Skip to main content

Imaji Pernikahan


Aku pernah membayangkan sebuah prosesi pernikahan untukku. Aku mendesignnya di benakku. Dari sebelum pernikahan hingga setelah pernikahan. Aku seperti gadis kecil berkepang dua yang menggunakan gaun merah di sebuah pesta pernikahan dan berusaha membangun imaji tentang sebuah pesta nikah di dunia khayalku. Aku membayangkan semua hal detailnya. Dari sebuah konsep pernikahan ala Jepang hingga pernikahan ala adatku sendiri. Aku benar-benar mengimajinasikannya. Saat itu aku menganggap sebuah pesta pernikahan harus sebuah acara glamour yang haruslah sempurna. Pernikahan haruslah sekali seumur hidup.Karena ia hanya sekali maka harus dilaksanakan dengan begitu sempurna.

Itu adalah imajinasiku waktu aku belumlah benar-benar harus berhadapan dengan sebuah “pernikahan”itu sendiri. Yakinlah ketika kau benar-benar harus menghadapinya semua imajinasimu takkan kesampaian. Pernikahan. Tak hanya sebuah prosesi indah yang aku pikirkan dalam imaji anak kecilku. Ia lebih kompleks dari itu. Pernikahan tak sekedar selembar kertas,seperti definisi dalam film Eclipse. Pernikahan adalah penautan dua hati. Dua keluarga. Dua adat. Dua dunia. Ketika pacaran kau hanya menautkan dua hati maka saat menikah lebih banyak lagi yang harus kau tautkan. Kau harus membuatnya menjadi pencampuran yang keren. Saat kau pacaran ketika pertengkaran begitu gampang mengucap kata putus berhati-hatilah mengucapkan kata itu jika hubungan itu telah disahkan dalam buku nikah. Kata itu tak hanya menyakitimu dan dia. Tapi menyakiti keluargamu. Orang-orang yang telah mengupayakan penautan dunia kalian berdua.

Aku pernah mengandaikan cinta itu seperti keeping puzzle yang saling melengkapi. Ketika mereka disatukan akan sempurnalah gambar teka teki itu. Atau ia serupa warna pelangi yang begitu berbeda. Namun tanpa salah satu warnanya ia takkan menjadi sebuah pelangi. Merah-Jingga-Kuning-Hijau-Biru-Nila-Ungu. Tanpa salah satunya mereka bukanlah pelangi. Tanpa salah satunya pelangi takkan indah.


Akupun menyadari bahwa pernikahan itu hampir memiliki pengandaian yang sama. Kompromi-kompromi adalah jalan keluar untuk segala perbedaan. Pernikahan adalah sebuah jalan untuk membuktikan bahwa cinta itu tulus. Cinta itu adalah upaya saling memahami dan menghormati tiap perbedaan. Menyatukan segala kesamaan. Mengajarkan untuk tidak egois pada diri dan pasangan.


Aku berada di titik menghadapi sebuah pernikahan. Jalannya tidak bebas hambatan. Lumayan terjal dan berkerikil. Kadang membuat sedih, menangis,dan marah. Tapi mengajarkanku untuk tidak egois. Berusaha menerima semua kompromi-kompromi yang ditawarkan. Sesekali ngotot perlu, tapi kadang perlu tahu kapan harus menginjak REMnya. Pernikahan ini membuatku belajar dewasa. Belajar untuk mendengarkan orang lain. Mengikuti saran orang lain. Tak seperti ketika aku masih dalam status sebagai bukan siapa-siapa hanya diriku. Ketika aku tak bersepakat dan tak ingin mengikuti saran orang lain dengan seenaknya saja aku bisa pergi menjauh dan menghidari semua yang tak kusuka. Aku tak lagi menggunakan imajinasi kecilku untuk prosesi ini. Dan ini membuatku bijak. Membuatku memikirkan sebuah definisi kesakralan yang berbeda. Membuatku belajar menerima tiap keadaan dan tetap bahagia dengan itu.


Pernikahan ini tidak hanya sekedar “merepotkan” untukku (memakai kata merepotkan sebagai upaya penghalusan dari kata membebani atau memberatkan. Yakinlah aku tak bermaksud menganggap menikah adalah sebuah beban yang berat. Ini hanyalah pemilihan diksi). Banyak orang yang aku repotkan. Keluarga, orang-orang disekitarku. Mereka dengan sepenuh hati membantu memikirkan segala teknis dan prosesi hingga pernikahan ini terselenggara. Mereka menyediakan hati, pikiran dan waktunya hanya untuk dua orang yang ingin menyatukan cintanya. Dan mereka yang mendoakan hubungan ini tetap langgeng.

Ini menyadarkanku bahwa menikah benar-benar bukan hanyalah sebuah buku kecil dengan fotoku dan foto calon suamiku di dalamnya. Ini adalah sesuatu yang melebihi segalanya. Hubungan ini adalah hidup dan mati. Hubungan yang terputus dengan kata "Till Death Do Us Part” . Jika kelak ada ketakjernihan pikiran. Kesemrautan feeling. Emosi sesaat dan keeogisan yang memuncak. Ingatkan aku pada tulisan ini. Banyak orang yang telah kubebani dengan penyatuan ikatan ini. Jika kelak aku memutuskannya maka aku pun telah menyakiti mereka.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan ...

Norwegian Wood

Cukup melelahkan membaca Norwegian Wood karya Haruki Murakami. Buku yang telah kulihat wujudnya sejak tahun 2004 baru aku baca di tahun 2013. Saya tidak terlalu akrab dengan karya-karya Haruki Murakami. Buku Norwegian Wood ini adalah karyanya yang pertama saya baca.  Mengapa saya berkata buku ini cukup melelahkan? Karena buku ini bercerita tentang kematian dan sangkut pautnya dengan orang-orang yang ditinggalkan. Bukan kematian yang disebabkan sakit atau tua. Tapi kematian orang-orang muda yang memilih bunuh diri.  Bersetting tahun 1970an di Jepang, sang tokoh utama, Watanabe menceritakan kembali kisahnya. Ia bertemu kembali kekasih almarhum temannya yang memilih mati bunuh diri di usia 17 tahun. Sekalipun tidak akrab mereka selalu bersama. Berkeliling mengitari Tokyo tanpa tujuan. Hingga sang perempuan, Naoko masuk panti rehabilitasi gangguan jiwa. Ia lantas bertemu Midori, perempuan nyentrik yang selalu berkata seenak dia. Perempuan yang selalu jujur mengatakan apapun yang i...

Indecent Proposal

sumber foto : tvtropes.org Seorang bilyuner menawariku one billion dollar untuk one night stand dengannya. Aku bingung. Aku dan suami sedang tidak punya uang dan satu juta dollar begitu banyak. Mampu membiaya hidup kami. Disisi lain aku  mencintai suamiku, rasa-rasanya ini tidaklah patut. Tapi kami benar-benar tidak punya uang. Aku ingin melakukannya untuk suamiku. Aku mencintaiku dan tidak ingin melihatnya terlilit utang. Kami memutuskan mengambil tawaran itu. This is just sex bukan cinta. Ini hanya tubuhku. Aku dan suami memutuskan setelah semalam itu, kami tidak akan mengungkitnya lagi. Setelah malam itu. Kami berusaha menebus  properti kami yang jatuh tempo. Sayangnya, bank telah menyita dan melelangnya. Seorang pengusaha telah membelinya. Kami putus asa. Suamiku tiba-tiba berubah. malam itu, Ia mempertanyakan apa yang saya dan bilyuner itu lakukan. Padahal kami sepakat untuk tidak mengungkitnya. Saya menolak menjawab pertanyaannya. Saya tidak ingin lagi menginga...