Skip to main content

Anna Yang Tumbuh Besar

Anna dengan outfit dari kaki sampai ke baju "hands down" dari kakaknya



 Karena sibuk mencari earphone untuk keperluan zoom meeting Ara dengan guru kelasnya, saya akhirnya membongkar satu isi lemari. Saya menemukan baju-baju Ara yang masih bagus yang memang kusimpan untuk Anna. Anna yang selalu mengekor kemana pun saya pergi terkesima dengan baju-baju itu.

Saya lupa baju-baju itu dipakai Ara usia berapa. Hanya saja tetap saja mengejutkan saat kupakaikan baju-baju itu di badan Anna. Semua sudah pas. Tidak kebesaran tidak kekecilan. Memoriku menyimpan kenangan Ara yang memakai baju-baju itu kala ia berumur sedikit agak lebih besar dari Anna.

Karenanya melihat baju-baju cocok di badan Anna membuatku tersadar bahwa Anna bukan lagi bayi kecil yang selalu kugendong. Tak lama lagi  ia akan sibuk dengan dunianya. Tidak lagi membuka pintu toilet dengan tiba-tiba sembari saya ada di dalam. Entah mengapa saya masih menganggapnya bayi yang baru belajar berjalan. Mungkin karena ia belum terlalu lancar berbicara. Atau mungkin karena tingkahnya yang masih begitu imut. 

Namun, tiap hari selalu ada kondisi-kondisi yang mengejutkan saya. Menyadarkan saya bahwa ia telah membesar. Seperti hari ini, ketika ia mencari magnet kulkas berbentuk eskrim yang sering ia mainkan. Dengan spontan ia berbicara " where is the ice cream go. Question mark". Celutukannya membuat saya tersenyum. Kalimat itu begitu sempurna lengkap dengan tanda baca "tanda tanya". Menunjukkan level kecerdasan yang bukan lagi anak bayi. 
Ia pun mulai menangkap logika penjumlahan tanpa perlu pembelajaran. Buat saya pribadi, kurikulum pembelajaran tak perlu diberikan secara intens ke anak. Biarkan ia mempelajari sendiri. Biarkan usianya yang membuat ia bergerak ke pengetahuan itu.
Mungkin karena pemikiran ini jugalah membuat saya tidak begitu ngebet untuk menyekolahkannya cepat-cepat. Mengajarinya huruf dan angka. Atau mengajarinya mengaji.

Perlahan ia belajar sendiri tentang huruf. Mulai belajar menulis. Mulai belajar mengaji karena keinginannya. Logika penjumlahan mulai ia pahami. Meski perlahan dan tanpa paksaan. 
Bantuin Mama cuci piring

Ia belajar untuk mandiri. Memakai baju sendiri. Mengancingnya meski tidak jarang frustasi karena gagal. Belajar empati dan menolong. Bertanya " kenapa?" jika sedikit saja saya mengeluarkan keluhan. Bertanya "sakit ga?" jika saya memperhatikan beberapa bekas luka. Belajar membantu mencuci piring, menawarkan bantuan untuk segala hal yang sebenarnya jika ia lakukan membuat pekerjaan terasa lebih lama. Tingkah kecilnya membuat saya tersadar, tak lama ia akan lebih banyak bermain dengan temannya. Sibuk dengan hobinya. Berhenti mengekor kemana pun saya pergi. Membayang masa itu, rasanya saya sudah kesepian. Meski aktivitas ngekornya pun kadang membuat saya sedikit kesal. Tapi untuk sekarang biarlah saya menikmati hari-hari bersama Anna yang berusia empat tahun. Bermain bersama. Menjadi karakter teman-teman imajinasinya. Menskroll website komersial sambil mencari mainan. Memberi tanda hati pada mainan yang lucu.  Mengomentari baju badut, seperti yang dipakai  pengamen di jalan,  yang ingin dibeli Anna yang kemudian membuatnya berkomentar " beli ini ma. Nanti dikasi uang". Kemudian tertawa bersama ketika harus memilih siapa yang baiknya memakai baju badut itu.
Menikmati tiap ciuman yang dia hitung. Setiap kali belum selesai dia  akan start dari angka satu lagi. Mendengarkan ceritanya bagian mana di wajah yang ia suka cium. "Mama dahi, Anna pipi". Mengusiknya tentang suka Etta atau tidak yang selalu dijawabnya tidak suka karena Etta big, Anna small. Bercerita bagaimana jika Ayah yang dicium. " Ayah "brrrrrr" kalo di kiss", katanya sambil menirukan ekspresi kegirangan bapaknya tiap kali dicium.
Anna yang suka difoto

Obrol-obrolan sederhana yang tidak jelas namun kelak pasti bakal kurindukan. Saya jarang menulis tentang Anna, tapi menyadari ia bertumbuh begitu cepat membuat saya sadar, kelak dia akan bertanya seperti apa ia waktu kecil. Kelak pun saya akan bertanya kenangan apa yang paling kamu ingat sewaktu kecil. Karenanya mari kita membuat setiap kenangan begitu berarti untuk kita ingat di masa depan. Bogor, 17 September 2020

Comments

Popular posts from this blog

Seketika Ke Sukabumi

twit ekspektasi vs twit realita Setelah kelelahan karena hampir seharian di Mal sehabis nonton Dr.Dolittle pada hari rabu, dengan santai saya mencuitkan kalimat di Twitter "karena udah ke mal hari Rabu. Weekend nanti kita berenang saja di kolam dekat rumah”. Sebuah perencanaan akhir pekan yang sehat dan tidak butuh banyak biaya. Saya sudah membayangkan setelah berenang saya melakukan ritual rebahan depan TV yang menayangkan serial Korea sambil tangan skrol-skrol gawai membaca utasan cerita yang ga ada manfaatnya.  Sebuah perencanaan unfaedah yang menggiurkan. Tiba-tiba Kamis malam suami ngajakin ke Taman Safari liat gajah pas akhir pekan. Mau ngasih liat ke Anna yang udah mulai kegirangan liat binatang-binatang aneka rupa. Terlebih lagi sehari sebelumnya kami menonton film Dr.Dolittle yang bercerita tentang dokter yang bisa memahami bahasa hewan. Sekalian  nginap di hotel berfasilitas kolam air panas. Hmmm. Saya agak malas sih. Membayangkan Taman Safari yan...

Pride and Prejudice : I’m Bewitched

Tak pernah kusangka saya akan jatuh cinta pada film Pride and Prejudice. Waktu kuliah dan masa-masa belum punya anak, saya tidak pernah tergerak untuk menonton film ini. Prasangka saya terhadap film ini sudah tumbuh sejak memiliki versi Film India di tahun sebelumnya. Mungkin karena hal itu saya kemudian tidak tertarik menontonnya.   Namun karena episode-episode drama korea yang aku nonton udah habis, ditambah kebosanan pada topik medsos yang masih heboh dengan pilpres, dan juga pengaruh hari valentine yang menyebabkan algoritma lapak streaming merekomendasi film-film romantis menjadi sebab akhirnya saya menonton film ini Semuanya berawal dari ketidaksengajaan menonton Atonement yang diperankan oleh Kiera Knightley. Film ini cukup bagus, meski di tengah jalan saya udah kena spoiler via wikipedia dan rada senewen dengan endingnya. Tapi kecantikan Kiera Knightley tetap mampu membuat saya menyelesaikan film itu sampai detik terakhir. Saking senewennya dengan ending Atonement, sa...

Membaca Loversus

Kata K Zulham, teman sekantorku Chicklit itu oportunis. Chicklit adalah genre novel remaja yang menceritakan persoalan anak sekolahan dan percintaan. Tapi yang menyenangkan adalah bagaimana kau membaca dan menemukan apa yang ingin kau baca. Bagaimana kamu tersenyum bahagia di ending sebuah buku. Dan ribuan diksi baru menghingapi otak dan pikiranmu karena penyajiannya. Tak peduli jenis bacaan apa pun ia. Tak peduli ia adalah kumpulan cerpen, dongeng sebelum tidur, bacaan remaja,Chicklit, Teenlit atau novel berat yang terlalu ngejelimet. Aku mengikat kesan itu setelah menuntaskan 216 halaman buku Farah Hidayati. Loversus . Sebuah chicklit yang berfokus pada cerita tentang persahabatan dua siswa SMA yang berawal dari adegan pencarian sepatu hingga pencarian TKI dalam geografis Macau dan London. Pada awalnya saya menganggap buku Loversus ini sama dengan chicklit-chicklit yang pada umumnya hanya sekedar berdialog dan tidak memiliki kedalaman cerita. Namun aku harus mengubah pendapatku di ...