Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia.
Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya.
Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan sudah mendarah daging.
Ettaku adalah tipe pria bugis pada umumnya. Yang menyenangi bertani dan jarang bicara. Waktu kecil saya jarang berbicara dengannya. Waktuku banyak kuhabiskan dengan mamaku. Jika meminta izin untuk acara sekolah atau meminta uang pembeli buku pelajaran aku selalu meminta pada mamaku. Aku hanya mengingat sedikit waktu saat aku kecil dulu aku suka diajak ke rumah ibunya atau ke Makassar. Atau sering duduk dipangkuannya ketika dia memakai sarung dan kemudian diselonjorkannya kaki sehingga sarung itu serupa buritan perahu dalam imajinasi kecilku. Aku selalu membayangkan seolah-olah berperahu dengannya.
Itulah relasiku dengan Etta. Relasi anak perempuan yang tidak begitu dekat dengan bapaknya. Waktu berjalan dan aku bertumbuh menjadi gadis dewasa. Duniaku menginginkan penjelajahan dunia luar. SMA adalah masa yang paling individual yang kujalani. Aku sibuk dengan organisasi sekolah. Dan kedekatanku dengannya hanyalah saat malam. Itupun beberapa jam sebelum kami tidur. Kadang tak ada percakapan. Hanya sua di meja makan atau perintahnya untuk diambilkan sesuatu. Perlahan tapi pasti seperti itlah relasiku dengan Ettaku.
Aku tak pernah begitu mengenalnya selain sebagai seorang bapak, kepala rumah tangga, suami dari mamaku dan memiliki peran di wilayah publik. Namun sejak sepeninggalan mamaku, aku belajar memahaminya sebagai manusia. Manusia yang mengalami kehilangan setengah hidupnya jika pasangan hidupnya telah pergi. Aku tidak menafikannya. Karena aku pun menjalani sebuah hubungan. Lama tak bersua membuat sebuah rindu memadat di hati. Dan hanya bisa meleleh dengan sebuah perjumpaan dan sapa. Dan apa jadinya jika dirimu tak lagi bisa bersua dengannya. Tak lagi bisa mendengar tawa cerianya. Dunia rasanya seperti menghilang dan kau tak berpijak pada apa pun.
Mungkin itu pula yang ia rasakan. Ia menjadi lelaki tua yang kesepian. Ia butuh teman untuk bercerita. Sedangkan aku anaknya terlalu sibuk dengan urusan remeh temeh yang hanya penting bagi diriku. Pernah sekali ia menelelponku. Waktu itu kakakku yang tengah ke Makassar dan ia tinggal sendiri di rumah. Ia mungkin merasa sendiri dan menelponku. Ia bercerita banyak. Aku hanya bisa menanggapinya dengan respon-respon yang bisa membuatnya senang. Padahal sesungguhnya aku sedih karenanya. Dulu ketika mama masih ada mungkin ia tak pernah merasakan kesepian seperti itu. Karena mama selalu ada untuk mendengarkan.
Mungkin hal itu yang tidak aku miliki. Sebuah ruang untuk mendengarkannya. Pada akhirnya aku adalah anak perempuan yang kelak akan pergi mengikuti suami. Dan membuat rumah di tempat lain. Serupa gelang pesulap yang saling terkait yang dengan trik tangan kemudian tak terkait lagi satu dengan yang lain. Seperti itulah hubunganku kini yang terjalin bersama Etta.
Tapi kaitan gelang perak itu tidak terlepas dengan kekuatan magic. Butuh proses panjang yang saling memahami. Kali ini akulah yang harus banyak memahaminya. Seperti dulu ia mampu memahami setiap langkah-langkah yangaku pilih dalam menentukan hidupku. Ia selalu mampu mengerti dan tak pernah memaksakan keinginannya. Saat ini gelang perak itu telah berdiri sendiri. Tak saling terkait. Aku berdiri di sampingnya tak lagi menjadi anak kecil yang selalu dituntun oleh tangan kasarnya agar aku tetap berada dalam lindungannya.
Kami berdiri bersisihan. Tak ada pegangan tangan. Namun ikatan saling melindungi yang tak kasat mata yang terjalin dari proses saling memahami. Aku masih belajar memahami. Menghormati tiap-tiap putusannya seperti ia menghormati tiap-tiap pututsanku. Ia mungkin telah kukenal sebagai manusia saja. Tapi ikatan antara bapak dan anak tak pernah berubah di antara kami. Ia tetaplah bapak bagiku dan aku tetaplah anak perempuan bungsunya yang masih wajib dilindunginya. Hingga kelak ia menyerahkanku pada pria yang menjadi suamiku kelak.
Hari ini aku menuliskan tulisan ini khusus untuknya. Untuk menghormati pilihannya. Untuk mendoakan agar ia selalu bahagia tiap hari. Agar ia selalu bisa berbangga pada anak-anakmya. Agar ia tahu bahwa ia telah berhasil mendidik kami.
Selamat menempuh hidup baru Etta. Aku menyayangimu….
Comments
Post a Comment