Skip to main content

Pesan


“It has been said, 'time heals all wounds.' I do not agree. The wounds remain. In time, the mind, protecting its sanity, covers them with scar tissue and the pain lessens. But it is never gone.” 
Rose Kennedy

Pesan itu masuk di kotak percakapan akun sosialku kala siang begitu terik dan udara kering. "Hi", tulisnya, plus sebuah emotikon senyum berwarna kuning bersemu merah. Kurasakan hatiku menghangat. Sel-sel darah yang mengalir di pembuluh darahku terasa mengental. Menciptakan rasa kebas pada jemariku. Kutarik nafasku dalam-dalam. Meletakkan gawaiku di pangkuan sembari kuluruskan tanganku. 

Mengapa? Kata itu yang pertama menjadi respon otakku menjawab pertanyaan itu. Sayangnya jemariku memilih menekan alfabet H dan I. Tanpa emotikon senyum yang cukup memberi kesan dingin. "hi" terpampang kata singkat itu dilayar gawai dengan gelembung biru penanda percakapanku. 
"Glad you reply", tanpa jeda waktu, balasan itu bersaran di kotak percakapanku. 

Kuteliti pesan pertama itu. Pukul 9.20 pagi. Kulirik angka penunjuk waktu di gawaiku, 13.15. "How are you?", pesan yang lain muncul. "Fine. You?", balasku. "Fine too", ketiknya. 

10 bulan, 12 hari, 14 jam, 37 menit telah berlalu sejak aku menguatkan hatiku menutup cerita tentangnya. Melangkah tanpa menoleh kembali dengan kepingan hati yang patah yang berusaha aku rekatkan kembali. Segala saluran yang mampu mengirimiku kabar tentangnya berusaha aku jauhi. 

Sebuah pertengkaran yang menjadi akhir hubungan kami. Keegoisan yang kami pertahankan masing-masing. Dan akulah yang pada akhirnya harus melangkah pergi agar segala sesuatu bisa kembali normal seperti sedia kala. Jika saja aku sedikit melunakkan hati untuk mampu memahaminya kala itu. Tapi, sudah cukup aku bertahan memenuhi segala permintaan sementara dirinya hanyalah sibuk dengan janji-janji yang tak kunjung ditepati. 

"Cukup!!!", jeritku. "Diantara kita, kamu yang bajingan. Go to hell!!". Hanya permintaan maaf yang terus ia ucapkan. Namun aku tidak punya lagi maaf yang tersisa. Pertengkaran itu menguap ke udara dan menghilang. 

"Kenapa?", tanyaku. "I just wanna say sorry", balasnya. Setelah sekian lama kenapa kamu baru sekarang berusaha menghubungi lagi. Ketika luka-luka sudah mulai mengering. Kamu rindu? Merasa kehilangan? Atau rasa bersalah yang terus menghantui. Kenap bukan kemarin-kemarin? Tidak kah kamu tahu, satu pesan darimu sanggup membuat luka-luka lama sengilu luka yang baru.

Apakah kamu peduli pada malam-malam di manaaku menangis hingga tertidur karena mengingatmu, merindu sekaligus membenci di saat yang bersamaan? Kenapa bukan malam-malam itu kamu hadir menyapaku dan meminta maaf? Mengapa butuh ratusan hari? Mengapa sekarang? Mengapa tidak kamu simpan saja permintaan maafmu itu? 

"Masa lalu ada di belakang", jawabku. Sebuah emotikon senyum menjadi respon jawabanku. Kamu tidak pernah benar-benar bisa memahamiku, ucapku dalam hati.  Aku mencoba memaafkan masa lalu. Tapi sampai saat ini aku belum berhasil. Juga padamu. Jangan memaksaku menjelma menjadi malaikat yang di masa lalu sayapnya telah kamu patahkan. Biarkan aku memilih antagonis. Cukuplah kamu yang menjadi pratagonis. Kamulah yang pemaaf. Bukan aku. 

