Skip to main content

Pamit


Balok ini berukuran 15 meter. Lebar 10 meter dan panjang 20 meter. Disinilah saya menghabiskan lebih 365 hari. 2400 jamku. 144000 detikku. Melakukan rutinitas as an employer. Berbakti pada perusahaan dan mendedikasikan diri untuk semua kesuksesan perusahaan.

Sebuah profesi yang sanggup memajang fotoku pada poster dengan tulisan employee of the month. Tapi, tenanglah, aku tak setelaten dan serajin itu hanya untuk memasang fotoku pada sebuah gelar karyawan terbaik bulan ini. Aku mungkin masuk dalam salah satu karyawan ngeyel dan selalu ceroboh.


Di sini aku memulai sebuah pembelajaran. Proses belajar yang takkan pernah berhenti. Karena pengetahuan tak akan pernah habis. Aku belajar bagaimana sebuah dunia kerja memelingkupimu dengan ritme yang sama. Bagaimana sebuah kepercayaan dan penghormatan menjadi sebuah nilai yang perlu terus dipegang. Dan jika salah melangkah menjadi sebuah nilai yang tak memiliki arti.


Di sini aku belajar tentang politik kantor yang seutuhnya. Menemukan bahwa kita bersinggungan dengan ragam manusia yang memiliki perbedaan. Serupa handphone yang memiliki tipe dan harga yang berbeda. Seperti itu pula diri harus terjaga.

Aku tak pernah menganggap diriku adalah contoh yang mendekati sempuna dari ciptaan Tuhan. Namun aku selalu berusaha untuk memahami dan memandang bijak tiap ragam manusia yang dalam sepemahaman etika berkehidupan kadang berada pada level-level belum mampu saling memahami dan menghormati. Gontot gontotan, egoism menjadi sebuah penghindaran yang selalu berusaha aku lakukan.


Di sini aku belajar bagaimana memperlakukan dan diperlakukan. Sebagai ordinat and subordinat.Aku mencoba menjalani semua dengan rasa yang menyenangkan. Berusaha mengambil lapis hikmah yang kadang tak mampu aku bendung dengan iar mata. Seperti inilah dunia kecil dalam laboratorium masyarakat. Seperti lembah dan gunung yang harus selalu dituruni dan ditapaki.

Hidup tak pernah benar-benar datar, makanya ia kadang terasa manis, asin, kecut, maupun hambar.
Kadang pula banyak sepah-sepah manis yang aku simpan di hati. Di sini saya bertemu banyak kawan yang memiliki pandangan dunia beragam yang mampu memperkaya pengetahuanku. Disini pula aku belajar bagaimana memberi yang terbaik agar hasil yang aku dapat pun adalah yang terbaik. Proses melayani dari hati adalah sebuah cermin individu yang bersahaja. Ketika melayani telah berasal dari hati, ikatan yang timbul bukan lagi antara corporate dan customer. Tapi antara yang melayani dan terlayani.

Aku menemukan banyak pelanggan yang telah mengenaliku. Menganggapku sebagai seorang teman. Khusus mencariku hanya sekadar pelayanan perbankan yang orang lain pun bisa lakukan. Bahkan ada pula yang tak lagi terasa sebagai
customer namun lebih terasa seperti kawan lama yang menjadi kawan diskusi tentang banyak hal. Interaksi adalah kunci paling penting dalam situasi ini.

Aku tak pernah merasa diriku telah sempurna dalam melakukan interaksi, namun aku selalu berusaha menempatkan interaksi terbaik baik keluar maupun ke dalam. Namun, kadang mungkin levelnya tak sampai 100% atau bahkan kadang hanya pada skala 30%. Aku pun tak punya kekuatan pada itu. Aku hanya manusia biasa yang dilingkupi emosi dan tak selamanya menjadi malaikat.


Sejak awal, tempat ini adalah tempat yang khususkan sebagai tempat singgah. Tempat di mana aku mencari pengetahuan baru, pengalaman baru, dan juga kawan baru. Aku telah menemukannya. Aku berbahagia dengan itu. Meski tak kupungkiri bahwa tiap ketakenakan adalah pilihan yang tak ingin kupilih.
Telah lama aku merenungi semua ini. Sejak pertama aku menginjakkan kaki di tempat ini. Telah kulalui kontemplasi panjang hingga sampai pada keputusan ini.

Aku tiba-tiba mengingat kembali sebuah tagline di MTV jaman parabola dulu. Tagline yang mengenalkanku pada kata
AVOID “HINDARI”. Video tagline itu masih kuingat hingga sekarang. Berupa titik-titik hitam yang berkumpul bersama. Dan tiba-tiba sebuah titik merah berusaha masuk. Namun titik-titik hitam tak memberi ruang bagi titik merah untuk ikut bergabung dalam lingkat titik-titik hitam. Dan sebuah kalimat muncul “If You Don’t Like People, Avoid Them”. Jika kamu tidak menyukai segerombolan orang, hindari saja”.

Kalo aku mengumpamakan diri, akulah titik merah itu. Aku berusaha mencari celah untuk bisa masuk dan berbaur. Namun warnaku adalah merah sedang mereka hitam. Warna ini adalah sebuah prinsipil yang tak ada kompromi akannya. Mereka tak mengubahku, dan aku tak mengubah mereka.
Kami hanya beriringan. Menahun.

Tapi titik merah tetaplah titik merah yang tak pernah berubah warna. Titik merah mencari kawanannya agar bias saling menyokong dan membantu. Mencari ruang-ruang sepi yang membuatnya mampu mengekpresikan diri tanpa harus ada hal lain yang menyita titik fokus di otaknya.


Kata seorang teman aku butuh cangkang baru untuk menampung diriku yang berkembang.
Serupa ikan tawar harus yang hidup di kolam atau sungai. Bukan dilaut. Begitu juga sebaliknya. Percakapan itu terjadi di meja dekat jendela. Tempat indah yang menginspirasi yang baru aku temukan setelah kulewati 365 hariku di sini. Aku bisa menjadi diriku sendiri saat duduk di situ. Menjelma dengan bebas meski aku harus menghitung waktu untuk itu. Tapi jendela itu mengikatku. Sebuah prototipe yang menyenangkan.

Tapi rules and roles menarikku jauh dari jendela itu. Menempatkan kembali diriku di dunia nyata.Menyuruhku kembali duduk dan sibuk mengisi segala data tentang orang lain. Terkadang mimpi perlu dihayati ketika kita sedang terbangun dan melakoni dunia nyata. Aku harus memiliki waktu milikku untuk terus berusaha menanamkan pondasi mimpi itu di dunia nyata. Jika tiap mereka yang sanggup melakukannya meski hasilnya tak memuaskanku, mengapa pula aku harus sangsi bahwa aku tak sanggup melakukannya.


Hidupku adalah jejeran kata yang harus aku tulis. Aku harus menjadi Dewi Saraswati, Peri Biru, Ani kecil, “Aku”, Naga merah, Pangeran Charming, Putri pemurung, Om Durian, dan jejeran tokoh yang harus aku lakonkan. Di sini, mimpi itu seakan masih melayang di udara. 30 hari kemudian, ingatkan aku untuk membuat pondasinya di tanah bumi.
Pada awalnya aku pikir mudah.

Aku bukanlah Andy F noya yang telah sekian lama memimpin Metro TV dan kemudian memilih berhenti di puncak karirnya. Aku bukanlah siapa-siapa. Hanya sekrup kecil yang ketika lepas tak menggoyangkan ketahanan rumah. Hanya seorang Dwi yang selalu berusaha menghadapi permasalahan dengan tertawa. Memilih hidup untuk bahagia. Hanya meninggalkan kesan baik pada sedikit orang. Tak menjadi favorit
employee bagi siapapun.

Pada awalnya kupikir ini simple. Tapi ternyata aku telah menemukan sedikit hal-hal menyenangkan disini. Tak sanggup berpisah pada beberapa kawan yang memiliki pemahaman yang sama denganku. Tak sanggup meninggalkan peri-peri customer service, kawan yang selalu menemani untuk tiap kesalahan yang aku buat. Tak sanggup berpisah pada teller yang selalu memintaku menjual uang koinnya. Tak sanggup meninggalkan puluhan dormant dan beberapa pendingan yang tak jelas kapan berakhir.

Tak sanggup meninggalkan cekikikan lucu yang akan timbul ketika sebuah kesalahan telah terjadi. Bukannya kami tidak belajar dari kesalahan, tapi kami hanya berusaha menyemangati hati yang sedang gundah. Janganlah ini dianggap sebuah ajang patoa-toai.
Tapi, tak sedikit sepemahaman denganku. Tak sedikit yang memintaku untuk melahirkan gagasan-gagasanku. Nyambi menjadi Author mungkin adalah hal yang dilakukan bagi beberapa orang disamping profesi yang lain mungkin sebagai karyawan swsta, BUMN, guru, dsb. Tapi mungkin aku memilih untuk tidak nyambi sebagai Author dengan profesiku sebagai pegawai bank. Hihihihi.

