu cukup ramai dikunjungi oleh para keluarga dengan anak-anaknya. Selain karena menu ayam goreng yang favorit di lidah anak-anak, terdapat juga playground yang menjadi daya tarik.

Sore itu Ara tidak tertarik untuk main prosotan. Hanya lima menit ia berdiri di area playground tersebut, kemudian ia mengambil sepatunya dan meminta dipakaikan. Saya menawarinya untuk menonton youtube. Mal menyediakan akses internet gratis yang cukup kencang.  Ia pun menyambutnya dengan antusias. Kubuka laptopku dan memulai menulis review dari buku yang baru saya baca. 

Tak berapa lama baterai laptopku melemah. Tak ada colokan listrik di tempatku duduk. Saya pun menutup laptop dan beralih ke novel grafis yang aku bawa di tas. Sayangnya, saya bertemu halaman terakhir buku itu dengan cepat. Ara masih asyik menonton video anak-anak di youtube. Ia meminta dipesankan kentang goreng. Sore masih muda dan kami masih betah.

Kusapukan pandanganku di restoran cepat saji itu. Melihat ibu-ibu seperti saya yang sibuk dengan gadgetnya sembari sesekali menegakkan kepala melihat anaknya yang bermain. Mataku tertuju pada seorang pria muda yang berdiri di bibir tempat bermain. Ia tampak berkomunikasi dengan anak perempuan usia 8 tahun. Ia meminta anak itu mengikutinya. Namun sang anak memilih untuk bermain. Ia masih berdiri di sana tampak memasang jubah kuasa seorang ayah. Raut wajahnya tampak keras. Suaranya meninggi. Sang anak bergeming. Ia memilih bersembunyi di belakang prosotan. Tetap menolak ikut. Ayahnya melangkah maju dan mendekatinya. Memaksa ikut dan menggendongnya. Saya mendengar isak tangis dari anak itu. Ia di dudukkan di kursi. Ibunya duduk di samping. Ayahnya berdiri di dekatnya. Ibu memintanya makan. Namun ia menolak. Ia ingin bermain. Ia menolak makan sekalipun mamanya memaksa. Ibu jari ayahnya bersentuhan dengan jari tengahnya membentuk sebuah lingkaran. Lingkaran yang siap menghukumnya jika ia menolak makan. Namun anak itu tetap dengan sikapnya. Ia menolak dan menangis keras. 

Berjarak satu meja di belakang saya, seorang anak berumur  11 tahun tak sengaja menumpahkan minuman bersodanya. Sang ibu yang tampaknya baru datang langsung mencecarinya kata-kata kasar dan memarahinya. Nampan berisi dua nasi, dua ayam goreng, dan perkedel kentang, belum tersentuh di atas meja yang sudah dibanjiri dengan soda. Seorang pegawai tergopah-gopah membantu untuk membersihkan. 

Sang ibu masih memarahinya anaknya. Anak perempuannya yang saya yakin tak sengaja menumpahkan minuman itu ketakutan. Ia menunduk. Wajahnya tampak  bersalah. Dan ibunya makin membuatnya tersudut. Bulir-bulir air mengalir turun dari sudut matanya. Ia tidak menyangka makan siang bersama ibunya yang awalnya ia bayangkan akan menyenangkan dengan seporsi ayam goreng plus minuman bersoda, dan terakhirditutup dengan eskrim cone yang lezat, berubah jadi bencana. Ibunya tidak lagi mood untuk memakan makanannya di restoran itu. Dia meminta pegawai restoran membungkus semua makanannya. Sang ibu masih terus saja marah. Menumpahkan kekesalannya. 

Saya kasian pada anak-anak itu dan saya membayangkan diri saya seperti orang tua mereka. Tak jarang saya sebagai orang tua begitu kesal akan tindak tanduk Ara, anak saya. Kekesalan yang begitu memuncak hingga tak tertahankan dan menumpahkannya lewat amarah kepada Ara. Padahal tingkah anak-anaknya sangatlah anak-anak. Ingin bermain dan kadang ceroboh. Mereka jujur dengan diri mereka dan tidak dipenuhi kepura-puraan. Orang dewasa seperti para orang tualah yang selalu memaksakan mereka menjadi dewasa sebelum waktunya. 

Saya melihat dua anak-anak itu. Saya menaruh iba pada keduanya. Ibu sang anak pertama tak perlulah memaksa anaknya untuk makan terlebih dahulu jika ia memilih untuk bermain. Ia bisa memilih untuk memberinya waktu bermain sebentar, kemudian memanggilnya untuk makan. Pada anak kedua, kecerobohan bisa terjadi pada siapa saja. Apalagi anak-anak. Maka tak perlulah marah untuk setiap kesalahan yang bisa dimaafkan.Apalagi hanya segelas soda yang tak perlu repot untuk dibersihkan. Cukup berpindah meja saja.

Saya bisa berpikir sejernih itu karena mungkin karena saya bukanlah orang tua dari anak-anak itu. Namun pilihan untuk berpikir jernih selalu ada disetiap tindakan yang mampu memunculkan amarah. Saya memetik hikmah dari dua kisah yang kusaksikan itu. Menjadi pengingat diri jika besok-besok Ara membuatku kesal hingga di ubun-ubun agar tidak segera menumpahkan kekesalan dan kasalahan padanya. 

They are just kids. It’s okay to play. It’s okay to be clumsy.

Bogor 14 September 2015

Comments

Popular posts from this blog

The Intimate Lover

sumber foto : www.amazon.com Apa yang akan kamu lakukan jika bertemu Mr. Rightman sesaat sebelum kamu menikah? Ms. Girl, perempuan yang telah bertunangan bertemu dengan Mr. Boy disuatu hari di dalam lift. Hanya mereka berdua di dalam lift yang meluncur turun dari lantai 20. "Jika tidak ada orang yang bersama kita dilift ini hingga lantai dasar, maka aku akan mentraktirmu minum"kata pria itu. Sayang, sang wanita memilih menginterupsi lift tersebut. Berhenti satu lantai sebelum lantai tujuan mereka dan memilih pergi. Tapi gerak bumi mendekatkan mereka. Tak berselang waktu mereka kembalib bertemu dan saling bercakap. Tak bertukar nama, memilih menjadi orang asing bagi masing-masing. Bertemu, berkenalan, dan melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama. Menyerahkan pada semesta kapan mereka hendak berpisah. Namun, ketika semesta mengharuskan mereka berpisah, dua orang tersebut telah saling jatuh cinta. Seberapa pun mereka berusaha berpisah, hati mereka tetap saling ...

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan ...

Review #1 Trilogi Jendela-Jendela, Pintu, dan Atap

Akhirnya saya menamatkan trilogi Jendela, Pintu, dan Atap karya Fira Basuki. Membaca buku ini terbilang cukup telat mengingat buku ini ditulis pada tahun 2001 dan sudah mengalami 10 kali cetak ulang.  Untuk pertama, saya ingin mereview buku Jendela-Jendela.Review berikutnya akan ditulis terpisah. Nah, sebelumnya saya bukanlah pembaca Fira Basuki. Sejauh ini saya hanya membaca buku Astral Astria dan Biru karyanya. Dua buku yang ditulis kemudian setelah menuliskan trilogi ini.  Jendela-jendela bercerita tentang seorang perempuan bernama June yang mengalami cukup banyak perubahan dalam hidupnya. Mulai dari kuliah di Amerika, menjadi editor majalah Cantik di Indonesia, kemudian menikah dan pindah ke Singapura. Menepati rumah susun sederhana dan menjadi ibu rumah tangga. Ceritanya mirip-mirip hidup saya pas bagian ibu rumah tangga. Hahaha.  Transisi hidup yang cukup glamor saat kuliah di Amerika dengan tanggungan orang tua serta limpahan hadiah mahal dari pacarnya ke kehidupan...