Skip to main content

Pemantik Dari Kawan

Menulis adalah sebuah perjalanan menuju kelahiran. Itu kata Dewi Lestari. Seperti sebuah kehidupan baru, kelahiran ini memiliki banyak rintangan. Entah persaingan dari awal ia menjadi ide. Proses bercinta antara ide dan gerak jari yang menuliskannya. Bagaimana ia dirawat dalam kadungan hingga benar menjadi jaban bayi. Dan bagaimana memolesnya dan siap melahirkanya menjadi sebuah buku.

Beberapa bahkan tak sempat bercinta. Kenikmatan semu yag dilepaskan dalam bentuk onani atau masturbasi. Beberapa masih sempat merasakan nikmatnya sebuah persetubuhan. Namun keguguran dalam waktu usia kadungan yag masih sangat muda. Beberapa teraborsi atas nama rutinitas, writer’s block, atau bahkan karena mood. Hanya sedikit yang mampu bertahan. Lahir ke dunia dan bersaing dengan “manusia-manusia” lain. Terpapar nilai dan pasar. Bagus atau tidak. Best Seller atau hanya terjual satu atau dua eksamplar.

Tapi jika kau telah sampai pada proses melahirkannya. Ia mewujud dalam sebuah buku. Aku telah mengaggapmu hebat. Aku akan menaruh hormat padamu. Karena aku tahu betapa sulitnya “melahirkan “itu.

Bagiku menulis adalah sebuah perjalanan mewujudkan mimpi. Aku telah memimpikannya sejak lama. Sejak ketika aku membaca buku-buku perpustakaan SDku yang mampir dulu ke rumah sebelum di bawa ke sekolah. Sejak pertama aku membaca majalah Bobo di tahun 1992 aku telah menyukai menulis itu. Aku memulai menulis puisi pertamaku saat kelas tiga SD. Terinspirasi dari kematian ibu Tien Soeharto. Sebuah puisi yang tak lagi ingin aku baca dan aku ingat isinya.

Ketertarikanku menulis catatan harian ketika aku kelas 6 sekolah dasar. Aku telah menulis selembar ceritaku hari itu. Aku masih mengingat buku diary kecil itu. Bersampul domina berwara hijau. Dengan Spiral yag menjilidnya. Kertasnya berwarna-warni. Ada merah, hijau, dan biru.

Aku menyembunyikannya di bawah bantal di kamarku. Namun kakakku yang paling tua menemukannya saat kami asyik bercanda di kamar. Ia megatakan padaku “tunggulah hingga kelas 1 SMP dank au menulis diary”.Diary saat itu identik dengan menuliskan kisah cinta monyet. Menuliskan kisah tentang siapa saja yang mengirimimu surat cinta hari ini. Atau kakak kelas yang mana yang kamu naksir. Diary identik dengan anak perempuan yang beranjak remaja, menggunakan seragam putih biru, dan dengan buku yang tersegel oleh gembok. Diary terkesan sebagai sebuah rahasia yang hedak disimpan dan berstempel confidential.

Dwi kecil pun merobek satu halaman yang telah ditulisnya. Menunggu setahun hingga memulai menulis lembar-lembar diary. Diary kecil bergambar kartu anjing puddle lengkap dengan gembok. Dan yah, diary itu penuh dengan cerita masa SMP yang lucu dan kampungan.hihihihihi.

Mimpi itu masih aku bawa hingga hari ini. Hingga detik ini. Masuk dalam daftar mimpi-mimpi yang aku tulis sejak masa SMA. Jika aku berdiri di depan cermin Tarsah (cermin ini bisa kau dapati dalam buku Harry Potter 1) maka aku yakin refleksiku adalah aku dengan buku-buku yang kutulis sendiri. Atau jika aku masuk dalam karnaval imajinasi dr. Parnassus, aku yakin gambar imajinasi itu tak jauh dari buku-buku.
“ jangan larut dalam mimpi-mimpi dan melupakan hidup” pesan Dumbledore pada Harry ketika ia kembali melihat Harry megujungi cermin Tarsah itu. Bermimpi adalah hal yang paling mudah dan paling menyenangkan untuk dilakukan. Seliar apapun itu. Seganas apapun itu. Seberapa mematikannya. Tak ada yang akan melarangmu melakukannya.

Namun membuat mimpi menjadi nyata bukanlah persoalan yang mudah. Butuh berdarah-darah dan waktu yag cukup lama. Seperti sebuah kelahiran mewujudkan mimpi ini pun bisa mengalami keguguran di tengah jalan.Segala alasan dan permaafan menjadikannya permisif untuk tidak menjadi nyata. Tapi selalu ada ruang di hati yang kadang menyesakkan dada memaksanya untuk bisa bertahan.

