Ramadan
telah tiba. Usia Ara sudah 5 tahun. Teman-teman sebaya sudah mulai belajar
puasa. Di sekolah pun ibu guru sudah menjelaskan padanya bahwa puasa adalah
tidak makan dan tidak minum. Menurut Ara tiap kali ia tidak makan dan tidak
minum, ia menganggap dirinya puasa. Juga ketika ia tertidur malam hari hingga
terbangun keesokan harinya. Ayahnya berusaha menjelaskan bahwa puasa adalah
menahan lapar dan haus dari adzan subuh hingga adzan magrib.
Mengapa
harus puasa?, tanyanya. Supaya kamu bisa bersyukur, jawabku. Kamu bisa
merasakan bagaimana rasanya orang-orang yang tidak bisa makan tiga kali sehari,
jawabku lagi.
Bersyukur
itu apa?, tanyanya. Bersyukur adalah berucap terima kasih pada Tuhan untuk
segala yang dia berikan. Mainan, makanan, dan keinginan-keinginan yang
terkabulkan, kataku.
Kalo puasa,
nanti Ara lapar dong, katanya. Iya, kamu akan lapar, jawabku. Kalo Ara lapar,
terus Ara mau makan, gimana dong, tanyanya. Ya, sabar. Tunggu sampai waktu
berbuka, jawabku.
Tiga hari
pertama, saya menikmati bangun sahur tanpa perlu membangunkannya. Dia masih
kecil. Tahun depan ia bisa belajar puasa, pikirku. Hari keempat saya
membujuknya untuk makan sahur bersama. Ia menyanggupi. Dan mulailah pelajaran
puasa yang penuh dengan drama. Padahal pelajaran puasanya belum sampai pada
bab menahan amarah dan emosi.
Menyuapi
makan sahur sembari ia tetap tertidur. Menggosok giginya kala ia sudah
terlelap. Mendengar tangisan dan rengekannya saat ia kelaparan. Setiap lima
menit. Meski sebenarnya ia Cuma puasa setengah hari. Tiap kali ia berteriak
lapar, ia menambahkan kalimat, you are bad bad mommy. Mama nakal biarkan Ara
lapar. Setiap beberapa menit meski sudah dijelaskan waktu berbuka sisa beberapa jam. Tapi menurutnya,
jam dinding di rumah not working at all. Karena tiap kali ia bertanya makan jarumnya
tidak bergerak sama sekali. Ya iyalah,
kamu minta makannya tiap 10 menit.
Tapi
bukankah belajar meski sulit tetap akan memberikan sebuah perubahan? Hari-hari berikutnya ia tidak lagi menangis
keras. Sesekali ia merengek dan marah tapi ga sampai tantrum. Kegiatan sekolah
membuatnya mengalihkan perhatian dari keinginan untuk mengunyah sesuatu. Meski
saat pulang sekolah, ia kehausan dan kembali memerankan drama anak kecil yang
dibuat haus oleh mamanya.
Bagian yang
menggemaskan saat sahur adalah ketika ia meminta untuk tidur beberapa menit
sementara saya sudah siap menyuapinya. Adalah perjuangan keras untuk memaksanya
mengunyah dan menelan makanannya. Bagian puncaknya adalah ketika saya telah
berhasil memasukkan semua makanan dalam mulutnya, memberinya mnum, dan menyikat
giginya, ia lantas melek semelek-meleknya dan menonton youtube sampai pagi. Iiihhh.. sebel.
Seiring dia
belajar puasa, ia mulai bisa menahan lapar dan haus hingga jam 12 siang. Kebanyakan
karena ia ke sekolah atau main bersama temannya. Ketika temannya main ke rumah,
ia juga malu-malu untuk merengek. Meski ia belum bisa puasa satu hari full
meski diiming-imingi mainan sebagai hadiah.
Hingga
sepekan terakhir ramadan. Saya mulai
kecapaian membangunkannya sahur. Saya menyerah meski mungkin jika saya paksakan
sedikit, Ia tetap bisa sahur. Saya memilih menikmati sahur dengan khusyuk tanpa
perlu membangunkannya untuk makan. Hanya saat ketika ia ikut terbangun saya memberinya
makan dan “memaksanya”puasa.
Well, She
just five years old. Apa yang dia pelajari ramadan kali ini meskipun tidak
puasa penuh, bolong-bolong, penuh drama, at least dia mulai mengenal apa itu
puasa. Semoga tahun depan kami sekeluarga bisa berjumpa dengan Ramadan lagi
dalam kondisi sehat wal afiat sehingga pelajaran puasa itu tetap berlanjut buat
Ara dan pelajaran bersabar menghadapi Ara yang puasa buat mamanya. Aaaamiiinnn….
Kamis, 22
Juni 2017
Comments
Post a Comment