Skip to main content

Ara Merapikan Rumah


ilustrasi (sumber foto di sini)
Bando-bando bertebaran di lantai. Gelang-gelang seukuran lengan kanak-kanak tak kalah berantakannya. Pensil warna tak karuan. Beberapa botol make up juga ikut andil membuat rumah berantakan. Hari ini Ara bermain jual-jualan. Dia yang menjadi penjual, saya pembeli. Saya malas menemaninya main, dia sibuk menemukan benda-benda yang menarik minatnya dari kotak di atas meja. 

Benda terakhir yan menarik minatnya adalah sekaleng manik-manik yang dia simpan di telapak tangannya. Ia berteriak “Surprise” dan detik berikutnya manik-manik tersebut ia lempar ke udara dan bertebaran di lantai.

*Garuk dinding* *rumah berantakan lagi*. Si anak semata wayangku cuma senyum tanpa dosa sambil terus melanjutkan aktivitas Suprisenya yang benar-benar mengejutkan. Saya memilih melipir ke kamar dan tidak peduli dengan rumah yang berantakan. Ia masih melanjutkan aktivitas bermainnya yang tidak lagi saya perhatikan karena larut dengan cerita si Jhon Snow. 

Ia pun bosan. Memilh mengganggu saya di kamar dengan benda-benda yang lebih banyak lagi yang ia temukan di dalam kotak. Serupa kotak ajaib, ada-ada saja benda yang menarik perhatiannya. Kemudian saya iseng memintanya untuk membersihkan rumah. “Nanti di kasi uang?” tanyanya. “Kayak di Umizumi. Kakaknya membersihkan rumah, terus mamanya kasi uang”, katanya menjelaskan. 

Ara penggemar acara anak-anak di Nick junior. Dia menambah kosakata bahasa Inggrisnya dari acara tivi tersebut. Selain itu ia juga memperhatikan dengan teliti jalan ceritanya. Umizumi adalah sebuah serial yang selalu ia nonton sebelum sekolah dan episode tentang anak yang membantu ibunya dan mendapat reward uang benar adanya. 

“Oke. Nanti saya kasi uang Rp.5000”, kataku. Saya bertaruh ia tidak akan menyelesaikan tugas merapikan rumahnya dan memilih menyerah. Saya kemudian melanjutkan membaca buku. Dari balik buku saya mengintip Ara sibuk menyapu manik-maniknya.  tak butuh lama dia bakal meminta tolong, pikirku.

Menit berlalu. Ara sibuk di ruang tengah. Memunguti manik-manik. Menyimpan pensil-pensil warnanya di tempatnya. Mengembalikan botol-botol make up. Saya tidak menyangka ia bakal serajin itu. Saya memperhatikannya menyimpan kuteks dan liptisk serta sisir dengan pelan. Ia mendapati ekor mata saya memperhatikan gerak-geriknya. Ia tertawa. “Nanti di kasi uang kan?”, tanyanya lagi. Saya mengiyakan. 

Saya mengecek ruang tengah. Setengah dari manik-manik udah hilang dari lantai. Berpindah ke kaleng sampah. “Are you done?, tanyaku. “No. it still messy”, katanya. “buku-bukumu dirapikan juga ya”, kataku sambil kembali rebahan dan melanjutkan bacaan.

Ara sibuk mengangkat kasur lipatnya. Merapikannya di kamar. Dengan telaten ia mengembalikan semua benda-benda ke tempatnya semula. Iseng saya mengintip hasil kerjaannya. All Clean. Ga ada benda-benda bertebaran di lantai. Semua telah dirapikan dan berada di tempatnya masih-masing. Dia senyum penuh kemenangan. “It’s Done”, katanya. “Ara capek. Mana uangnya?”, Tanyanya menodong. 

Di dompet ga ada uang Rp.5000. Yang ada Cuma Rp. 20.000. Awalnya saya pengen memberikan semua, tapi saya mengurungkan niat. Saya mengijinkannya memegang uang Rp.20.000 itu, nanti kalo ayahnya pulang bisa ditukar dengan uang Rp.5000.

Ia begitu senang meraih uang Rp.20.000 itu. Upah pertama yang ia dapat dari hasil keringat sendiri. Pas ayahnya pulang, dengan antusias ia menceritakan telah merapikan rumah dan mendapat uang. “Tapi tunggu ayah pulang dulu dan tukar uangnnya”, katanya.

“Uangnya mo dipakai buat apa?”, tanyaku. “Mau dipakai buat beli mainan kayak di Umizumi”, kata Ara. Saya menyarankan agar uangny ditabung untuk beli buku yang ia idamkan. “Besok-besok harus rajin bantu mama. Tapi jangan selalu minta upah ya. Membantu itu harus dari hati. Ikhlas tanpa pamrih”, kataku menjelaskan. Entah ia paham atau tidak. Ia sibuk mengagumi uang Rp.5000 miliknya.

Bogor, 24 Februari 2016

 

Comments

Popular posts from this blog

jurnalistik siaran, pindah kost-kostan, dan "capek deh!"

Akhirnya, kembali bisa menyempatkan diri sejenak ke Teras Imaji. Sedikit berbagi kisah lagi dengan diri sendiri. Sekedar untuk sebuah kisah klasik untuk Saraswati dan Timur Angin kelak. Aku tak pernah menyangka bahwa aku bisa bertahan sampai saat ini.meski tugas kuliah menumpuk. Keharusan untuk pindah pondokan. Kewajiban lain yang belum terselesaikan.Problem hati yang menyakitkan. Serta kontrak yang tersetujui karena takut kehilangan peluang meski tubuh ini harus sudah berhenti. Siang tadi (15 nov 06) seharian ngedit tugas siaran radioku. Tak enak rasanya pada teman-teman, memberatkan mereka. menyita waktu yang seharusnya untuk hal lain. Tak enak hati pada Pak Anchu, penjaga jurusan. yang tertahan hanya menunggu kami menyelesaikan tugas itu. Dengan modal suara fals nan cempreng toh aku pun akhirnya harus sedikit PD untuk membuat tugas itu. Meski hanya menguasai program office di komputer, toh aku harus memaksakan belajar cool-edit (yang kata teman-teman yang udah bisa merupakan sesuatu...

Seketika Ke Sukabumi

twit ekspektasi vs twit realita Setelah kelelahan karena hampir seharian di Mal sehabis nonton Dr.Dolittle pada hari rabu, dengan santai saya mencuitkan kalimat di Twitter "karena udah ke mal hari Rabu. Weekend nanti kita berenang saja di kolam dekat rumah”. Sebuah perencanaan akhir pekan yang sehat dan tidak butuh banyak biaya. Saya sudah membayangkan setelah berenang saya melakukan ritual rebahan depan TV yang menayangkan serial Korea sambil tangan skrol-skrol gawai membaca utasan cerita yang ga ada manfaatnya.  Sebuah perencanaan unfaedah yang menggiurkan. Tiba-tiba Kamis malam suami ngajakin ke Taman Safari liat gajah pas akhir pekan. Mau ngasih liat ke Anna yang udah mulai kegirangan liat binatang-binatang aneka rupa. Terlebih lagi sehari sebelumnya kami menonton film Dr.Dolittle yang bercerita tentang dokter yang bisa memahami bahasa hewan. Sekalian  nginap di hotel berfasilitas kolam air panas. Hmmm. Saya agak malas sih. Membayangkan Taman Safari yan...

tentang buku

"...u can buy many book,but u can't buy a knowledge" 081383118xxx pesan itu sampai ke ponselku beberapa saat setelah aku mengeluh pada seseorang tentang buku "detik-detik menentukan" BJ.Habibie yang tak berhasil aku peroleh dari peluncuran bukunya di hotel clarion hari ini. iya mungkin benar...aku terlalu mengharapkan buku yang ditulis mantan presiden ketiga ini.padahal ku punya begitu banyak buku yang bertumpuk di kamar. Belum pernah aku jamah sedikit pun. aku tak tahu beberapa hari terakhir ini aku begitu jauh dari buku. jauh dari para pengarang-pengarang besar dengan segala masterpiece-nya. akuy begitu malas membaca. malas membuka tiap lembar buku tebal itu dan memplototi huruf-hurufnya yang kecil. "tahu tidak...buku bisa membawa kesuatu tempat tanpa kamu harus bergesr se-inci pun" kata-kata itu selalu keluar jka aku mengeluh sedang malas baca buku... entahlah aku begit malas mengetahui tiap isinya. aku hanya terpesona pada banyak tumpukannya di kam...