Skip to main content

Ketika Jurnalisme Di Bungkam Sastra Harus Bicara

Aku tiba-tiba mengingat kalimat ini yang juga sebuah judul buku dari salah satu penulis favoritku Seno Gumira Adjidarma. Beberapa kejadian yang heboh belakangan ini di media mainstream dan juga di dunia maya serta beberapa diksusi dengan teman membuatku berpikir bahwa Mas Seno benar.


Jurnalisme seperti sebuah detektif yang harus memecahkan masalah. Ia menjadi seperti mercusuar yang cahaya membimbing kita untuk mencari kebenaran. Namun karena ia adalah sejatinya sebuah fakta (baik secara psikologis maupun sosiologis) terkadang ia menemukan batu sandungan. Terbelit oleh berbagai rantai kepentingan. Pemodal. Politik. Bahkan hingga nyawa. 


Ketika kekuasaan membredel kegiatan jurnalisme atau pemodal hanya sekedar mencari ratting dan memaksakan sebuah agenda kepentingan maka itu adalah kerangkeng jurnalisme. 
Lantas dimana manusia bisa berteriak lantang dan menyuarakan fakta sebenarnya.


Sastra mengambil peran tersebut. Fakta-fakta disisipkan dalam buku sastra. Bahkan terkadang buku novel lebih jujur dibanding buku-buku sejarah. Misalnya saja buku tetralogi Pulau Buru karya Pramoedia Ananta Toer yang berhasil menyajikan setting masa kolonialisme Belanda. Novel Multatuli, Max Havelar tentang nasib rakyat yang dijajah. 


Untuk karya sastra modern semisalnya September karya Noorcha M Massardi yang menyajikan latar kejadian 30 september 1965. Rahasia Meede karya ES Ito dan The Jacatra Secret karangan Rizky Ridyasmara yang menyajikan fakta-fakta sejarah yang cukup lengkap. Sastra seperti sulur-sulur tanaman rambat yang menggerayani tembok (kekuasaan dan pembungkaman) dan dengan lambat namun pasti merapuhkan dan menghancurkan


Jurnalisme terikat oleh seribu satu kendala, dari bisnis sampai politik, untuk menghadirkan dirinya, namun kendala sastra hanyalah kejujurannya sendiri. Buku Sastra bisa dibredel, tetapi kebenaran dan kesustraan menyatu bersama udara, tak tergugat dan tak tertahankan. (www.goodreads).


Ketika Jurnalisme di bungkam sastra harus bicara....

Comments

  1. where's the 'like' icon here? i like this.

    ReplyDelete
  2. thanks ribka. selamat menyelami fakta dalam novel :)

    ReplyDelete
  3. Anonymous11/21/2011

    sangat menarik, terima kasih

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Seketika Ke Sukabumi

twit ekspektasi vs twit realita Setelah kelelahan karena hampir seharian di Mal sehabis nonton Dr.Dolittle pada hari rabu, dengan santai saya mencuitkan kalimat di Twitter "karena udah ke mal hari Rabu. Weekend nanti kita berenang saja di kolam dekat rumah”. Sebuah perencanaan akhir pekan yang sehat dan tidak butuh banyak biaya. Saya sudah membayangkan setelah berenang saya melakukan ritual rebahan depan TV yang menayangkan serial Korea sambil tangan skrol-skrol gawai membaca utasan cerita yang ga ada manfaatnya.  Sebuah perencanaan unfaedah yang menggiurkan. Tiba-tiba Kamis malam suami ngajakin ke Taman Safari liat gajah pas akhir pekan. Mau ngasih liat ke Anna yang udah mulai kegirangan liat binatang-binatang aneka rupa. Terlebih lagi sehari sebelumnya kami menonton film Dr.Dolittle yang bercerita tentang dokter yang bisa memahami bahasa hewan. Sekalian  nginap di hotel berfasilitas kolam air panas. Hmmm. Saya agak malas sih. Membayangkan Taman Safari yan...

Pride and Prejudice : I’m Bewitched

Tak pernah kusangka saya akan jatuh cinta pada film Pride and Prejudice. Waktu kuliah dan masa-masa belum punya anak, saya tidak pernah tergerak untuk menonton film ini. Prasangka saya terhadap film ini sudah tumbuh sejak memiliki versi Film India di tahun sebelumnya. Mungkin karena hal itu saya kemudian tidak tertarik menontonnya.   Namun karena episode-episode drama korea yang aku nonton udah habis, ditambah kebosanan pada topik medsos yang masih heboh dengan pilpres, dan juga pengaruh hari valentine yang menyebabkan algoritma lapak streaming merekomendasi film-film romantis menjadi sebab akhirnya saya menonton film ini Semuanya berawal dari ketidaksengajaan menonton Atonement yang diperankan oleh Kiera Knightley. Film ini cukup bagus, meski di tengah jalan saya udah kena spoiler via wikipedia dan rada senewen dengan endingnya. Tapi kecantikan Kiera Knightley tetap mampu membuat saya menyelesaikan film itu sampai detik terakhir. Saking senewennya dengan ending Atonement, sa...

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan ...