Skip to main content

Pelayaran Pertamaku

Seminggu lalu . Hmm….Sudah lewat 10 hari tepatnya. Aku tiba di kota ini. Kota bau-bau. Tepatnya di pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Aku belum ingin menceritakan bagaimana kesanku tentang kota ini. Belum ditulisan ini. Aku ingin menceritakan pengalamanku tiba di kota ini. Sebuah perjuangan yang panjang dan perlu mengerluarkan mantra “nda bisa seperti Trinity”. 

Ke Bau-Bau adalah sebuah keharusan. Suamiku harus kerja dan aku harus ikut dengan suami. Tapi aku melabelinya dengan judul “On Vacation”. Setelah berkompromi untuk memenuhi segala kesenangan seperti berfoto hanbok di hari sabtu dan ngumpul dengan teman-teman di hari minggu dan menonton Jazz, Kak Yusran harus memilih hari Senin ( 9 Agustus 2010) untuk berangkat ke Bau-Bau. Ya, dengan pertimbangan bahwa semua kesenangan itu harus terpenuhi. Dengan sedikit ngotot dari saya (pakai ilmu manja).

Kapal yang ada adalah Kapal Motor (KM) Tilong Kabila. Menurut Kak Yusran, kapal ini adalah kapal yang paling kecil di antara teman-teman sejawatnya misalnya Kerinci, Rinjani, Lambelu, dan lain-lain. Dan juga masuk dalam daftar kapal paling lambat. Bagaimana standar lambat buat saya? Saya tak memiliki standar lambat apapun untuk mengukur kecepatan sebuah kapal motor. 

Ini adalah pengalaman pertama saya menaiki kapal laut. Ini seperti perlayaran pertama bagi saya. Tempat yang paling jauh yang pernah saya jangkau adalah Bali dan waktu ke sana saya lebih memilih naik pesawat untuk pulang perginya. Meski ada beberapa teman yang memilih pulang lewat Surabaya dan memakai kapal. 

Lagian harga tiket pesawat untuk ke Bau-Bau sangat mahal. Berkisar Rp.800rban. Padahal normalnya nda pernah lebih dari Rp.500rb. Dimaklumi karena akan mulai ramadhan. Harga tiket pesawat selalu mengikuti musim yang ada. Seperti buah saja ya?Hahaha.

Sedangkan untuk tiket kapal tak pernah berubah. Ini sudah patokan dari pemerintah (Nda ada saingan sih. Coba kalo ada kapal milik swasta pasti fluktuatif harganya) Apapun musimnya tiket kelas I tetaplah Rp.500rban, Kelas II Rp.450rban, dan Kelas III dan kelas Ekonomi lebih murah lagi. Awalnya kami hendak membeli tiket kelas II, tapi aku pikir mengapa tak beli tiket kelas I saja. Ini adalah perjalanan kapal pertamaku. "Bersenang-senanglah" pikirku. Dan untungnya Kak Yusran menyanggupinya. Akhirnya kami membeli tiket kelas I. Ekspektasiku saat itu adalah serupa Rose DeWitt Bukater yang akan berlayar ke New York dengan kapal terbesar dijamannya. (Terlalu banyak nonton Film, Maaf).

Jika ada bandara Soekarno-Hatta di Jakarta, maka di Makassar pelabuhan diberi nama serupa. Pelabuhan Soekarno untuk pelabuhan penumpang. Sedangkan untuk pelabuhan peti kemas bernama pelabuhan Hatta.
Full ekspektasi memenuhi imajinasi saya. Pelabuhan adalah salah satu tempat yang belum pernah kukunjungi dan kapal adalah salah satu benda yang belum pernah kunaiki. Jangan pernah membayangkan tempat keberangkatan dan kedatangan akan senyaman di bandara. (Meski ada juga bandara yang tidak nyaman tempat kedatangan dan keberangkatannya merujuk pada buku Naked Traveler  I). Naik kapal adalah identik dengan masyarakat menengah ke bawah. Jadi kau akan melihat tumpukan barang, kardus, karung dan juga bawang putih. 

Menunggu layaknya pengungsi. Jadwal kapal Pelni adalah sebuah contoh jam karet yang sesungguhnya. Jangan pernah percaya jika tiketmu mengatakan berangkat pukul empat sore, karena kapal jam saat itu belum tentu berlabuh di pelabuhan. Banyak ragam manusia yang kau temui di pelabuhan. Tapi yang pasti Porter adalah yang dicari dan juga dihindari. Mereka menyediakan jasa mengangkat barang-barang yang berjubel. Saat melihat mereka mengangkat koper-koper dan kardus-kardus dalam waktu bersamaan, saya berpikir kekuatan apa yang mereka miliki. Mereka layaknya Samson yang punya tenaga berlipat-lipat. 

Kami memiliki banyak barang tapi untungnya suamiku mencintaiku dengan begitu dalam. Ia rela menjadi Porter buat barang-barangku yang begitu banyak. Satu keluarga bule yang juga menumpang kapal yang sama dengan tujuan Bau-Bau menjadi incaran para Porter itu. Namun, sepertinya bule-bule yang berasal dari Belanda itu tidak membutuhkan bantuan para Porter. Meski tas gunungnya (Carrier) sebesar badan mereka dengan tambahan ransel-ransel yang banyak. Porter ini mengingatkanku pada salah satu cerita trinity di buku The Naked Traveler I yang berjudul "Ngangkang di Kepala Porter”.

Ada uang ada mutu. Nah seperti itulah yang terjadi jika naik kapal. Pelayanan untuk kelas I dan kelas II lebih baik dari pelayanan kelas Ekonomi. Beruntung juga memilih kelas I karena sepertinya aku belum siap untuk menikmati petualangan dengan kelas ekonomi. Pertama yang harus kamu lakukan saat pintu menuju kapal di buka adalah berlari sekuat tenaga dan berusaha mendahului penumpang lain untuk mendapatkan tempat yang representative. Siapa cepat dia dapat. Jika kurang beruntung geledak kapal diluar dapat juga dijadikan tempat berbaring. Bagi yang sudah menganggap naik kapal itu seperti naik mobil angkutan umum dari Bone ke Makassar, tidur dilorong-lorong kapal adalah sebuah seni. Tapi bagiku yang masih full ekspektasi itu adalah sesuatu yang melelahkan.
KM Tilongkabila

Penumpang kelas I pun melalui jalan khusus menuju kapal yang tak perlu ngantri. Jika ditanyai oleh para petugas, sebut saja “Kelas I”. Maka mereka akan mempersilakan anda dengan hormat naik ke kapal. Tak perlu ngantri sambil membawa barang-baran yang lumayan banyak. (Maklum ini seperti pindah rumah buatku jadi banyak barang yang perlu diangkut ke Bau-Bau).

Pelayanan berbeda pun saat makan. Penumpang kelas akan disilakan masuk di restoran dan dilayani denga sangat baik. Duduk di meja-meja layaknya restoran dan dengan system prasmanan per meja. Sedangkan untuk kelas ekonomi dibagikan nasi kotak. Tapi, nda masalah sih buat saya. Kampus sudah memberikan pelajaran yang sangat berharga tentang nasi kotak.

Kamar kelas I terdiri dari dua tempat tidur, tv, kamar mandi (air panas-dingin), meja ,lemari, dan full AC. Kelas II terdiri dari empat tempat tidur. Kelas III, enam tempat tidur. Dan kelas ekonomi selonjoran kiri kanan. Karena bersama suami, kami dapatnya satu kamar. Namun kalo tidak sekeluarga, biasanya dipisahkan cewek dengan cewek. Cowok dengan cowok. Untuk pemeriksaan tiket pun dibedakan. Jika anda penumpang kelas I dan II petugasnya akan melayani dengan ramah. Sedangkan kalo tiket kelas Ekonomi biasanya disertai dengan petugas keamanan.

Saya selalu penasaran mengapa kapal di Indonesia namanya begitu aneh? Menurut Kak Yusran, tiap nama kapal itu diambil dari nama-nama gunung yang ada di Indonesia (kecuali KM Jet Liner dan KM Willis-tak kutemukan di internet kalau kedua nama itu adalah nama gunung di Indonesia-mungkin saya salah, mohon infonya). Kenapa harus nama gunung yang menjadi sebuah nama kapal? Menurut dugaanku adalah karena gunung dan laut adalah sebuah tempat yang memiliki perbedaan tinggi yang cukup signifikan. Dan mungkin juga agar tegak berdiri dan berlayar di laut. Hahahaha…entahlah. Pelni yang lebih pantas memberi penjelasan tentang ini. 

