Skip to main content

Sebuah Kasus Pembunuhan Dimana Saya Adalah Tersangkanya

Pisau daging itu lepas dari tanganku, Jatuh berdenting ke lantai. Gemanya ramai memecah malam. Tubuh lemas bersimbah darah kaku di hadapanku. Ia tidak lagi bisa menggangguku. Suara kerasnya tak mampu lagi menyiksaku. Aku bebas sekarang. 

****
Ruangan itu lebarnya 3 meter kali empat meter. Gelap di sudut-sudutnya. Lampu pijar terang menyala di tengah dengan tudung untuk memblok sinarnya memencar ke segala arah. Menyorot khusus ke meja persegi serupa meja belajar yang dilengkapi kursi. Saya duduk dikursi itu. Menjadi pesakitan. Entah pukul berapa sekarang. Tengah malam mereka memaksaku masuk ke  ruangan ini. Membiarkan diriku sendirian. Lelah memaksaku tertidur. Entah telah berapa jam berlalu sejak kala itu. Belum lama pikirku. Mungkinkah telah pagi? Di ruangan tanpa jendela ini begitu susah membedakan malam dan siang. Aku yakin belumlah pagi. Jam biologisku masih menunjukkan kelelahan. Tidur yang terasa baru beberapa detik belum mampu menyembuhkan lelah. Kusapuh telapak tangan ke wajahku. Kucium amis darah yang mengering. Merahnya mulai terkelupas di telapak tangan menyisakan pola yang mengikuti sidik jari. Kuusap jemariku untuk menghilangkan meraj darah itu. 

Pintu membuka di hadapanku. Sosok berseragam coklat dengan celana kain hitam yang begitu rapi. Derap sepatu kulitnya melangkah penuh kuasa. Kupicingkan mataku untuk melihatnya lebih jelas. 

Tubuhnya menjulang ke atasku. Perutnya yang tambun terasa menyesakkan. Kancing-kancing seragamnya tercekik berusaha menutupi perut yang terlihat hendak meledak. 

Bersambung 

Bogor, 25 Juni 2015

Comments

Popular posts from this blog

Seketika Ke Sukabumi

twit ekspektasi vs twit realita Setelah kelelahan karena hampir seharian di Mal sehabis nonton Dr.Dolittle pada hari rabu, dengan santai saya mencuitkan kalimat di Twitter "karena udah ke mal hari Rabu. Weekend nanti kita berenang saja di kolam dekat rumah”. Sebuah perencanaan akhir pekan yang sehat dan tidak butuh banyak biaya. Saya sudah membayangkan setelah berenang saya melakukan ritual rebahan depan TV yang menayangkan serial Korea sambil tangan skrol-skrol gawai membaca utasan cerita yang ga ada manfaatnya.  Sebuah perencanaan unfaedah yang menggiurkan. Tiba-tiba Kamis malam suami ngajakin ke Taman Safari liat gajah pas akhir pekan. Mau ngasih liat ke Anna yang udah mulai kegirangan liat binatang-binatang aneka rupa. Terlebih lagi sehari sebelumnya kami menonton film Dr.Dolittle yang bercerita tentang dokter yang bisa memahami bahasa hewan. Sekalian  nginap di hotel berfasilitas kolam air panas. Hmmm. Saya agak malas sih. Membayangkan Taman Safari yan...

antusiasme berfoto....

Sebagai prasyarat untuk mendapat izin ujian selain kelenagkapan berkas, calon sarjana perlu menyertakan foto berjas atau berkebaya. Beranjak dari sinilah cerita hari ini bergulir. “izin ujian itu lama loh keluarnya” kata Santi. ( wahhh…aku harus segera mengurusnya ) Tapi aku belum berfoto. Merujuk pada dua orang kakak perempuanku yang telah berhasil menyelesaikan kuliah S1-nya dan telah melalui sesi berfoto untuk ujian dan wisuda, kepada merekalah aku meminta petunjuk. Dan hasilnya….keduanya berfoto menggunakan kebaya untuk ijazahnya. Meski kak Ipah memakai jilbab, ternyata untuk tampil cantik di ijazah ia rela untuk melepas jilbabnya dan bersanggul kartini. Dan atas petunjuk inilah aku pun kemudian mempertimbangkan hal tersebut. Dengan beberapa pertimbangan : Pertama, Dwi kan tidak berjilbab. Teman-teman yang pake jas rata-rata yang berjilbab. Kedua, Inikan ijazah untuk S1, tak ada orang yang memiliki gelar S1 dua kali. Mungkin ada, tapi mereka devian. (...

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan ...