Skip to main content

Susahnya Mengajari Anak Kecil

Khanza yang bermain air penuh tanah saat berkebun

Setiap anak dilahirkan dengan watak baik, yang dengan mudah bisa rusak karena lingkungan mereka atau pengaruh-pengaruh buruk orang dewasa. ( Sosaku Kobayashi- Kepala Sekolah Tomoe Gakuen)
Setelah membaca Totto Chan, aku berpikir untuk memberikan pendidikan rumah seperti yang diajarkan kepala sekolah Tomoe Gakuen, Sosuka Kobayashi kepada anakku kelak. Pelajaran yang paling penting adalah memahami dunia kanak-kanak. Mereka adalah manusia-manusia yang memiiki rrasa ingin tahu yang begitu besar. Tak ada ketakutan. Mengecap semua ilmu pengetahuan dengan menggunakan inderanya. Mata, Telinga, hidung, mulut, dan kulit dengan sangat sempurna. Mereka tak sekedar bertanya tapi juga mencari jawaban. Hanya saja para orang-orang dewasa terlalu sok pintar untuk memberikan peniaianterhadap semua tingkahnya. Setiap yang tak sesuai dengan pikiran mereka selalu dianggap salah. Dan anak kecil pun berhenti belajar di sana. Tumbuh dengan keingintahuan yang dikebiri sejak lahir. Menjadi pribadi yang selalu diancam dengan kata “Jangan” dan tak pernah berani melakukan hal-hal luar biasa. Mereka tunduk kepada aturan yang telah diatur orang dewasa tentang benar dan buruk tanpa pernah belajar untuk mencoba, mengambil resiko,bertanggung jawab, dan belajar dari kesalahan. 

Aku memulainya dari ponakan perempuanku yang berumur 1 tahun lewat beberapa bulan, Khanza. Setiap ia bersamaku, aku berusaha sedapat mungkin menjaganya hanya dengan mata. Membiarkannya melakukan hal-hal yang disukainya selama itu tidak membahayakan jiwanya. Hasilnya adalah saat pagi ia telah berhasil terantuk di dinding, terjatuh di lantai basah, serta bibir pecah karena terbentur bangku saat mengejar kucing. Ia menangis, tapi ketika perhatiannya teralihkan maka segera ia melupakan sakit-sakitnya itu. Ia kembali ceria, mengejar kucing dan tetap sibuk berlari ke sana kemari. Namun yang kuperhatikan adalah tempat-tempat dimana ia sempat terbentur kemudian menjadi titik-titik yang begitu sangat diperhatikannya. Ia akan berhati-hati pada kakinya yang licin dan juga pada lantai yang licin.Mereka sejatinya belajar dari kesalahan.
Aku membiarkannya bermain pasir. Duduk di pasir dan memainkan kaki-kakinya. Dunia anak-anak adalah dunia bermain, mengapa kita membatasinya. Ketika mereka membuat berantakan banyak barang, karena mereka sedang melakukan eksplorasi terhadap imajinasinya. Mereka melakukan eksperimen terhadap segala hal yang ada di dekatnya. Ketika mereka bermain-main laptop, handphone, alat-alat listrik, harusnya bukan larangan yang harus dikeluarkan. Puluhan kata “jangan” dan ancaman yang begitu menakutkan. Bukankah ketika membeli alat-alat itu telah ada peringatan “jauhkan dari jangkauan anak-anak”. Orang-orang dewasalah yang harus menghindarkan barang-barang itu dari anak kecil. Karena sejatinya mereka belum mengerti apapun. Mereka hanya memiliki keingintahuan yang begitu besar. Orang dewasa tak boleh memaksakan untuk dimengerti oleh anak kecil. Namun, orang dewasalah yang patut memahami dunia anak kecil.

Meski berusaha untuk tetap memahami dunianya, tapi tak jarang aku pun harus memaksa dengan kekerasan. Memegang tangannya lebih erat. Atau menuruti kemana aku ingin pergi. Tidak menuruti kemauannya. Sangat susah mengajari anak kecil. Menjadi orang tua dan menjadi sekolah kehidupan pertama bagi mereka tidaklah mudah. Tapi selalu ada cara untuk menumbuhkan karakter baik dari tiap anak. Semoga kelak bisa tetap sebijak ini. Amin!!!!!

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan ...

Inferno

Judul : Inferno Pengarang : Dan Brown Penerbit : Bentang  Robert Langdon terbangun di sebuah rumah sakit di Florence, Italia dan tidak mengingat apapun. Yang ia ingat hanyalah ia melangkah pulang menuju rumah sesaat setelah mengisi kuliah di Harvard university, Boston. Saat ia terbangun ditemuinya fakta bahwa seseorang menginginkan ia mati. Ia berusaha melarikan diri dari pembunuhnya bersama seorang dokter perempuan dari rumah sakit tempat ia dirawat. Beberapa hal janggal ia temukan. Mimpinya tentang perempuan berambut perak diantara kubangan mayat, igauannya bernama "very sorry", serta sebuah chip yang disembunyikan secara jeli di jaket kesayangannya yang mengarahkannya menyelami Inferno karya Dante, memecahkan petunjuk-petunjuk dari berbagai benda-benda bersejarah, hingga mengantarnya menuju Venice dan Istanbul. Memecahkan sebuah teka teki yang ditinggalkan oleh seorang ilmuan eksentrik yang mengancam populasi manusia. Sanggupkah Langdon mencegahnya disaat yang tepat?  Infe...

Norwegian Wood

Cukup melelahkan membaca Norwegian Wood karya Haruki Murakami. Buku yang telah kulihat wujudnya sejak tahun 2004 baru aku baca di tahun 2013. Saya tidak terlalu akrab dengan karya-karya Haruki Murakami. Buku Norwegian Wood ini adalah karyanya yang pertama saya baca.  Mengapa saya berkata buku ini cukup melelahkan? Karena buku ini bercerita tentang kematian dan sangkut pautnya dengan orang-orang yang ditinggalkan. Bukan kematian yang disebabkan sakit atau tua. Tapi kematian orang-orang muda yang memilih bunuh diri.  Bersetting tahun 1970an di Jepang, sang tokoh utama, Watanabe menceritakan kembali kisahnya. Ia bertemu kembali kekasih almarhum temannya yang memilih mati bunuh diri di usia 17 tahun. Sekalipun tidak akrab mereka selalu bersama. Berkeliling mengitari Tokyo tanpa tujuan. Hingga sang perempuan, Naoko masuk panti rehabilitasi gangguan jiwa. Ia lantas bertemu Midori, perempuan nyentrik yang selalu berkata seenak dia. Perempuan yang selalu jujur mengatakan apapun yang i...