Suatu waktu Emma Stone diundang ke Conan Show. Ia membincangkan tentang film terbaru, karir, hingga lagu favoritnya. Dengan penuh percaya diri ia menyanyikan sepenggal lirik lagu sambil berjoget-joget. Ia tidak menyanyi dalam bahasa Inggris. Ia malah menyanyikan satu hits dari girls’ generation yang sama sekali ia tak paham artinya. “Saya hanya mengulang pada bagian yang berbahasa Inggris. Selebihnya saya tidak paham. Tapi saya menyukai musik dan koreografinya”, katanya. “It so addictive” tambahnya.
Phenomena budaya Hallyu atau Korean Wave mewabah di seluruh
dunia. Pria-pria bercelak mata dan
bergoyang penuh harmoni. Gadis-gadis dengan kaki jenjang yang putih dan tampak
cantik. Drama-drama bertabur actor aktris rupawan dengan cerita cinta yang
menggemaskan, serta hidangan sawi putih yang difermentasi.
Mari melihat ke belakang sejenak. Korea Selatan tahun 1980an
tidak ada bedanya dengan Negara dunia ketiga lainnya. Imunisasi di sekolah dengan jarum yang sama
untuk semua siswa yang disterilkan dengan api lilin. Toilet jongkok tanpa
system penyiraman. Serta mengumpulkan kotoran untuk tes cacingan. Namun, sejak
krisis ekonomi Asia tahun 1990an, Korea Selatan bertekad mengubah Negara dari
dalam ke luar secara social, budaya dan mental (Hal.10).
Tekad kuat inilah yang menjadikan Hallyu menjadi soft power
Korea di pentas dunia. orang korea menyebutnya Han. Han tidak memililki padanan
kata dalam bahasa Inggris. Han bisa diartikan sebagai dendam yang kuat yang
menjadi turun temurun namun tidak berisfat buruk. Kuatnya Han di Korea
dipengaruhi oleh sejarahnya yang selalu menjadi bangsa inferior. Dijajah oleh
Jepang menjadikan Korea Selatan melihat Jepang sebagai Negara yang harus
ditaklukkan dengan soft power ini.
Korean Cool, Strategi Inovatif di Balik Ledakan Budaya Pop
Korea mengupas tuntas tentang bagaimana peran pemerintah mendorong budaya pop
Korea atau Hallyu menjadi budaya pop yang dikagumi dunia. Di buku ini,
dijelaskan para aktris Korea bukanlah artis karbitan yang langsung bergoyang di
depan kamera dengan modal tampan tapi melewati proses belajar bertahun-tahun
yang sangat konsisten dibawah kontrak yang serupa perbudakan.
Kerja sama antara pihak swasta dan pemerintah dalam
mengembangkan industry pop Korea patut diacungi jempol. Dengan investasi yang
besar-besaran mereka berhasil membawa Korean Wave digandrungi di seluruh dunia.
tak hanya menjadikan K pop sebagai bagian dari kekinian tapi menjadikan Korea
Selatan sebagai brand.
Mengutip sebuah jawaban dari pertanyaan di buku ini, apa
yang menurut orang Asia keren dari Korea?
“Apa yang tidak keren
dari Korea? Korea adalah tempatnya produk elektronik canggih, wanita-wanita
cantik berkaki jenjang, pria-pria yang memiliki sisi emosional kuat serta otot
dan wajah tampan”. (Hal .214).
Jawaban tersebut cukup merangkum mengapa kebanyakan dari
kita menggunakan handphone merek Samsung sambil termehek-mehek menonton drama
korea. Euny Hong menulis buku ini dengan ringan dan jenaka. Sebagai
orang Korea yang lahir di Amerika dan pernah hidup di Korea Selatan pada masa
remajanya, kenangan-kenangan masa kecilnya akan Gangnam menjadikan buku ini
terasa lebih personal.
Buat kamu para penggemar Hallyu, bolehlah menjadikan buku
ini sebagai bacaan tambahan untuk memahami fenomena budaya dan mengapa anda
bisa tersihir olehnya.
Selamat membaca. (*)
Bogor, 13 April 2016
Comments
Post a Comment