Skip to main content

Meet Dee (Part II) : Beda Makassar Beda Jakarta

Dwi and Dee

Apa bedanya jumpa penulis di Makassar dan di Jakarta? Yang pasti bagiku itu sangat berbeda. Sewaktu jumpa penulis Trinity Naked Traveler  beberapa waktu lalu di Gramedia Panakukang Makassar, sangat banyak pengunjung yang antusias untuk datang. Bertemu Trinity, meminta tanda tangannya, berfoto bersama, dan juga berdiskusi. Bahkan antusiasme itu tidak hanya terjadi padaku tapi juga pada teman-teman kampusku di Kosmik. Saat itu, ada Meike, Kak Rahe, Ema, dan juga Echy. Belum cukup. Ada lagi para pengunjung yang juga mebawa teman-temannya. Pokoknya ramai. Meski pun tidak begitu membludak. Acaranya pun ditunggu-tunggu. Kursi-kursi yang telah disediakan pun langsung penuh. Beberapa pengunjung malah harus berdiri untuk ikut berpartisipasi.


Di Jakarta, kemarin sewaktu Meet and Greetnya Dee, aku tak melihat antusiasme seperti itu. Aku hanya menemukan diriku yang kesepian sendirian yang begitu exciating menunggu acara dimulai. Aku hanya sendirian duduk di sofa yang disediakan untuk para peserta meet and greet. Bahkan ketika Dee sudah hadir dan memulai acara, jejeran kursi di depanku masih kosong. Kursi-kursi itu hanya diisi oleh para crew penerbit Mizan atau pegawai Gramedia Teras Kota.


Saat sesi bertanya pun hanya sedikit peserta yang berpartisipasi. Bahkan ada penanya yang harus dua kali bertanya. Aku yakin nama Dee sebagai penulis cukup terkenal dengan karya-karyanya yang best Seller. Selain itu dia sebagai Dewi Lestari yang penyanyi itu pun pasti tetap dikenal oleh banyak orang. Sampai akhir diskusi para pengunjung hanya sekedar membeli buku dan meminta tanda tangan tanpa lupa berfoto.


Hmmm, mungkin karena orang-orang Jakarta sudah terlalu biasa dengan artis atau penulis. Interaksi mereka tidaklah begitu seantusias diriku. Tidaklah sampai menuliskan di dalam blog keinginan terpendam untuk bertemu Dewi Lestari.Mungkin bagi mereka bertemu Dewi Lestari adalah sesuatu yang biasa. Mungkin bagi mereka berdiskusi dengan Dewi Lestari bisa kapan saja. Tanpa perlu menunggu moment seperti ini.


Mungkin aku yang kampungan. Maklum, Makassar sangat jauh dari hingar bingar Jakarta yang penuh dengan bejibun penulis terkenal. Bagiku ini adalah momen langkah untuk belajar secara langsung pada penulis-penulis sekelas Dee. Bagiku, bertemu dengan Dee mungkin sama berartinya jika aku bertemu JK.Rowling. Sangat memorable. Aku mungkin yang kampungan yang perlu berfoto dengannya dan meminta tanda tangannya.


Tapi bagiku, aku sangat menghargai hasil karyanya. Berada di sana. Bercakap-cakap dengannya. Memperkenalkan diriku sebagai pengagumnya. Memberitahukan kepadanya bahwa namaku menjadi salah satu "penulis komentar" yang ada di buku Perahu Kertas. Mengatakan padanya bahwa sebelum ke Jakarta aku mengucap satu hal, Ingin bertemu Dewi Lestari. Sesuatu yang mungkin begitu sederhana. Tapi bagiku itu sangat berarti.


Setelah diskusi dan meminta tanda tangannya. Aku pun berlalu. Ingin rasanya bisa lebih lama. Ingin berucap "Kelak kalo aku telah menyelesaikan bukuku, maukah dirimu menjadi salah satu pembaca pertama?".Alllaaaahh, itu mimpi yang belum menjadi nyata mungkin. Aku hanya merapalkannya. Biarkan semesta yang bekerja.
Ini nih yang terjadi kalo di Makassar (ini gaya jaim)


Aku tiba-tiba kangen dengan Echy, Ema, Kak Rahe, dan Meike. Coba kalo mereka ada disini, kami pasti lebih menggila dan lebih banyak berbuat aib di gramedia. Tapi siapa peduli. Karena kita tak mengganggu siapapun. Guys, nanti kita undang Dewi Lestari ke Makassar untuk mengajar menulis. Pasti banyak yang berminat.(*)

Comments

  1. ikutan senang, impian kakak perahu kertas bertemu si pembuat perahu kertas akhirnya terwujud.

    idenya boleh tuh kak..."Menulis sehari bersama Dee " aminnnnn...

    ReplyDelete
  2. sudah kau sampai salamku padanya kah???

    hehehehe....
    selamat, satu mimpi sudah tercentang.... :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pada Sebuah Beranda

Siapa yang tak mengenal bondan winarno. Presenter pembawa acara kuliner di televisi. Mempopulerkan istilah “Mak Nyus” untuk tiap komentar enak tentang makanan yang dimakannya. Tapi hanya sedikit yang tahu bahwa ia adalah seorang wartawan senior yang telah malang melintang di dunia jurnalisitik. Memiliki segudang pengalaman liputan. Bahkan pernah membuat salah satu laporan investigasi yang mengungkap sebuah kasus. Namun tak hanya sisi jurnalistik, Bondan Winarno pun seorang penulis sastra yang cukup ciamik. Beberapa waktu lalu seorang teman mengirimkan fotokopian kumpulan cerpen Bondan Winarno yang berjudul “Pada Sebuah Beranda”. Buku ini sudah lama aku cari di toko-toko buku. Namun tak kunjung aku temukan. Hingga seorang teman berbaik hati mengirimkan fotokopiannya yang bersumber di perpustakaan kotanya. Ada 25 cerpen yang dimuat dalam buku tersebut. Pada Sebuah Beranda ini diterbitkan oleh Bondan Winarno sebagai kado ulang tahun untuk dirinya sendiri yang dalam istilahnya “Celebrat

Misteri Sepatu Menggantung di Kabel Listrik

Sumber : Athens News Sepasang sepatu menggantung lunglai di tiang listrik. kabel listrik tempatnya bergantung kokoh tak ingin melepaskan sepatu itu menghujam bumi. Pertama kali tiba di Athens, saya cukup heran dengan sepatu-sepatu yang tergantung di kabel-kabel listrik itu. Kutanya ke seorang teman bule tapi ia tak memberi jawaban yang memuaskan. Kupikir sepatu-sepatu itu dilempar begitu saja karena sudah dirusak atau tidak dipakai. Atau asumsiku yang lain adalah sepatu itu milih olahragawan yang berhenti dari profesi dan memilh menggantung sepatu. seperti pemain sepakbola. Tapi sepertinya asumsi olahragawan itu tidak benar, karena sepatu-sepatu yang menggantung di tiang listrik cukup mudah ditemukan. Jalan-jalanlah di seputaran Athens dan kau akan mendapati sepatu-sepatu menggantung di tiang listrik.  Uniknya sepatu yang digantung itu hanyalah sepatu-sepatu kets. Fenomena ini disebut Shoefiti dan terjadi diberbagai tempat di Amerika. Nyatanya bukan hanya saya saja yang penasar

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan