Skip to main content

Wawancara Visa Itu Seperti Ujian Meja

Mengurus visa keberangkatan ke USA adalah sebuah pengalaman yang benar-benar baru buat saya. Deg-deg-an,exciting, gugup, takut, dan penasaran. Setiap ada pemberitahuan pengurusan visa, perutku terasa mulas. Mix feeling membuat tornado kecil di perutku. Setiap mendapat telepon atau email dari suami atau kawan yang mengabarkan hal terbaru, kepak kupu-kupu gemuruh di perutku. Itulah bentuk exciting itu. Adrenaline yang memacu ketidaksabaran.

Sebuah pengalaman yang benar-benar baru buat saya dan mungkin biasa buat orang lain. Khususnya saya yang memiliki bayi umur satu tahun. Mulai dari foto visa dengan ukuran khusus yang ternyata beda tiap negara. Tak boleh senyum, tak boleh miring. Telinga harus kelihatan. Selanjutnya mengurus dokumen-dokumen. Mulai dari kartu keluarga, akta kelahiran, buku nikah, jaminan bank, asuransi,dan dokumen penting lainnya yang saya tak mengerti. Untungnya ada teman yang membantu mendaftarkan dan membantu segala kelengkapan berkas. Untungnya pula teknologi telah begitu canggih sehingga dapat berinteraksi dengan mudah jika kurang tahu atau kurang paham. Bayar visa kurang lebih 1,5 juta perorang. Uang tidak akan kembali jika visa tidak di approve.

Pengalaman Wawancara

Yang paling excited dari mengurus visa adalah pengalaman wawancara. Sehari sebelum wawancara rasanya seperti belajar untuk ujian meja. Belajar menjawab pertanyaan wawancara. Mencari tahu dari orang sebelumnya yang pernah wawancara visa yang juga menguruskan visa anak. Yah, mirip-mirip ujian meja. Cari tahu yang sama lingkup penelitiannya, bertanya apa saja kemungkinan yang ditanyakan. Untuk anak usia dibawah 14 tahun, mereka harus diwakili. Sebenarnya, bukan juga tidak boleh dibawa ke kedutaan Amerika, tapi kurang lebih tidak diwawancarai.

Berhubung karena pikirannya bahwa bayi tidak boleh dibawa, maka Ara pun ditinggal. 3 jam ia menangis sesunggukan ditinggal pergi mamanya. Ini demi untuk ketemu ayah nak. Tapi sebenarnya bayi bisa dibawa kok ke kedutaan Amerika. Ada bule asal spanyol yang membawa anaknya usia 7 bulan. Juga sepasang keluarga dengan anak usia 11 tahun.

Pukul 6 saya dan kak Haslia ke kedutaan Amerika. Melewati banyak pos penjagaan. Tak membawa handphone dan alat komunikasi lainnya. Dan segala hal yang bisa terdeteksi oleh detektor logam. Duduk rapi di kursi-kursi yang disediakan untuk para pengapply visa. Banyak orang yang mau ke Amerika dengan banyak tujuan. Jalan-jalan, bekerja, sekolah, atau mengujungi keluarga. Pagi itu sudah ada 10 orang yang mengantri di depan kami. Pukul 7 lewat beberapa menit, loket mulai dibuka. Loket ini adalah loket untuk menyetor paspor, foto, dan konfirmasi wawancara. Selanjutnya, dibagi dalam beberapa grup dan masuk ke ruang tunggu wawancara.

Kedubes Amerika itu tepat waktu, teratur, ruangan sejuk, ada air galon, dan nyaman. Pokoknya tidak seperti di kantor-kantor pelayanan pemerintah yang sumpek, antrinya nda karuan, grasak grusuk, dan tidak tepat waktu. Pelayanannya pun ramah. Sekalipun bule yang mewawancarai tapi mereka sedapat mungkin berbahasa Indonesia.

Seorang pengapply visa sebelum saya di wawancara. Berdiri antri di loket dengan kaca pembatas antara pewawancara dan yang diwawancarai. Baiklah, tidak seperti ujian meja kok yang face to face dan terasa terintimidasi. Pengapply di depanku agak lama ditanyai. Mulai dari kerjaannya, berapa lama di Indonesia (dia bukan orang Indonesia). Tujuannya ke Amerika. Jaminan banknya. Dan saat terakhir wawancara ia mendapatkan kertas merah yang berarti ditolak.

Saya pun makin deg-deg-an. Take a breath and relax, kataku dalam hati. Pewawancaraku adalah bule dengan cambang di pipi. But he look nice. Saya mencoba membaca name tagnya, agak susah. Ahmed kalo nda salah. Dia menyapaku dengan bahasa Indonesia, menanyakan kabarku. Saya jawabnya bahasa inggris.Hehehe.
Dia lantas berkata "oh, J dua" merujuk pada berkas visaku. J dua adalah jenis visa dependen. Ada yang membiayai di Amerika. Sejenis visa studi. Ia pun menanyakan nama suami saya. Menanyakan dengan siapa saya berangkat. Ketika ia melihat foto Ara, ia berkata "she's cute. How old she?". Meminta kartu keluargaku dan buku nikahku. Sejenak mengkerutkan kening ketika melihat fotoku di buku nikah. Aku berkata "different?", dia mengangguk dan tersenyum. Ia lantas menanyakan suamiku kuliah dimana, dibiayai oleh siapa, dan apakah biaya hidupnya ditanggung. Cuma itu, tapi cukup bikin jantung berdegup kencang dan tangan dingin. Kemudian dia meminta menunggu sejenak, berdikusi dengan kawannya dan menyodorkanku lembar putih dan berkata "enjoy your traveling". Senangnya, visaku di approve.

Kemarin, visa sudah saya ambil di RPX. Tiket sudah di tangan. 4 September saya dan Ara berangkat ke Amerika. Tak sia-sia Ara menangis 3 jam ditinggal mama buat urus visa. We will heading to USA.Wow!!!! (*)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Comments

  1. Selamat kak ^^
    Jangan lupa jika dah di sana kirimin saya kartu pos :pV

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Seketika Ke Sukabumi

twit ekspektasi vs twit realita Setelah kelelahan karena hampir seharian di Mal sehabis nonton Dr.Dolittle pada hari rabu, dengan santai saya mencuitkan kalimat di Twitter "karena udah ke mal hari Rabu. Weekend nanti kita berenang saja di kolam dekat rumah”. Sebuah perencanaan akhir pekan yang sehat dan tidak butuh banyak biaya. Saya sudah membayangkan setelah berenang saya melakukan ritual rebahan depan TV yang menayangkan serial Korea sambil tangan skrol-skrol gawai membaca utasan cerita yang ga ada manfaatnya.  Sebuah perencanaan unfaedah yang menggiurkan. Tiba-tiba Kamis malam suami ngajakin ke Taman Safari liat gajah pas akhir pekan. Mau ngasih liat ke Anna yang udah mulai kegirangan liat binatang-binatang aneka rupa. Terlebih lagi sehari sebelumnya kami menonton film Dr.Dolittle yang bercerita tentang dokter yang bisa memahami bahasa hewan. Sekalian  nginap di hotel berfasilitas kolam air panas. Hmmm. Saya agak malas sih. Membayangkan Taman Safari yan...

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan ...

Pride and Prejudice : I’m Bewitched

Tak pernah kusangka saya akan jatuh cinta pada film Pride and Prejudice. Waktu kuliah dan masa-masa belum punya anak, saya tidak pernah tergerak untuk menonton film ini. Prasangka saya terhadap film ini sudah tumbuh sejak memiliki versi Film India di tahun sebelumnya. Mungkin karena hal itu saya kemudian tidak tertarik menontonnya.   Namun karena episode-episode drama korea yang aku nonton udah habis, ditambah kebosanan pada topik medsos yang masih heboh dengan pilpres, dan juga pengaruh hari valentine yang menyebabkan algoritma lapak streaming merekomendasi film-film romantis menjadi sebab akhirnya saya menonton film ini Semuanya berawal dari ketidaksengajaan menonton Atonement yang diperankan oleh Kiera Knightley. Film ini cukup bagus, meski di tengah jalan saya udah kena spoiler via wikipedia dan rada senewen dengan endingnya. Tapi kecantikan Kiera Knightley tetap mampu membuat saya menyelesaikan film itu sampai detik terakhir. Saking senewennya dengan ending Atonement, sa...