Ketika aku berusaha  melupakan kenangan-kenangan itu, aku sedang berkompromi untuk memaafkan. Tapi cara-cara yang kita tempuh mungkin tidak sama. Jadi kumohon, jangan maksaku untuk memaafkan masa lalu. Lukanya belum sembuh dan takkan pernah hilang. 

"Talk to you tomorrow", pesannya. Satu janji lagi yang tidak akan ia tepati. (*) 

Bogor, 24 Maret 2015

Comments

Popular posts from this blog

Kesatria Putih dan Peri Biru

Di sebuah zaman, di negeri antah berantah tersebutlah sebuah kerajaan bernama Koin Emas. Di kerajaan ini semua rakyat rajin bekerja dan pandai menabung. Setiap koin yang dihasilkan dari bekerja setiap harinya disisihkan untuk ditabung untuk masa depan. Sang raja memiliki tempat penyimpanan khusus untuk setiap koin yang disisihkan rakyatnya. Namun terdapat satu koin pusaka yang telah turun temurun diwariskan oleh raja-raja terdahulu. Koin itu diyakini drachma asli dari Dewa yang diturunkan khusus dari langit dan diwariskan untuk menjaga kesejahteraan kerajaan Koin Emas. Koin pusaka tersebut menjadi pelindung kerajaan Koin Emas. Jika koin itu hilang diramalkan kesejahteraan di kerajaan Koin Emas akan berubah menjadi kesengsaraan. Koin itu pun dinilai memiliki khasiat mampu member kekuatan dan kekuasaan bagi yang memilikinya. Raja begitu menjaga pusaka tersebut. Ia takut jika koin pusaka itu hilang atau dicuri. Hingga suatu hari kedamaian di kerajaan itu terganggu. Seekor Naga Merah m...

Pride and Prejudice : I’m Bewitched

Tak pernah kusangka saya akan jatuh cinta pada film Pride and Prejudice. Waktu kuliah dan masa-masa belum punya anak, saya tidak pernah tergerak untuk menonton film ini. Prasangka saya terhadap film ini sudah tumbuh sejak memiliki versi Film India di tahun sebelumnya. Mungkin karena hal itu saya kemudian tidak tertarik menontonnya.   Namun karena episode-episode drama korea yang aku nonton udah habis, ditambah kebosanan pada topik medsos yang masih heboh dengan pilpres, dan juga pengaruh hari valentine yang menyebabkan algoritma lapak streaming merekomendasi film-film romantis menjadi sebab akhirnya saya menonton film ini Semuanya berawal dari ketidaksengajaan menonton Atonement yang diperankan oleh Kiera Knightley. Film ini cukup bagus, meski di tengah jalan saya udah kena spoiler via wikipedia dan rada senewen dengan endingnya. Tapi kecantikan Kiera Knightley tetap mampu membuat saya menyelesaikan film itu sampai detik terakhir. Saking senewennya dengan ending Atonement, sa...

Irfan Bachdim Teman SMP Aku loh!!!!

Di mimpiku Irfan Bachdim pake jaket coklat :) Irfan Bachdim Teman SMP Aku loh!!!! Kok bisa? Ini sebabnya... Siang ini mimpiku begitu ajaib. Aku bermimpi menonton laga Persema dan PSM di stadion Mattoanging. Alasannya siapa lagi kalo bukan Irfan Bachdim. Hahahahahahaha. Disaat itu jelas-jelas aku mendukung Persema. Bukan PSM. Bahkan baju yang kupakai pun adalah seragam Persema. Yang mengejutkan dari mimpi adalah saat aku memperhatikan pemain-pemain   Persema lebih jelas untuk mencari sosok Irfan Bachdim, sosok yang kucari itu bahkan menghampiriku. Berbicara padaku dari pinggir lapangan “Dwi, u’re beautiful”. Sontak saja terkejut. Dimana dia bisa mengenal namaku. “How do u know me” tanyaku.  “ I know you, Ani” katanya. Hei, bahkan nama kecilku pun ia tahu. Aku terkejut. Wow, apa dia menguntitku. Sampai membaca semua isi blogku. Hanya teman-teman SD dan SMP yang tahu nama kecilku. Saat SMA aku tak lagi dipanggil dengan nama Ani. Dan k...