Seorang kawan mengirimkan sebuah pesan dalam sebuah kiriman di fesbuk. Ia merindukan tulisan saya dan teman-tema mewujud dalam sebuah buku. Sebuah saja dulu. Ia telah menyediakan ruang kosong di ranselnya yang akan dibawanya kelak jika ia melakukan perjalanan. Aku terharu membacanya. Aku selalu merasa aku hanya sendirian menginginkan sebuah kelahiran satu buku. Satu buku saja dulu. Ternyata ada seseorang yang telah menunggu membacanya meski ia tak pernah tahu bagaimana rupa buku itu kelak. Mungkinkah ia jelek, cacat, tak menarik, tak member kesan. Entah.

Tapi bukan itu yang penting. Ketika seseorang telah menlahirkan sebuah karya, ia telah menjadi ibu dari karya tersebut. Tak peduli cap apa yang diberikan pada karyanya. Setidaknya ia telah membuktikan bahwa ia mampu mengandung dan melahirkan sebuah karya.Aku mengaminkannya. Diam-diam dalam sebuah rasa yang syahdu. Tuhan mungkin telah memeluk mimpi itu. Saatnya Ia melepaskannya dan membiarkan aku mewujudkannya di bumi. Amin (*).

Comments

Popular posts from this blog

Norwegian Wood

Cukup melelahkan membaca Norwegian Wood karya Haruki Murakami. Buku yang telah kulihat wujudnya sejak tahun 2004 baru aku baca di tahun 2013. Saya tidak terlalu akrab dengan karya-karya Haruki Murakami. Buku Norwegian Wood ini adalah karyanya yang pertama saya baca.  Mengapa saya berkata buku ini cukup melelahkan? Karena buku ini bercerita tentang kematian dan sangkut pautnya dengan orang-orang yang ditinggalkan. Bukan kematian yang disebabkan sakit atau tua. Tapi kematian orang-orang muda yang memilih bunuh diri.  Bersetting tahun 1970an di Jepang, sang tokoh utama, Watanabe menceritakan kembali kisahnya. Ia bertemu kembali kekasih almarhum temannya yang memilih mati bunuh diri di usia 17 tahun. Sekalipun tidak akrab mereka selalu bersama. Berkeliling mengitari Tokyo tanpa tujuan. Hingga sang perempuan, Naoko masuk panti rehabilitasi gangguan jiwa. Ia lantas bertemu Midori, perempuan nyentrik yang selalu berkata seenak dia. Perempuan yang selalu jujur mengatakan apapun yang i...

The Intimate Lover

sumber foto : www.amazon.com Apa yang akan kamu lakukan jika bertemu Mr. Rightman sesaat sebelum kamu menikah? Ms. Girl, perempuan yang telah bertunangan bertemu dengan Mr. Boy disuatu hari di dalam lift. Hanya mereka berdua di dalam lift yang meluncur turun dari lantai 20. "Jika tidak ada orang yang bersama kita dilift ini hingga lantai dasar, maka aku akan mentraktirmu minum"kata pria itu. Sayang, sang wanita memilih menginterupsi lift tersebut. Berhenti satu lantai sebelum lantai tujuan mereka dan memilih pergi. Tapi gerak bumi mendekatkan mereka. Tak berselang waktu mereka kembalib bertemu dan saling bercakap. Tak bertukar nama, memilih menjadi orang asing bagi masing-masing. Bertemu, berkenalan, dan melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama. Menyerahkan pada semesta kapan mereka hendak berpisah. Namun, ketika semesta mengharuskan mereka berpisah, dua orang tersebut telah saling jatuh cinta. Seberapa pun mereka berusaha berpisah, hati mereka tetap saling ...

Ara Belajar Ngomong

Serius Nulis Ara mulai suka ngoceh. Ada saja suara keluar dari mulutnya. Kadang jelas kadang juga tidak. Beberapa berhasil saya terjemahkan maksudnya. Beberapa mengalami missunderstand berujung pada rengekan atau aksi menarik tangan. Selain nonton lagu anak-anak, beberapa film anak-anak yang menurut saya cukup edukatif menjadi pilihan tontonannya. Saya memutarkan film Blue's Clues, Super Why, hingga Pocoyo. Serial Blue's Clues sudah kami tonton semua. Mulai dari sang pemilik Blue bernama Steve hingga beralih ke Joe adiknya di serial itu. Yang paling nyantol di kepalanya Ara adalah kata "think" sambil telunjuk memegang dahi. Itulah kata pertama yang ia ucapkan secara jelas setelah kata Mama dan Ayah. Entah kenapa kata ini yang melekat di kepalanya. Mungkin karena si Steve sangat aktraktif menyanyikan lagu jingle Blue's Clues terlebih dibagian "Sit down in thinking chair. Think, think, think". Ara juga suka bagian ketika surat datang. Dia akan i...