Skip to main content

Merindukan Paulo Coelho dan Haruki Murakami


Tiba-tiba ingin membaca buku Haruki Murakami dan Paulo Coelho. Padahal saya tidak terlalu gandrung pada karya dua penulis ini. Saya hanya membaca Norwegian Woodnya Haruki Murakami dan Alkemis serta The Zahir dari Paulo Coelho. Saya belum bisa mengatakan saya jatuh cinta pada kedua penulis ini, namun karya-karya mereka membuat saya berpikir dan merenung. 

Norwegian Wood merupakan cerita kehidupan remaja yang mencari jati diri. Diceritakan dengan kelam dan terasa berat untuk dibaca. Tapi menurutku ngejelimetnya itu yang bikin saya terus memikirkan cerita itu. Karakter tokohnya dingin, putus asa, dan seperti melayang tanpa jiwa. Kupikir setiap manusia setidaknya pernah sekali merasakan hal yang sama. Penuh nelangsa dan galau. Titik yang selalu membuat manusia menjadikan bunuh diri sebagai pilihan. 

Terasa pesimis dan negatif tapi menurutku disitulah letak asyiknya membaca buku Norwegian Wood. Kabarnya beberapa karya Murakami yang lain pun demikian dan berakhir dengan mati. Mungkin saat ini saya sedikit melankolis dan butuh untuk mencicipi rasanya "bunuh diri" sehingga saya merindukan membaca Murakami. Agak menyesal juga tidak menonton film Norwegian Wood yang dulu ditawarkan di Netflix. 

Paulo Coelho adalah penulis yang berkebalikan dengan Haruki Murakami. Rangkaian kata di tiap karyanya mampu membuat saya merenungi tentang makna hidup dan cinta. Bersuka cita untuk cinta yang mekar dan menenangkan untuk cinta yang tak berbalas. 

Kutipan-kutipan karyanya yang selalu update di laman fesbuk saya membuat saya penasaran akan cerita yang menyertai kalimat-kalimat yang menenangkan itu. Karenanya saya pun merindukan Paulo Coelho. 

Kesimpulannya, saya lagi melankolis, galau, nelangsa, dan butuh penenang jiwa. Maka Haruki Murakami dan Paulo Coelho lah yang paling cocok untuk saya saat ini. Mungkin juga karena saya sudah kangen ke toko buku, membeli dan membacanya karya mereka. (*)

Bone, 8 Februari 2014

Comments

Popular posts from this blog

Seketika Ke Sukabumi

twit ekspektasi vs twit realita Setelah kelelahan karena hampir seharian di Mal sehabis nonton Dr.Dolittle pada hari rabu, dengan santai saya mencuitkan kalimat di Twitter "karena udah ke mal hari Rabu. Weekend nanti kita berenang saja di kolam dekat rumah”. Sebuah perencanaan akhir pekan yang sehat dan tidak butuh banyak biaya. Saya sudah membayangkan setelah berenang saya melakukan ritual rebahan depan TV yang menayangkan serial Korea sambil tangan skrol-skrol gawai membaca utasan cerita yang ga ada manfaatnya.  Sebuah perencanaan unfaedah yang menggiurkan. Tiba-tiba Kamis malam suami ngajakin ke Taman Safari liat gajah pas akhir pekan. Mau ngasih liat ke Anna yang udah mulai kegirangan liat binatang-binatang aneka rupa. Terlebih lagi sehari sebelumnya kami menonton film Dr.Dolittle yang bercerita tentang dokter yang bisa memahami bahasa hewan. Sekalian  nginap di hotel berfasilitas kolam air panas. Hmmm. Saya agak malas sih. Membayangkan Taman Safari yan...

antusiasme berfoto....

Sebagai prasyarat untuk mendapat izin ujian selain kelenagkapan berkas, calon sarjana perlu menyertakan foto berjas atau berkebaya. Beranjak dari sinilah cerita hari ini bergulir. “izin ujian itu lama loh keluarnya” kata Santi. ( wahhh…aku harus segera mengurusnya ) Tapi aku belum berfoto. Merujuk pada dua orang kakak perempuanku yang telah berhasil menyelesaikan kuliah S1-nya dan telah melalui sesi berfoto untuk ujian dan wisuda, kepada merekalah aku meminta petunjuk. Dan hasilnya….keduanya berfoto menggunakan kebaya untuk ijazahnya. Meski kak Ipah memakai jilbab, ternyata untuk tampil cantik di ijazah ia rela untuk melepas jilbabnya dan bersanggul kartini. Dan atas petunjuk inilah aku pun kemudian mempertimbangkan hal tersebut. Dengan beberapa pertimbangan : Pertama, Dwi kan tidak berjilbab. Teman-teman yang pake jas rata-rata yang berjilbab. Kedua, Inikan ijazah untuk S1, tak ada orang yang memiliki gelar S1 dua kali. Mungkin ada, tapi mereka devian. (...

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan ...