Skip to main content

Romantisme Bengo- Makassar

Aku berdomisili di Bone. Tepatnya di sebuah kecamatan kecil bernama Bengo. Dari kota Watampone berjarak 120 km. Jika kamu ke Bone dari Makassar via Camba maka kamu akan melewati rumahku. Rumahku cukup gampang didapat. Kamu cukup tahu di mana desa Bengo, pasar Bengo, dan Mesjid Bengo. Nah, rumahku berada di belakang mesjid pas samping pasar. Penanda yang lain adalah satu-satunya Bank tempat transaksi warga kampung berada di bengo. Jadi Cukup mudah sebenarnya jika kamu ingin mencariku di kampung sekecil Bengo.Asal jangan mencariku dengan nama Dwi :P.

Dari SD sampai SMA, aku bersekolah di sini. SD dan SMP dengan berjalan kaki karena lumayan dekat dari rumah. Satu kilometerlah dari rumah. Sedangkan saat SMA harus pake angkot ke sekolah. 20 menit dari rumah. Cukup jauh. Karena SMAku berada di kecematan sebelah. Aku tak pernah mengecap sekolah di kota. Kampung menyenangkan sih…hehhehehehe. 

Pas kuliahlah aku baru harus ke Makassar. Tahun 2004- 2008 akhir. Masa-masa transisi segala macam teknologi. Mulai dari handphone, Kamera digital, hingga penggunaan Laptop. Juga masa transisi penggunaan wartel dan warnet. Tapi disini, aku takkan bercerita tentang itu. Aku ingin menceritakan tentang perjalanan Bengo-Makassar. Begitu pula sebalik. Banyak cerita yang menyenangkan dan banyak juga cerita yang bikin berkata “kasian”.

Meski dulu SMA di kampung, namun tiap libur pasti ke Makassar buat jalan-jalan. Uang jajan dikumpulkan selama musim sekolah dan dibelanjakan saat ke Makassar. Uang Rp. 50.000 rupiah dulu cukup dihabiskan dalam waktu seminggu tinggal di Makassar dengan gaya hidup anak kost-kostan yang jajanannya serba minimalis. Nasi kuning harga Rp.1.000, kue-kue harga Rp.500, dan juga sayur-sayur buat masak yang dijual serba sedikit dengan harga Rp. 500 perikat atau perbijinya.

Biasanya sebelum ke Makassar, Aku sudah buat daftar belanjaan yang akan aku beli. Jadi uang tabungan telah diposkan sesuai dengan kegunaannya. Daftar yang selalu ada adalah membeli buku. Pokoknya buku novel seperti lima sekawan harus terbeli. Trus kakak-kakakku juga mulai mengajari makan di fast food yang saat itu mulai merambah di Makassar (tahun 98-an) dan menonton di bioskop. Selebihnya uang boleh dibelanjakan sesukaku.

Jika uang tabungan disediakan untuk makan-makan dan hal-hal yang berkaitan dengan soul food (ini istilah yang kubuat sendiri), maka untuk transportasi liburan biasanya diajukan ke Mama. Tahun 1998, tarif angkutan Makassar Bone hanyalah Rp. 5000. Pulang balik Cuma memerlukan biaya Rp.10.000. Di jaman sekarang mungkin terlihat begitu murah, tapi jaman 98-an uang itu cukup mahal. Mengingat untuk mendapatkannya aku harus tidak jajan selama dua minggu. 

Dulu di kampungku hanya satu mobil yang begitu ngetop untuk trayek Bengo Makassar. Sopirnya bernama Baco. Mobil yang dikemudikannya jenis L300. Di saat itu mobil jenis Phanter dan Kijang belum lazim dipakai untuk ke Makassar. Lagian masih sedikit supir yang memilih trayek Bengo-Makassar. Jadi mobil L300 itu ngetop seantero kampung. Harus pesan tempat dua hari sebelumnya agar dapat tempat. Kapasitasnya lumayan banyak karena kursinya sampai empat susun. Kalo mobil itu sudah penuh, alternatif lainnnya adalah menunggui mobil dari kota Watampone yang kadang harga tarifnya harus dibayar sesuai harga watampone-Makassar. 

Lebih nyamannya sih mobil yang ditumpangi adalah mobil yang dikenal , jadi tak perlu was-was. Kadang kalo penuh dan masih tetap dipaksa agar muat, maka penumpang layaknya barang ditumpuk hingga masuk ke dalam mobil. Hmmm…mungkin perlu dimasukkan ke dalam world record kali ya. Pernah sekali aku naik mobil L300 itu, penumpang di kursi kedua sebanyak 9 orang. 5 orang dewasa (plus kernet yang duduknya mepet banget sampai pipinya menyentuh jendela) dan 4 anak kecil yang harus dipangku.
Kursi nomor dua memang biasanya selalu menjadi tempat yang paling sesak karena tempatnya paling lowong. Jika pun tidak banyak penumpang, biasanya dijejali oleh banyak barang-barang. Jika dari Bengo ke Makassar maka yakinlah banyak kardus-kardus dan karung-karung yang harus berada disela-sela kakimu. Apalagi jika musim liburan kuliah telah selesai. Isinya macam-macam. Mulai dari pisang mentah, sukun, tomat, lombok, hingga panci berisi ikan, dan juga ikan-ikan asin buat persediaan satu bulan. ( Ini berdasarkan isi kardus yang sering aku bawa kalo ke Makassar saat kuliah dulu :D).

Nah kalo pun bukan musim liburan, maka tiap awal bulan penumpang mungkin akan sedikit berkurang tapi kardus-kardus tetap dikirim. Delivery via mobil sewa memang selalu cepat dan efisien. Mengalahkan Tiki atau DHL. Setiap bulan persediaan makan pasti dikirimkan dan juga uang bulanan. Biasanya kalo anak cowok, uang bulanannya lebih simpel. Lewat amplop biasa saja. Dengan isi surat “jangan boros”. Sedangkan kalo anak cewek biasanya diselipkan di dalam kardus mie instan tempat segala macam ransum untuk persedian satu bulan. Isi suratnya sama ‘jangan boros”. 

Waktu jaman belum ada handphone dan telepon rumah di kampungku, cara meminta uang ditempuh dengan cara menulis surat ke orang tua dan dikirim lewat mobil sewa. Kalo memang uang di kantong sudah tidak ada, biasanya diikuti dengan pesan pada sopir “biaya kurir minta di rumah”. Kalo isi surat anak kuliah cewek biasanya diawali basa basi tentang kuliahnya di halaman pertama. Nah, kalo halaman kedua berisi rincian pembayaran kuliah dan kebutuhan sehari-hari lengkap dengan totalnya. Totalnya itulah yang harus dikirim oleh orang tua. Ditambah NB : tolong kirimkan tomat, cabe, minyak kelapa, pisang, dan ikan asin (ini berdasarkan pengalaman pribadi). Nah kalo anak kuliah cowok biasanya nda ada basa basi tentang kuliah, halaman pertama bertuliskan nominal yang diminta. Sudah di mark up dengan uang rokok dan uang bensin. (kalo ini berdasarkan cerita-cerita yang aku dapat kalo naik mobil angkutan…hehehehe…mungkin juga berbeda…tergantung pada yang nulis surat).

Waktu tahun 1998 biasanya kalo pulang habis liburan aku lumayan berani. Pulang berdua dengan kakakku yang nomor dua. Namun sejak dia mulai kuliah tahun 1999, terpaksa aku harus pulang sendiri. Pagi-pagi sebelum jam 10, sudah harus menunggu di terminal. Saat itu terminal regional masih bersampingan dengan kantor gubernur Sulsel. Bisa dibayangkan macetnya. Di terminal akan banyak ditemui orang sekampung yang juga ingin pulang dengan mobil yang sama. Jadi harus lincah untuk cepat-cepat naik ke mobil. Di terminal ini pula biasanya akan dtemukan banyak penjual majalah-majalah yang telah mengubah harga eceran yang tercetak di majalah. Kakakku pernah sekali tertipu. Kedua kalinya ia sudah pintar nawar hinga beda harganya dengan yang harga eceran cuma Rp.500. membacalah atau sok sibuklah, atau sok tidak pedulilah jika ditawari banyak jualan. Karena para penjual itu tidak akan berhenti menawarimu hingga kamu benar-benar menganggap mereka tak ada.

Kalo mobil yang ditunggu sudah ada di gerbang, maka segeralah berlari. Memesan satu tempat duduk agar bisa pulang ke rumah.Biasanya kakakku yang pertama yang paling cekatan soal ini. Aku yang harus “dikirim” pulang tinggal duduk manis saja dengan bawaan-bawaanku. Pernah sekali karena terlalu banyak penumpang, aku harus duduk berempat dibagian depan. Bisa kamu bayangkan betapa sesaknya tempat duduk itu. Dan pastinya sopirnya pun harus mepet-mepet dan nda nyaman bawa mobil. Maafkan, karena aku harus pulang, besok sudah harus sekolah. Saat itu aku harus duduk dengan kepala sekolah SMPku dan istrinya. Aduh, aku memang menyusahkan. Seperti itulah nasib jika terlalu kurus dan tipis. Bisa dijejal dimana saja meski sempit. Bahkan saat kerja di Bone pun aku masih harus mengalaminya. Nasib, Nasib….

Pas kuliah, aku pun memiliki gengsi sendiri. Anak kuliahan nih. Mulai berani ke Makassar sendirian. Pulang juga sendirian. Saat itu mobil L300 milik Baco sudah tak beroperasi lagi. Ia memilih berkarir menjadi sopir pete-pete trayek Makassar –Daya. Dulu sebelum terminal pindah ke Daya, kalo ke Makassar aku akan singgah duluan ke Unhas. Karena terminal berada di Panaikang. Tak perlu susah-ssuah ke terminal. Langsung turun depan kost-kostan. Namun segala mulai berubah sejak terminal pindah ke Daya.
Terminal Daya

L300 milik Baco pun pensiun. Para sopir-sopir baru pun mulai menjejali karir untuk trayek Bengo- Makassar. Dekat rumahku ada sampai 3 mobil yang bisa dipilih untuk ke Makassar. Tarif mobil pun naik. Beberapa kali BBM telah naik. Tahun 2001 harga sewa Rp.15.000, tahun 2004 naik Rp.30.000-Rp.35.000. Kalo tarif Bone kota harganya Rp.50.000.

Nah karena sudah banyak mobil (Avanza, AVP, zenia) yang semuanya disebut Phanter maka sebagai penumpang aku lumayan bisa memilih mau naik mobil yang mana. Kalo pengen berangkat pas malam hari, ada lagi mobil lain. Kalo penuh mobil yang satu bisa ke mobil yang satu. Mobil-mobil yang dekat rumah ke semuanya menggunakan plat hitam. Layaknya milik pribadi. Kenapa? Karena mereka malas masuk ke terminal Daya yang harus bersaing dengan banyak mobil angkutan lain dalam merebut penumpang. Selanjutnya penumpang pun rewel. Mereka lebih suka diantar langsung hingga depan rumah. Apalagi jika membawa kelapa, kardus, karung beras, dan sebagainya (tak jarang ada yang bawa meja ato televisi loh dari kampung :D).

Karena tuntutan pelayanan kepada penumpanglah mereka rela menggunakan pelat hitam. Konsekuensinya adalah jika ada polisi harus tutup jendela rapat-rapat, kalo ditangkap harus merelakan uang pelicin, dan juga tetap harus membayar uang jaminan tiap ke Makassar ke petugas yang memberi perlindungan. Tarif bervariasi mulai dari Rp.5000- Rp.15.000. Razia polisi paling sering saat bulan ramadhan menjelang idul fitri. Biasanya tak ada mobil yang lolos. Semua harus nyetor. Tapi pada musim ramadhan pun para sopir biasanya panen. Orang-orang kampung mulai lebih suka berbelanja kebutuhannya di kota-kota besar. Sekalian belanja buat lebaran dan cari baju baru. Hehehehe.

Naik mobil malam pun cukup menyenangkan. Tak perlu berpanas-panas. Mobil malam yang dulu sering aku naiki adalah mobil dari Bone. Tapi berhubung karena Ettaku kenal baik dengan istrinya dan sopir yang bersangkutan, tarif yang kubayar tetap tarif Bengo-Makassar. Kadang kalo malas membayar,pas naik uang sewa mobil aku kasi ke Etta, Etta yang bayarkan. Jadi pas turun aku sisa angkat barang saja dan bilang terima kasih sambil tersenyum. Nah, kalo masa paceklik dan sangat ingin pulang biasanya pesan tempat duduk di mobil. Minta jemput di kost-kostan. Bayarnya pas sampai di rumah. Turun dari mobil langsung lari masuk rumah minta uang. Tapi saat ada jaman handphone, kalo misalnya sudah sampai diperbatasan, sms untuk siap siaga menyambut kedatanganku dengan uang sewa mobil telah terkirim ke Etta. 

Perjalanan Bengo- Makassar kadang sangat nyaman kadang juga tidak. Waktu kecil hingga kuliah aku cukup bisa tidur di mobil. Namun sekarang kebiasan itu mulai tak bisa aku lakukan. Waktu awal-awal ke makassar aku cukup sering mabuk kendaraan. Tapi saat kuliah, aku cukup tangguh untuk tidak muntah lagi. Jalanan pun kadang ada masa kadaluarsanya. Dulu saat mulai kuliah jalan poros Makassar Bone berlubang-lubang. Mobil berjalan begitu lambat dan penuh debu. Kadang juga harus pelan-pelan saat perbaikan jalan. Gundukan tanah dan pasir, serta mobil pengaspal pasti menjejali bahu jalan. Yang menyenangkan adalah saat jalan sudah selesai diperbaiki, hitam, dan mulus. Ngebut..wus..wus… Tapi sepertinya tahun ini Jalan perlu peremajaan lagi. Mulai berlubang dan memperlambat jarak tempuh. 

Di daerah Maros,di cagar alam Karaenta tempat begitu banyak tikungan jika kamu beruntung bisa melihat monyet dengan santai berjalan di bahu jalan. Rasanya seperti di taman safari .Tapi setahun ini aku tak pernah lagi melihat monyet-monyet itu. Mungkin populasinya mulai berkurang.Tahukah kamu bahwa jarak tempuh Makassar- Bone dengan Bone Makassar agak berbeda beberapa meter. Hal ini disebabkan adanya dua jalur yang dibuat untuk yang Ke makassar dan yang Dari makassar sebelum memasuki daerah Karaenta ( daerah Kappang orang kampungku menyebutnya). Jalur itu dibuat karena kecelakaan mobil pada tahun 1994-1995 karena jalan yang sempit dan tikungan tajam. Tapi aku selalu suka daerah ini. Kalo lewat pasti kerasa adem. Karena dinding-dinding batu yang tinggi serta pohon-pohon yang begitu tinggi. Biasanya kalo sudah sampai di derah ini imajinasiku sudah terbang kemana-mana. Penuh dengan kalimat dan cerita romantis. Begitulah, Zona romantis aku istilahkan.

Paling menjengkelkan adalah saat harus bertemu, berpapasan, dan beriringan oleh mobil-mobil truk yang lambatnya minta ampun. Yang ributnya minta ampun. Yang polusinya bisa bikin muntah. Mobil-mobil inilah yang kadang membuat macet. Beberapa kali aku menemui mobil truk yang mogok ditengah jalan. Memacetkan hingga berkilo-kilometer dua arah. Huh….

Selera musik sopir pun menentukan mood penumpang. Mobil yang nda ada alat pemutar musiknya biasanya bikin bosan. Tapi jenis seperti housemusic pun mampu memicu pencernaan untuk muntah. Sekarang karena para sopirnya masih muda-muda maka lagunya pun lagu anak muda. Band-Band popular di Indonesia. Paling sering Wali dan Kangen band. Atau juga Ungu. Jika beruntung mungkin bisa dengar Peterpan, Padi, Nidji, atau Dewa. 

Singgah makan. Untuk mobil-mobil Bengo dulunya mereka menyukai singgah di Pakalli, setelah Bantimurung. Tempat makan yang lumayan besar dan selalu ramai. Tapi tiap rumah makan pun saling bersaing. Akhir-akhir ini sopir-sopir suka singgah di rumah makan Jabalrahmah. Tidak jauh dari tikungan tiga susun (dekat tempat rekreasi yang sedang di bangun di Maros). Di rumah makan itu para sopir diservice dengan baik. Mobilnya dicuci dengan gratis dan mereka mendapat rokok sesuai dengan seleranya secara gratis pula. Kalo menggunakan mobil Bone, biasanya mereka lebih memilih singgah di Cijantung. Nah lain lagi kalo mobil milik Cahaya Bone, mereka lebih memilih singgah di Timpuseng. Waktu kuliah aku biasanya tidak ikut makan. Tapi sejak selesai kuliah dan jika kelaparan melanda perjalanan aku akan memilih untuk ikut makan, daripada kelaparan. Hayo…

Waktu romantis untuk pulang ke Bengo biasanya adalah sore hari. Apalagi kalo matahari bersinar orange. Wuih cantik sekali. Daerah sebelum masuk karaenta adalah daerah yang paling cantik senjanya. Sekitar RM. Jabalrahmah itu. Kalo pulang aku berharap singgah disitu. Tapi kalo berangkat ke Makassar aku memilih yang setelah bantimurung. Biar cepat sampai. 

Itulah sekelumit kisah-kisah perjalanan Bengo-Makassarku. Empat jam itu begitu berat terasa jika penuh dengan barang dan bertumpuk penumpang. Namun begitu nyaman ketika penumpang tidak penuh, barang kurang, lagunya bukan band-band lebay + musik tripping, dan jalan mulus:P. Tapi jangan harap ada cowok cakep di mobil sewa. Perbandingannya 1 : 1000. Apalagi kalo mobil sekampung. Yang pasti penumpangnya itu-itu saja. Tapi selalu menyenangkan jika supirnya pandai bercerita. Atau ada teman cerita. Gosip satu kampung bisa kamu dengar secara live selama empat jam. Bikin senyum-senyum meski kadang aku tak pernah tahu siapa orang yang digosipkan itu .:D

Selalu ada cerita dalam tiap perjalanan. Bagaimana denganmu?

Comments

  1. Hermanto1/26/2012

    Saya orang Bone yang tinggal di Medan, rencana mo balik ke Bone dan iseng-iseng ngetik "ongkos mobil bone-makassar" eh... malah nyasar ke blog ini. Tapi salut deh... mantap isinya... Selamat ya Dwi...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tips Memilih Majalah Anak Untuk Buah Hati

Menanamkan hobby membaca pada anak perlu dilakukan sejak dini. Kebiasaan membaca haruslah dimulai dari orang tua. Memberi akses pada buku-buku bacaannya salah satu langkah penting. Namun, membacakan cerita dan mendapatkan perhatian anak-anak merupakan tantangan tersendiri.  Ara dan Buku Bacaannya Saya mengalaminya sendiri. Ara (3 tahun) cukup gampang untuk bosan. Memintanya fokus mendengarkan kala saya membacakannya buku cukup susah. Pada waktu-waktu tertentu ketika dia menemukan buku yang menarik perhatiannya, dia dengan sukarela memintaku mengulangnya berkali-kali. Namun, ketika saya membacakannya buku yang tidak menarik minatnya, dia memilih bermain atau sibuk bercerita sampai saya berhenti membaca. Untuk menarik minatnya akan buku, setiap kali ke toko buku saya membiarkannya memilih buku apa yang ingin dia beli. Kebanyakan pilihannya ada buku cerita dengan karakter favoritnya, Hello Kitty. Untuk buku anak- anak pilihanku, syaratnya adalah ceritanya pendek, kalimatnya mudah ia paham

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan

Misteri Sepatu Menggantung di Kabel Listrik

Sumber : Athens News Sepasang sepatu menggantung lunglai di tiang listrik. kabel listrik tempatnya bergantung kokoh tak ingin melepaskan sepatu itu menghujam bumi. Pertama kali tiba di Athens, saya cukup heran dengan sepatu-sepatu yang tergantung di kabel-kabel listrik itu. Kutanya ke seorang teman bule tapi ia tak memberi jawaban yang memuaskan. Kupikir sepatu-sepatu itu dilempar begitu saja karena sudah dirusak atau tidak dipakai. Atau asumsiku yang lain adalah sepatu itu milih olahragawan yang berhenti dari profesi dan memilh menggantung sepatu. seperti pemain sepakbola. Tapi sepertinya asumsi olahragawan itu tidak benar, karena sepatu-sepatu yang menggantung di tiang listrik cukup mudah ditemukan. Jalan-jalanlah di seputaran Athens dan kau akan mendapati sepatu-sepatu menggantung di tiang listrik.  Uniknya sepatu yang digantung itu hanyalah sepatu-sepatu kets. Fenomena ini disebut Shoefiti dan terjadi diberbagai tempat di Amerika. Nyatanya bukan hanya saya saja yang penasar