Jika masa kecil saya begitu
takjub melihat buku, maka mungkin berbeda dengan masa kecil yang dilalui Ara.
Buku buat saya dan suami bukan lagi menjadi barang mewah. Bahkan ia sudah masuk
kategori bahan utama setelah sandang, pangan. Kami pun tinggal di kota dimana
akses ke toko buku bisa kami lakukan setiap minggu. Bahkan sekali skrol dan klik di gadget, kami
bisa membeli buku yang kami inginkan.
Cara pandang pada buku ini pun
membaut kami memiliki cara menghadapi buku. Masa kecil saya yang tidak memiliki
pilihan permainan selain nonton tivi dan membaca, membuat saya sangat menyukai
buku. Sedangkan Ara, dengan gawai di tangannya, ia bisa berpindah dari satu gim
ke gim lagi. Jika bosan, ia tinggal meminta ijin buat mengunduh. Kalo pun masih
bosan, ia berpindah ke youtube, penyedia video yang begitu beragam. Bosan video
review mainan, pindah ke review gim, bosan itu pindah ke video kartun.
Aktivitas menggunakan gawai
ini cukup membuat saya was-was. Bangun pagi yang ia cari, handphone. Pulang
sekolah, handphone. Pulang TPA, Handphone. Fasilitas wifi di rumah pun membuat
akses penggunaan youtube bisa sepuasnya. Jadi alasan bahwa quota tak ada tidak
berlaku lagi.
Menjadi ibu dari anak-anak
suku gawai benar-benar tantangan tersendiri. Saya harus pandai mengatur waktu
anak menggunakan gawai. Kadang dengan bahasa halus, tak jarang dengan intonasi
dan kata yang tinggi.
Buat Ara, saya sudah
menjadwalkan tanpa terencana tahapan yang dilaluinya setiap hari. Bolos sekolah
menjadi opsi yang tidak boleh dipilih, sekalipun telat bangun, atau mobil
jemputan sudah membunyikan klakson di depan rumah, sementara Ara baru sarapan.
Kenapa? Karena jika tidak ke sekolah, ia akan lebih banyak duduk depan tivi
atau main handphone. Sedangkan di sekolah ia bisa bermain dengan kawan-kawannya
dan belajar tanpa harus bersentuhan dengan gawai.
Berikutnya bolos TPA pun tidak
boleh. Karena jika tidak pergi ngaji yang ia lakukan hanya nonton youtube.
Kecuali kalo sedang les atau ibu gurunya tidak datang.Setelah pulang ngaji, Ia akan
belajar menulis, matematika, dan membaca. Di luar jadwal itu ia habiskan dengan
duduk menghabiskan waktu sambil memandang layar.
Saya pun tidak begitu benci
pada penggunaan gawai. Aturan pemakaian gawai Ara pun gak saklek banget. Selama dia sudah belajar dan
tidur tepat waktu, dia boleh mengakses youtube atau main gim.Karena menonton youtube atau
main gim pun ada baiknya. Buat Ara sendiri, penambahan kosakata bahasa
inggrisnya meningkat. Ia paham cerita-cerita berbahasa Inggris. Terakhir yang saya cek, ia pun sudah bisa
membaca cerita bahasa Inggris. Jadi ketika sedang membaca buku bilingual, ia
pun mulai membaca versi bahasa inggrisnya. Kadang ia meminta membaca versi
bahasa inggris dulu, kemudian saya minta ia ceritakan maksudnya dalam bahasa
Indonesia. Baru kemudian membaca cerita Indonesianya dan mencocokkan versi
terjemahannya.
Sebuah tantangan besar untuk berusaha membuat Ara menyukai buku. Di tengah fasilitas gawai dan
internet yang kelihatannya lebih menyenangkan. Untuk tantangan ini, saya
memilih strategis, membaca buku anak-anak sebanyak mungkin. Setiap sore, saya
menemaninya membaca buku. Entah itu 10 menit atau 15 menit. Bukunya pun belum
pernah dibacakan untuknya. Agar ketika ia membacanya dan tertarik, ia tidak
lagi sibuk menghitung berapa halaman yang harus ia habiskan, karena sudah
tertarik dengan ceritanya.
Untungnya lagi, buku anak-anak
adalah buku yang paling mudah ditemukan ditumpukan diskon dengan harga miring. Kemarin
saja saya berhasil membeli 10 buku anak-anak yang masih baru meski sedikit
berdebu hanya seharga 100ribu. Bahkan saya sudah menyicil
membelikan buku novel anak-anak buat Ara. Saya yakin, tak butuh lama lagi, saya
akan melatihnya menghabiskan novel tipis yang jumlah katanya lebih banyak dari
gambar ilustrasinya.
Mengapa saya begitu memaksanya
membaca? Karena harta terbesar kami, orang tuanya, adalah tumpukan buku yang
menanti untuk dibaca. Jika ia tidak mencintai membaca, maka kelak siapa yang
akan merawat buku-buku kami.
Bogor, 12 Februari 2018
Comments
Post a Comment