Buku-buku itu harus benar-benar lahir. Karena telah kujanjikan pada beberapa kawan untuk memberikannya dengan gratis. Dengan fasilitas delivery service. Sebuah upaya membunuh sumber mata pencaharian, tapi anggaplah sebagai ungkapan
“aku mencintaimu” yang tak akan sempat terapalkan dari mulutku karena sebuah rasa malu.

Dan pada akhirnya disinilah saya berpijak. Meminta pamit pada setiap orang yang mungkin pernah sakit hati, teriris kata dan perbuatan. Kalian telah mengajarkanku bagaimana menjadi dewasa dan bagaimana harus bersikap. Membangunkanku untuk membuat mimpiku jadi nyata.Terima kasih.(*)

Comments

Popular posts from this blog

Indecent Proposal

sumber foto : tvtropes.org Seorang bilyuner menawariku one billion dollar untuk one night stand dengannya. Aku bingung. Aku dan suami sedang tidak punya uang dan satu juta dollar begitu banyak. Mampu membiaya hidup kami. Disisi lain aku  mencintai suamiku, rasa-rasanya ini tidaklah patut. Tapi kami benar-benar tidak punya uang. Aku ingin melakukannya untuk suamiku. Aku mencintaiku dan tidak ingin melihatnya terlilit utang. Kami memutuskan mengambil tawaran itu. This is just sex bukan cinta. Ini hanya tubuhku. Aku dan suami memutuskan setelah semalam itu, kami tidak akan mengungkitnya lagi. Setelah malam itu. Kami berusaha menebus  properti kami yang jatuh tempo. Sayangnya, bank telah menyita dan melelangnya. Seorang pengusaha telah membelinya. Kami putus asa. Suamiku tiba-tiba berubah. malam itu, Ia mempertanyakan apa yang saya dan bilyuner itu lakukan. Padahal kami sepakat untuk tidak mengungkitnya. Saya menolak menjawab pertanyaannya. Saya tidak ingin lagi menginga...

Sengsara Membawa Nikmat

  Judul : Sengsara Membawa Nikmat Penulis : Tulis Sutan Sati Penerbit : Balai Pustaka Midun, lelaki muda baik budinya halus pekertinya disukai warga sekampung. Namun, hal ini menciptakan kebencian Kacak, kemanakan Tuanku Laras, kepada Midun. Segala cara dilakukan Kacak untuk menjebak Midun. Hingga akhirnya ia menyewa pembunuh untuk menghabisi nyawa Midun. Untungnya, Midun masih mampu menghindar dari tikaman pisau. Namun perkelahian itu menjebloskan Midun ke penjara. Membuatnya terpisah dari keluarganya. Penderitaan tak berhenti di situ, di penjara pun Midun menerima siksaan. Hingga masa ia bebas, ia memilih tak pulang ke Bukit Tinggi. Ia memilih mengadu nasib ke Betawi mengantar Halimah, perempuan yang ditolongnya pulang ke Bogor. Di tanah Jawa inilah lika liku hidup membawanya menjadi asisten demang dan pulang ke tanah Padang.  Judul buku ini cukup mencerminkan cerita lengkap sang tokoh utama. Kemalangan silih berganti menimpa sang tokoh utama. Namun berpegang pada keyakinan ...

Misteri Sepatu Menggantung di Kabel Listrik

Sumber : Athens News Sepasang sepatu menggantung lunglai di tiang listrik. kabel listrik tempatnya bergantung kokoh tak ingin melepaskan sepatu itu menghujam bumi. Pertama kali tiba di Athens, saya cukup heran dengan sepatu-sepatu yang tergantung di kabel-kabel listrik itu. Kutanya ke seorang teman bule tapi ia tak memberi jawaban yang memuaskan. Kupikir sepatu-sepatu itu dilempar begitu saja karena sudah dirusak atau tidak dipakai. Atau asumsiku yang lain adalah sepatu itu milih olahragawan yang berhenti dari profesi dan memilh menggantung sepatu. seperti pemain sepakbola. Tapi sepertinya asumsi olahragawan itu tidak benar, karena sepatu-sepatu yang menggantung di tiang listrik cukup mudah ditemukan. Jalan-jalanlah di seputaran Athens dan kau akan mendapati sepatu-sepatu menggantung di tiang listrik.  Uniknya sepatu yang digantung itu hanyalah sepatu-sepatu kets. Fenomena ini disebut Shoefiti dan terjadi diberbagai tempat di Amerika. Nyatanya bukan hanya saya saja yang pen...