Skip to main content

aku menulis ini untukmu (sebuah obituari untuk pak Mansyur)

Pak mansyur. Begitu kami menyapanya. Beliau Salah satu dosen di jurusan ilmu komunikasi unhas yang begitu akrab dengan mahasiswa. Tubuh tinggi tegap.bahkan terkesan tegas. Kaca mata hitam selalu bertengger di wajahnya. Tongkat penuntun jalannya tak pernah lepas. Mata beliau tak berfungsi total sejak tahun 2001.

Saya adalah salah satu dari banyak mahasiswa yang begitu dekat dengan beliau.
Pertama aku mengenal beliau ketika aku baru mengenal dunia mahasiswa, kampus,dan dunia literatur. Saat itu aku belumlah cukup setahun mengecap rasa menjadi mahasiswa. Beliau memintaku menuliskankan opininya untuk sebuah koran local.

Ia mendiktekan tiap kalimat yang ada dalam benaknya. Saya pun menulisnya di atas kertas putih. Terkadang pula harus mencoret banyak kalimat yang telah didiktekan ketika ada ide kalimat lain yang lebih cemerlang hadir di benaknya. Saat itu saya tak berani menanyakan kenapa beliau bisa buta. Namun, ia pun menuturkan bahwa kebutaan yang dialaminya disebabkan oleh malpraktek. beliau tak pernah berhenti untuk berharap jika suatu saat nanti ia mampu melihat lagi. Beliau selau berkata kepadaku “dwi, kalau nanti saya bisa melihat lagi. Kamu jangan berbicara dulu. Biarkan saya menebak dirimu yang mana”.Beliau hanya mampu membedakan para mahasiswanya berdasarkan suara. Ketika kuliah beliau mengabsen kami dengan menyuruh kami menyebut nama-nama kami.

Tiap hari ketika saya sedang tidak kuliah beliau selalu meminta untuk ditemani menulis. Terkadang kami berdiskusi tentang tema tulisan yang akan diangkatnya. Saya pun selalu mengeluarkan beberapa kalimat kalau beliau bertanya “bagusnya disambung bagaimana ya?”.

Tiap minggu ada saja ide yang ingin beliau tulis. Entah itu masalah politik, media, atau pun pendidikan. Jika tak sedang menulis, beliau kadang memintaku untuk membaca koran. Membacakan headline berita. Serta editorial dan opini Koran tersebut.

Beliau selau dekat dengan mahasiswa. Terkadang kami curhat ke beliau layaknya curhat kepada seorang teman. Beliau pun terkadang meminta masukan dari kami. Entah itu dari gaya berpakaiannya atau pun rambutnya yang telah memanjang. Beliau pun teman diskusi yang baik. Dari jurnalistik, agama, hingga BHP, beliau selalu mampu menjadi partner diskusi yang berkompeten. Beliau selalu menyempatkan diri untuk datang di setiap undang pemateri dari organisasi manapun. Entah itu mahasiswa, media, atau seminar. Tak peduli dari organisasi yang sangat sosialis sekalipun hingga organisasi yang sangat religius.

Beberapa bulan yang lalu aku masih sempat menemaninya untuk menulis opini lagi. Kali ini tak lagi dengan kertas buram dan sebuah polpen. Sebuah computer yang berada tepat di belakang pintu aula Prof. A.S.Achmad di jurusan komunikasi telah bisa ia gunakan untuk menulis. Meski itu masih harus menggunakan tenaga orang lain untuk menulis. Computer itu pulalah yang dia pakai untuk mengerjakan disertasinya dibantu oleh beberapa orang mahasiswa hingga ia berhasil mencapai gelar doktoralnya di tahun 2003. Beliau selau berkata padaku “ Aku selalu senang untuk menulis opini dan artikel. Tapi akhir-akhir ini aku tak kuat lagi. Sudah jarang anak-anak (mahasiswa) yang mau membantuku untuk menulis”.

Bapak sudah mulai sakit-sakitan beberapa bulan lalu. Namun masih sempat juga ia mengajar kami di mata kuliah filasafat komunikasi semester lalu. Terakhir aku melihatnya ketika bapak muntah di depan jurusan komunikasi selasa (26 februari) lalu. Tubuhnya begitu lemas. Sorot hidup di wajahnya begitu muram. Rambut putih di kepala tampak begitu banyak. Ia terlihat sangat tua. Aku sempat menanyainya “ Pak, kenapa?”. Tapi bapak hanya muntah-muntah.

Hari ini aku mendapatkan kabar kematian beliau. Setelah senin siang (3 maret 08) dirawat di ruang ICU rumah sakit pelamonia dan kemudian di rujuk ke rumah sakit labuang baji pada pukul 17.30 sore itu beliau tak sanggup lagi untuk bertahan. Penyakit yang dideritanya mengharuskan beliau untuk cuci darah. Pukul 4.10 selasa pagi, beliau menghembuskan nafas terakhirnya.

Aku akrab dengan sosok bapak mansyur semma. Ia mengajarkanku dunia menulis. Padanya aku mengenal dunia jurnalistik. Ia sosok yang tegas. Teguh pendirian. Ia selalu menjadi teman untuk berdebat. Beliau selalu berpendapat bahwa ilmu haruslah di bagi dengan siapa saja, tanpa diskriminatif. . Beliau selalu menyenangi mahasiswa yang memperjuangkan nasib orang lemah. Di tengah keterbatasannya ia mengajari kami untuk terus berjuang Aku menemaninya hingga di kuburan. Ditemani keluarga, semua rekan sejawat beliau. Mahasiswa-mahasiswa yang selalu menjadikan beliau panutan. “pak , selamat jalan”bisikku lirih.


(kutulis ini untukmu sebagai tanda berkabung.
terima kasih untuk selalu mengajarkan semangat untuk terus berjuang dalam keterbatasan. terus bermimpi dalam ketaksempurnaan)

Comments

Popular posts from this blog

Eksistensi Rasa : Kisah Cinta Tak Biasa Untuk Mereka Yang Mencari

Devin Jelaga Osman atau lebih akrab disapa Djo. Ia memiliki pertanyaan paling besar buat dirinya sendiri . Siapa sebenarnya dirinya? Selain pertanyaan yang masih terus ia cari jawabannya itu, ia memiliki rahasia lain. Yang takut ia bagi dengan sahabat terdekatnya, Rindu.  Rindu Vanilla. Mahasiswa arsitektur seangkatan Djo. Ia membenci perpisahan. Kepergian Langit, Mamanya, persiapaan pernikahan ayahnya. Mengapa ia merasa selalu ia yang ditinggalkan sendirian. Hanya Djo satu-satunya yang selalu menemaninya.  Ezra, asisten dosen yang juga mahasiswa Arsitektur di kampus yang sama. Ia menyimpan rahasia tentang kehidupan Djo.  Eksistensi Rasa adalah buku lanjutan dari Konstelasi Rindu yang menceritakan kisah persahabatan antara Djo dan Rindu. Jika belum membaca Konstelasi Rindu, seperti saya, pada halaman-halaman awal buku ini kamu akan sedikit bingung dengan jalannya cerita. Namun jangan berhenti, teruslah membaca. Karena di halaman-halaman berikutnya kamu akan memahami perma...

The Intimate Lover

sumber foto : www.amazon.com Apa yang akan kamu lakukan jika bertemu Mr. Rightman sesaat sebelum kamu menikah? Ms. Girl, perempuan yang telah bertunangan bertemu dengan Mr. Boy disuatu hari di dalam lift. Hanya mereka berdua di dalam lift yang meluncur turun dari lantai 20. "Jika tidak ada orang yang bersama kita dilift ini hingga lantai dasar, maka aku akan mentraktirmu minum"kata pria itu. Sayang, sang wanita memilih menginterupsi lift tersebut. Berhenti satu lantai sebelum lantai tujuan mereka dan memilih pergi. Tapi gerak bumi mendekatkan mereka. Tak berselang waktu mereka kembalib bertemu dan saling bercakap. Tak bertukar nama, memilih menjadi orang asing bagi masing-masing. Bertemu, berkenalan, dan melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama. Menyerahkan pada semesta kapan mereka hendak berpisah. Namun, ketika semesta mengharuskan mereka berpisah, dua orang tersebut telah saling jatuh cinta. Seberapa pun mereka berusaha berpisah, hati mereka tetap saling ...

Meet Esti Maharani

Baru saja saya menghempaskan tubuh di kasur di rumah kakakku yang beralamat Sudiang setelah menempuh waktu 4 jam dari Bone ketika saya menerima pesan text darinya. "Dwi, saya lagi di Makassar. Kamu di mana?" pengirim Esti PJTL 2006. Kubalas segera "Saya juga di Makassar. Kamu dimana?". Dan berbalas-balas smslah kami. Ia menjelaskan bahwa ia baru saja mendarat dan on the way menuju hotel tempatnya menginap. Ia sedang ada liputan musik di Makassar. Wah, sebuah kebetulan yang kemudian membawa kami berada di kota yang sama di waktu yang bersamaan. Esti Maharani, saya mengenalnya 5 tahun yang lalu. Disebuah pelatihan jurnalistik tingkat lanjut (PJTL) yang diadakan oleh Universitas Udayana, Bali. Kami sekamar. Anaknya ramah, suka tersenyum, dan chubby. Saat itu ia mewakili Majalah Balairung, Universitas Gajah Mada dan saya mewakili UKM Pers Universitas Hasanuddin. Dua minggu kami belajar tentang reportase lanjutan bersama rekan-rekan dari universitas lain. Setelah itu k...