Skip to main content

Meet Dee (Part I) : Dari Teras Imaji hingga Teras Kota

Di suatu malam di Pondok Salsabila bersama Ema. Pukul 11 malam kala itu. Menjelang tidur kami berbagi cerita. Memintal benang mimpi. Seminggu sebelum aku ke Jakarta. Kami berbaring di atas kasur biru tipis. Rayap mengiang di balik papan lantai. Kami merajut mimpi. Membuat daftar orang-orang yang akan kami temui. Dia merapalkan mimpinya, bertemu Mathew Bellamy personil Muse. Dia juga ingin bertemu Reza Rahadian, aktor dalam film Badik Titipan Ayah yang tak sempat dia ajak berfoto saat shooting film itu di Ramsis Unhas.

Giliranku merapal mimpiku. Jika orang Indonesia, aku tidak terlalu minat bertemu SBY meski dia presiden. Aku juga tidak minat menguber-uber Obama  (meski ia sempat ke Jakarta tapi waktu itukan belum tahu kalo Obama mo datang ;p), itu mimpi yang bakal susah tercapai jika dia masih menjabat presiden. 

Aku hanya ingin bertemu Dewi “Dee”Lestari. Mengapa? Dia adalah penulis favoritku. Penulis perempuan yang selalu aku jadikan kiblat. Penulis yang kesemua bukunya telah aku lahap meski belum aku koleksi semua. Penulis yang selalu aku kutip kalimat-kalimatnya. Penulis yang selalu membuatku bersemangat untuk terus menulis. Meski sampai sekarang aku masih terseok-seok menulis sebuah cerpen.Jika ke Jakarta, aku ingin bertemu Dewi Lestari. Itu adalah mimpiku. 

Dua minggu yang lalu saat berjalan-jalan di gramedia matraman aku membaca buku filosofi kopi. Buku itu menyentakku pada tulisan “Kala kau terlelap”. Tiba-tiba aku menginginkan buku tersebut. Meski aku sudah perah membacanya aku tetap ingin mengoleksinya. Dan buku itu pun aku miliki dengan catatan singkat di blog, aku sangat ingin bertemu Dee.(Lihat di sini)

Dua hari yang lalu, iseng Online di kost aku membaca status Facebook Perahu Kertas. Meet and Greet Dee, penulis Perahu kertas di Gramedia Teras Kota BSD. Tempat tersebut sangat jauh dari kostku. Bahkan Kak Yusran pun belum pernah kesana. Bumi Serpong Damai, Tangerang, Banten. Provinsi sebelah Jakarta. Awalnya kami tak ada niat kesana. Dan semua begitu kebetulan.Seperti ada kekuatan yag maha besar yang membuat semuanya menjadi mungkin. Sederhana mungkin jika melihat bahwa hanya butuh modal ke sana saja dan bertemu. Namun tidak seperti itu.Hampir saja aku pupus mimpi ini ketika kami tak memplanning ke Serpong weekend ini. Tapi tiba-tiba Kak Tia, kakaknya kak Yusran datang dari Bandung dan diantar ke bandara untuk penerbangan pulang  ke Makassar. Ia memberi kami amunisi untuk ke Serpong.

Bahkan sempat pula kuurungkan niatku untuk tidak ke sana. Karena kamera dan buku filosofi kopiku tidak aku bawa serta. Untungnya kami berinisiatif utuk megambil kamera itu. Mencuri waktu sesaat. Yah, jika ada jalan kenapa tidak berjuang sampai akhir.

Usai Di bandara, kami pun menyewa taksi untuk ke BSD. Seperti bertualang ketempat yag tidak kau tahu sama sekali. Bahkan supir taksinya pun tidak tahu tempat yag kami tuju dimana.Kami  sesungguhnya juga  tidak tahu kami hedak kemana. Bertanya kiri kanan. Dimarahi bapak-bapak yang serupa preman. Sampai akhirnya kami tahu tempatnya. Gramedia, Teras Kota.Rasaya hatiku meledak seeprti mercon ketika melihat Banner “Meet and Greet Perahu Kertas”. Aku berada disini.Benar-benar ajaib rasanya.

Cewek yang menjadi moderator diskusi mengenaliku. Waahhh, ternyata dia yang dulu menemani Mbak Trinity waktu acara diskusi di Gramedia Panakukang. Dia pun masih mengingatku. Iri rasanya melihat dia bisa begitu akrab dengan para penulis-penulis favoritku.

Sesaat kemudian, aku melihat seorang ibu yang menggendong anak perempuan dan seorang bocah kecil berambut sedikit kriwil berkulit coklat mengiringinya. Perempuan yag aku ajak ngobrol tadi menghampirinya. Dia menyapa ibu itu dan anak-anaknya. Wow, dialah Dewi Lestari. Bersama Keenan dan anak perempuan bungsunya, Atisha. Aku harus mencentang  satu mimpi yang menjadi kenyataan. (*)

Comments

  1. haaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa...dwi bagusnya ntulisanmu ini..rasanya nda sabar mencentang satu mimpiku juga saat bertemu benzema dan fabregas...i lov u dwie.....

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Seketika Ke Sukabumi

twit ekspektasi vs twit realita Setelah kelelahan karena hampir seharian di Mal sehabis nonton Dr.Dolittle pada hari rabu, dengan santai saya mencuitkan kalimat di Twitter "karena udah ke mal hari Rabu. Weekend nanti kita berenang saja di kolam dekat rumah”. Sebuah perencanaan akhir pekan yang sehat dan tidak butuh banyak biaya. Saya sudah membayangkan setelah berenang saya melakukan ritual rebahan depan TV yang menayangkan serial Korea sambil tangan skrol-skrol gawai membaca utasan cerita yang ga ada manfaatnya.  Sebuah perencanaan unfaedah yang menggiurkan. Tiba-tiba Kamis malam suami ngajakin ke Taman Safari liat gajah pas akhir pekan. Mau ngasih liat ke Anna yang udah mulai kegirangan liat binatang-binatang aneka rupa. Terlebih lagi sehari sebelumnya kami menonton film Dr.Dolittle yang bercerita tentang dokter yang bisa memahami bahasa hewan. Sekalian  nginap di hotel berfasilitas kolam air panas. Hmmm. Saya agak malas sih. Membayangkan Taman Safari yan...

Pride and Prejudice : I’m Bewitched

Tak pernah kusangka saya akan jatuh cinta pada film Pride and Prejudice. Waktu kuliah dan masa-masa belum punya anak, saya tidak pernah tergerak untuk menonton film ini. Prasangka saya terhadap film ini sudah tumbuh sejak memiliki versi Film India di tahun sebelumnya. Mungkin karena hal itu saya kemudian tidak tertarik menontonnya.   Namun karena episode-episode drama korea yang aku nonton udah habis, ditambah kebosanan pada topik medsos yang masih heboh dengan pilpres, dan juga pengaruh hari valentine yang menyebabkan algoritma lapak streaming merekomendasi film-film romantis menjadi sebab akhirnya saya menonton film ini Semuanya berawal dari ketidaksengajaan menonton Atonement yang diperankan oleh Kiera Knightley. Film ini cukup bagus, meski di tengah jalan saya udah kena spoiler via wikipedia dan rada senewen dengan endingnya. Tapi kecantikan Kiera Knightley tetap mampu membuat saya menyelesaikan film itu sampai detik terakhir. Saking senewennya dengan ending Atonement, sa...

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan ...