Pada
suatu waktu di masa datang, manusia mempersiapkan pasukan pertahanan
yang dipilih dari anak-anak yang paling cerdas. Mereka dilatih untuk
melawab koloni alien bernama Formic. Lima puluh tahun lalu, Formic yang
lebih dikenal dengan sebutan Bugger menyerang bumi. Maher Rackham,
kolonel yang berhasil memenangkan pertempuran melawan Bugger. Battle
School berusaha merekrut anak-anak yang sangat cerdas untuk dipersiapkan
memimpin invasi berikutnya.
Ender's
Game adalah novel yang ditulis oleh Orson Scott Card. Bersetting masa
depan yang futuristik dengan ancaman alien serta beberapa bumbu
politik menguasai dunia. Kemudian cerita ini diangkat ke layar lebar dan
dibintangi oleh Harrison Ford, Viola Davis, Ben Kingsley.
Buku vs Film
Saya
selalu kesusahan untuk menonton film yang diangkat dari buku. Imajinasi
saya selalu berusaha mengaitkan scene-scene film dengan halaman cerita
pada buku. Beberapa halaman favorit mungkin tidak tervisualisasikan dan
membuat saya harus maklum.
Nah,
membandingkan antara buku Ender's Games dan filmnya, kali ini saya
harus berkesimpulan, filmnya lebih baik daripada bukunya. Buku ini
mengantar penulisnya meraih banyak penghargaan, namun bagi saya terasa
membosankan. Gaya menulisnya datar tanpa kejutan, bahkan pada cerita
dimana saya harusnya terkejut, saya cuma sekedar mengerjit dan tidak
mengalami ketegangan yang intens. Kisah perkelahiannya pun digambarkan
cukup kasar untuk buku kategori anak.
Selama
membaca buku ini saya terus meyakinkan diri untuk mengikuti logika
cerita. Ender Wiggin sang tokoh utama diceritakan sebagai anak berumur
enam tahun dan memiliki daya strategi tinggi. Agak kurang masuk akal
buatku. Kemudian pada bagian Peter (15th) dan Valentine (12 th) yang
menjadi sangat powerpull di internet dan mempengaruhi banyak kebijakan
politik dunia. Tapi sekali lagi, logika cerita adalah mereka anak-anak
dengan intelegensia sangat tinggi.
Setengah
isi buku ini tidak bisa saya pahami. Rasanya terpaksa untuk
menghabiskannya. Di dalam buku digambarkan Ender yang dibenci dimana dan
tidak memiliki teman. Sekalipun ia memiliki pasukan-pasukan yang bisa
diandalkan dan sangat menghormatinya. Namun tetap saja Ender Wiggin
adalah anak yang pendiam dan penyendiri.
Film
Ender's Game membantu saya memahami cerita. Tidak seperti bukunya yang
terlalu bertele-tele, filmnya dibuat sederhana dengan cerita yang lebih
gampang dipahami. Tidak ada cerita tentang Peter dan Valentine yang
menjadi pengamay politik, Memberi analisa tentang dunia, kemudian
mempengaruhi politik negara-negara di dunia. Ender diperankan oleh Asa
Butterfield dengan perawakan anak remaja yang menurut saya lebih masuk
akal. Film ini tidak menceritakan secar detail masa beberapa tahun Ender
menjalani kelas dan bertumbuh dari usia 6 tahun menjadi anak 12 tahun
hingga akhirnya menyelesaikan permainan terakhirnya yang adalah penentu
masa depannya.
Dalam
film ini Ender digambarkan lebih humanis. Dikelilingi teman yang
mendukungnya dan guru- guru yang menaruh perhatian kepadanya. Sedangkan
di buku saya melihat bahwa para guru Battle School hanya
memperhatikannya untuk persiapan ia menjadi seorang pemimpin kelak.
Tidak
ada cerita soal Peter dan Valentine yang memiliki akun dewasa di dunia
virtual dan mempengaruhi berbagai kebijakan dunia. Penghilangan itu
membuat cerita lebih sederhana dan terfokus pada usaha melawan Formic
dan para Buggers dan buat saya itu lebih baik. Meski pada sekuel
berikutnya akan terasa janggal jika film ini dilanjutkan.
Endingnya
pun agak berbeda dengan buku. Di cerita buku, Ender menjelajah semesta bersama
Valentine untuk menemukan planet yang cocok untuk kepompong Bugger,
sementara waktu di bumi bergerak menua sedang mereka tidak. Di film,
Ender hanya berjanji pada dirinya untuk mencarikan sarang yang cocok
untuk kepompong tersebut di jagad semesta sebagai penebus rasa
bersalahnya telah menghancurkan para Buggers.
Ender's
Game ini adalah buku pertama dari tetralogi karangan Orson Scott Card.
Namun rasanya saya sudah tidak tertarik membaca lanjutannya. Saya lebih
tertarik menonton film sekuelnya saja jika dilanjutkan. Kalo pun tidak
dilanjutkan, ending film pertama tidak gantung-gantung banget kok.
Hmm...sebenarnya
saya tidak tertarik banget baca buku ini, hanya saja seorang masterchef
junior menjawab buku ini adalah buku favoritnya kala saya menanyainya.
Saya, hanya sekedar mencari tahu tentang buku favoritnya itu. Dan kesimpulan saya
adalah tiap orang memiliki penilain tertentu akan sesuatu dan kesukaan
menjadi sangat subjektif dan tidak bisa dihakimi dengan satu kacamata.
Silakan membaca dan menontonnya sendiri.(*)
Bogor, 11 Februari 2015
Comments
Post a Comment