Kapal yang aku pakai adalah KM Tilongkabila. Tilongkabila adalah gunung yang ada di Gorontalo. Interior dihiasi dengan lukisan-lukisan dan ukiran-uikiran yang mewakili daerah gorontalo. Di kamar yang saya pakai ada lukisan persawahan dengan kawanan burung yang terbang di langit Tomohon. Sesungguhnya kapal pun menjadi sarana pesiar yang lumayan menyenangkan. Dan tiap kapal akan menyajikan sentuhan budaya yang berbeda pula.

Pelayaran ini membutuhkan waktu 24 jam. Berangkat pukul 07.00 malam, tiba 07.00 malam hari berikutnya. Padahal menurut Kak Yusran, rute Makassar –Bau-Bau jika ditempuh dengan kapal lain hanya 13 jam. Awalnya saya berencana menulis selama di kapal, namun ternyata saya masih perlu beradaptasi untuk naik kapal. Ombak kecil saja membuatku pusing. Awalnya mau berkeliling kapal tapi pada akhirnya saya hanya memilih untuk tidur di kamar. Pusing, mual namun tak muntah terasa begitu menyengsarakan.

Akibatnya selama seminggu tiba di daratan saya masih pusing dan mual. Bahkan bersentuhan dengan air dan melihat laut aku jadi pusing dan demam. Menurut ibu mertuaku, itu adalah mabuk darat. Hmm…penjelasannya mabuk laut yang tertunda, jadinya pas di darat baru kerasa. Huh…menyebalkan juga jika begini. Tapi tak pernah jera untuk naik kapal. Lambat laun akan terasa seperti berkendara dari Makassar-Bone atau sebaliknya.

Bagaimana dengan ekspektasiku? Tenang aku tak membayangkan diriku berlayar dengan kapal pesiar Oasis of The Sea. Hanya saja ini menjadi pengalaman yang menyenangkan bagiku meski tak begitu baik untuk kondisi tubuhku. And This is it. Aku dengan petualang baru dimulai di sini. Apakah sudah bisa seperti Trinity?



Comments

Popular posts from this blog

Seketika Ke Sukabumi

twit ekspektasi vs twit realita Setelah kelelahan karena hampir seharian di Mal sehabis nonton Dr.Dolittle pada hari rabu, dengan santai saya mencuitkan kalimat di Twitter "karena udah ke mal hari Rabu. Weekend nanti kita berenang saja di kolam dekat rumah”. Sebuah perencanaan akhir pekan yang sehat dan tidak butuh banyak biaya. Saya sudah membayangkan setelah berenang saya melakukan ritual rebahan depan TV yang menayangkan serial Korea sambil tangan skrol-skrol gawai membaca utasan cerita yang ga ada manfaatnya.  Sebuah perencanaan unfaedah yang menggiurkan. Tiba-tiba Kamis malam suami ngajakin ke Taman Safari liat gajah pas akhir pekan. Mau ngasih liat ke Anna yang udah mulai kegirangan liat binatang-binatang aneka rupa. Terlebih lagi sehari sebelumnya kami menonton film Dr.Dolittle yang bercerita tentang dokter yang bisa memahami bahasa hewan. Sekalian  nginap di hotel berfasilitas kolam air panas. Hmmm. Saya agak malas sih. Membayangkan Taman Safari yan...

Pride and Prejudice : I’m Bewitched

Tak pernah kusangka saya akan jatuh cinta pada film Pride and Prejudice. Waktu kuliah dan masa-masa belum punya anak, saya tidak pernah tergerak untuk menonton film ini. Prasangka saya terhadap film ini sudah tumbuh sejak memiliki versi Film India di tahun sebelumnya. Mungkin karena hal itu saya kemudian tidak tertarik menontonnya.   Namun karena episode-episode drama korea yang aku nonton udah habis, ditambah kebosanan pada topik medsos yang masih heboh dengan pilpres, dan juga pengaruh hari valentine yang menyebabkan algoritma lapak streaming merekomendasi film-film romantis menjadi sebab akhirnya saya menonton film ini Semuanya berawal dari ketidaksengajaan menonton Atonement yang diperankan oleh Kiera Knightley. Film ini cukup bagus, meski di tengah jalan saya udah kena spoiler via wikipedia dan rada senewen dengan endingnya. Tapi kecantikan Kiera Knightley tetap mampu membuat saya menyelesaikan film itu sampai detik terakhir. Saking senewennya dengan ending Atonement, sa...

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan ...