Hampir 10 tahun tinggal di Bogor, sepertinya hanya tiga kali saya ke Bandung. Di
tiap kedatangan itu Bandung selalu memberikan kesan tersendiri buat saya. Kali
pertama ke Bandung, tahun 2013. Kala itu belum pindah ke Bogor. Saya, suami, dan
Ara yang masih berusia 3 tahun menghadiri acara nikahan teman di Jogjakarta. Ala
backpacker kami lanjut naik kereta ke Bandung. Perjalanan yang memakan waktu
cukup lama yang bikin pantat tepos. Belum lagi sambil momong anak yang pastinya
ga begitu nyaman duduk di kereta. Dalam kelelahan kami menjelajah Bandung. Belum
ada gocar atau grabcar kala itu. Seingatku kami hanya ke gedung sate. Itu pun
sambil jalan kaki. Bandung ini first impression tidak berhasil membuat saya
kagum. Kami ke Cihampelas Walk. Selain malnya yang berkonsep eco friendly, tidak
ada yang istimewa. Bandung failed to make me wowing.
Perjalanan kedua kala Anna
hampir dua tahun. Pakai mobil via Cianjur. Berangkat jam 5 pagi. Ketemu macet di
Cianjur. Jam masuk kerja para pegawai pabrik. Tertahan beberapa jam hingga Ara
harus kencing di popok adeknya saking tidak bisanya menepi nyari toilet. Sampai
di Bandung pukul 10 siang. Cuma sempat “merumput” di Alun-Alun Bandung. Naik ke
menara mesjid Raya Bandung kemudian lanjut ke Lembang. Layaknya wisatawan
lainnya kami ke tempat wisata. Ke Floating Market Lembang. Bandung dalam
bayangan Ara adalah Floating Market. Lengkap dengan rumah warna-warni ala-ala
Eropa di kota mini Lembang.
Pada perjalanan kedua ini menurut saya Bandung tidak
lebih dari Puncak. Kali ketiga, pas covid. Waktu itu udah lewat jalan layang
Syekh Muhammad Bin Zayed. Lancar jaya karena khusus untuk mobil kecil. Tidak
bertemu kemacetan Bekasi. Waktu tempuh hanya tiga jam. Waktu itu kita ga ke
pusat kota Bandung. Hanya staycation di hotel karena suami janjian wawancara
dengan narasumber. Waktu itu pun Bandung tak lebih seperti Jakarta buat saya.
Bandung tak pernah menjadi pilihan short gateaway buat saya.
Masih sore ketika kami tiba di hotel. Tak butuh waktu lama untuk check in. Kami memilih untuk menikmati jalan Braga sore hari. Berjalan kaki menyusuri pedestrian Braga. Braga dari asal kata bahasa Sunda ngabaraga yang berarti bergaya atau mejeng. Sejak zaman Belanda tempat ini telah dijadikan sebagai pusat keramaian dimana orang-otang datang bertemu dan berbelanja sambil mejeng. Jadi tidaklah heran jika lokasi ini penuh toko dan ramai didatang orang.
Dari tiga kali
kedatangan, menurutku tak ada yang istimewa dengan Bandung. Mengapa orang
Jakarta suka banget ke Bandung?, pertanyaan ini selalu saya tanyakan.
Seminggu
lalu, Ara ikut lomba coding yang diadain di kota Bandung. Meski budget begitu
sedikit, ayahnya tetap mau ngantar anaknya. Biar belajar kompetisi, katanya.
Karena berangkat bukan dalam rangka liburan maka kita ga terlalu mikir mau
nginap di mana. Pokoknya yang dekat vanue aja.
Awalnya nyari hotel dekat
Cihampelas Walk, karena lombanya diadain di sana. Tapi ga nemu hotel yang sreg
di hati. Ada yang bagus tapi mahal, ada yang murah tapi ga nyaman. Suami
menyarankan di Braga aja. Aku sih setuju aja. Soalnya masih dalam kota dan
lombanya juga agak siangan.
Kami memilih fave hotel yang letaknya tepat di jalan
Braga. Bangunan hotel ini serupa mal yang hampir mati. Beberapa tenant masih
buka di bagian depan. Di lantai atas ada bioskop. Tapi selain itu toko-toko
berdebu yang tidak laku disewa. Kamar-kamarnya serupa kotak panjang yang diberi
sekat. Tak ada jendela yang memberimu pemandangan Bandung atau jalan Braga.
Jendela hanyalah aksesoris agar tidak klaustrofobia. Tidak bisa kau bedakan
siang dan malam di hotel ini. Tapi hotel ini menyediakan tempat tidur yang cukup
untuk keluarga seperti kami. Satu kamarnya berisi single bed dan queen bed.
Cukup untuk kami berempat tanpa harus tidur di lantai.
Sebenarnya ada pilihan
hotel lainnya. Seperti Savoy Homann yang bersejarah. Tapi karena hotel lama,
agak keder juga buat nginap. Ada juga hotel yang tepat di jalan Braga. Lupa
namanya, hanya saja tempat tidurnya ga cukup buat berempat. Jika hanya untuk
tidur saja, fave hotel sudah cukup. Ga perlu staycation di hotel, karena Braga
terlalu cantik untuk dianggurin. Saat menuju hotel melalui jalan Braga kami
disambut pemandangan layaknya kota kecil di Amrik. Jejeran toko-toko dan
kafe-kafe mengingatkan saya pada court street di Athens. Meminjam istilah Ara
"vibesnya kayak Western".
Masih sore ketika kami tiba di hotel. Tak butuh waktu lama untuk check in. Kami memilih untuk menikmati jalan Braga sore hari. Berjalan kaki menyusuri pedestrian Braga. Braga dari asal kata bahasa Sunda ngabaraga yang berarti bergaya atau mejeng. Sejak zaman Belanda tempat ini telah dijadikan sebagai pusat keramaian dimana orang-otang datang bertemu dan berbelanja sambil mejeng. Jadi tidaklah heran jika lokasi ini penuh toko dan ramai didatang orang.
Kiri
kanan toko dan kafe menyediakan kursi untuk duduk dan menikmati suasana Braga.
Lukisan-lukisan para senimana lokal di jajakan sepanjang jalanan. Penjual bunga
tangkai pun menambah keromantisan jalan ini. Jika hanya untuk menikmati suasana
Braga tanpa ingin berbelanja, tersedia bangku- bangku taman di sepanjang jalan.
Duduk cantik sembari memotret suasana Braga menjadi pilihan murah meriah. Jika
tidak bisa menemukan angle foto Braga yang paling cantik, maka street Fotografer
siap memberi pelayanan. Mereka siap memotret dengan kamera HP hingga kamera
digital dengan model terbaru. Transfer foto pun via bluetooth. Semua dimudahkan
dan yang pastinya hasilnya pantas nangkring di Feeds Instagram.
Yang menarik di
Braga adalah letaknya yang benar-benar di pusat kota. Hanya butuh 10 menit
berjalan kaki untuk menjangkau Alun-alun Kota Bandung, Jalan Asia Afrika , serta
dinding ikonik Bandung yang bertuliskan “Bumi Pasundan diciptakan ketika Tuhan
sedang tersenyum (MAW Brouwer). Jangan lupa untuk mengabadikan tulisan di
seberangnya yang juga sama ikoniknya “ Dan Bandung, bagiku, bukan Cuma masalah
Geografis. Lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika
sunyi”. Siapa lagi kalo bukan kutipan dari Pidi Baiq, penulis dari Bandung yang
terkenal dengan karyanya, Dilan dan Milea.
Tidak ketinggalan jejeran cosplayer yang beraneka ragam mulai dari hantu-hantu
lokal, karakter anime, hingga karakter gim yang bisa diajak berfoto di kawasan
Asia Afrika. Kata suami, ga Cuma alam dan kota Bandung yang cantik. Mojang-
mojang pun semuanya cantik. Kata aku sih, ga Cuma mojang-mojangnya aja.
Jejakanya pun kasep-kasep. Terbukti dengan cosplayer yang saya temui di Jalan
Asia Afrika yang lebih cocok jadi aktor ketimbang ngamen jadi cosplayer. Aku
yang berfoto dengannya jadi salting ngajakin foto saking gantengnya.
Makin malam
Braga memilih tak menjadi sunyi. Hingar bingar musik kafe terdengar. Pejalan
kaki lalu lalang. Sekadar menyusuri pedesterian atau bersendau gurau bersama
kawan di kursi-kursi kafe. Pilihan kafe beraneka ragam. Mulai dari yang kekinian
sampai yang bersejarah. Mulai dari kafe resto biasa hingga bar yang menyediakan
bir dan musik yang mendentum. Jika yang menikmati suasana modern, minimalis, dan
terkenal . Bolehlah mengunjungi Kafe Tahilalat, Jurnal Raisa, atau Filosofi
Kopi. Tanpa melihat kafenya pun tiga nama ini sudah akrab di telinga para
netizen. Jika menyukai suasana tempo dulu dengan bangunan-bangunan tua sebagai
tempatnya boleh mencoba Braga Permai. Sejarah kafe ini sudah berdiri sejak tahun
1918. Selain Braga Permai, terdapat pula Kopi Toko Djawa, Toko Roti Sumber
Hidangan yang juga memberi kesan tempo doeloe.
Kalo pengen agak mewah boleh coba
resto milik Dewa 19, Restoe Boemi. Resto ini merupakan pendatang baru di Braga.
Baru buka beberapa waktu silam namun cukup ramai. Konsep restonya mengingatkan
saya pada Warung Makan Nike Ardilla di Tamalanrea, Makassar yang penuh poster
dan memorabilia Nike. Di Restoe Boemi, Dinding-dindingnya dipenuhi foto-foto
perjalanan karir dan inspirasi Dewa 19. Menu makanannya pun diambil dari
lagu-lagu Dewa 19.. Rawon Picisan, Ayam bakar cemburu, Sate Kambing Satu hati,
Lidah Goreng Jamilah, hingga sate ayam estianty. Jika menyukai mendengarkan
musik sembari duduk gembira boleh menjajal bar di braga. Mulai buka jam 6 sore
dan ramai dikunjungi wisatawan luar negeri.
Karena tidak memesan paket sarapan
di hotel kami memilih untuk sarapan di jalan Braga. Sebuah pilihan yang sangat
bagus. Mengingat pagi di Braga pun memberi pemandangan yang juga menyenangkan.
Kebanyakan orang datang untuk menikmati pedestriannya. Beberapa toko juga
menyediakan menu sarapan. Kami memilih untuk makan di Canary Bakery. Menunya
sangat enak. Ada sate ayam, lontong kari, hingga nasi kuning. Juga tersedia
kue-kue tradisional, aneka roti dan puding. Harganya pun lumayan murah. Untuk
tiga porsi makan lengkap dengan tiga puding, air mineral dan jus kami hanya
membayar Rp.120ribu. Kalo makan di mal Cuma dapat seporsi makanan dan minuman.
Jika selesai sarapan, kami mencoba naik Bandros, Bis pariwisata Kota Bandung
yang shelternya tepat samping Canary. Bermodal 20ribu/tiket per orang udah bisa
keliling Bandung plus guidenya. Bandros ini mirip Unchal di Bogor. Yang oke dari
Bandros ini punya shelter naik turun dan beroperasi tiap hari. Kalo di Bogor,
shelternya Cuma di balaikota dan beroperasinya Cuma weekend.
Tiap ke kota yang baru kukunjungi saya selalu mencari bagian kota tua dari kota
tersebut. Karena menurut saya, tata letak kota tua selalu tampak lebih indah
dibanding perluasan kota yang semrawut. Kota tua merupakan penanda peradaban. Ia
menjadi saksi melihat kota itu tumbuh. Beberapa bertahan menjadi cagar budaya,
beberapa yang tergusur demi pembangunan yang dianggap lebih modern. Padahal kota
tua selain merekam sejarah, ia pun menjadi daya tarik wisata. Di Braga saya
menemukan kota tua yang dirawat rapi. Cagar budaya yang berusaha dilestarikan
meski zaman bergerak maju.
Jika bukan karena Ara dan lombanya, saya mungkin akan
lebih terlambat lagi menyaksikan Bandung dari sisi Braga. Karenanya, thanks to
her. Meski ga menang lomba, meski our circumstance a little bit messy, but we
take a time to enjoy our birthday month and create more memories. Di Braga saya
menemukan diri saya jatuh cinta pada Bandung. Gidariyo, Braga. Hope to see u
again very soon!
Bogor, Agustus 2023
Comments
Post a Comment