Skip to main content

Tetap Di Sana

Aku menyukainya. Meski kadang ia membuatku sedih tanpa pernah mampu aku jelaskan padanya.Aku berhasil menempatkannya di sana.Berada di sana dan leluasa melihatnya meski ia tak mampu melihatku. Rasa-rasanya mengamati sosoknya dari kaca tembus pandang.Sedang dia tak mampu melihatku. Kupikir itu cukup adil buat kami. Aku mampu mengamatinya tanpa perlu ikut terlibat dalam lingkarannya. Selalu tak mampu aku menahan hasratku jika aku masuk dalam lingkarannya.Serupa lingkaran merlin yang mampu menyedot semua perhatianku.Tak mampu bergerak dan melawan.

Ia pun tampaknya tak keberatan dengan itu. Tak ada introgasi lebih lanjut dan desakan parah. Tak ada tanya serupa keinginan. untuk mencari tahu alasan. Apakah ia paham atau tidak,aku tak pernah tahu. Biarlah kami memendam alasan alasan itu dalam hati.

Menjadi serupa kelebat adalah yang ingin aku lakukan.Meski kadang aku sakaw oleh rindu untuk melihatnya. Setidaknya mengintip dari kaca kecil tembus pandang itu. Tak perlulah ia tahu serupa apa hati ini. Memandangnya dari jauh saja serupa penawar hati. Karena semua verbal telah menjadi serupa basa basi dan sekedar bertukar sapa.

Aku ingin dia tetap di sana. Di dinding tak tembus itu. Biarkan aku memandangmu dan tak perlu kau memandangku.Begitulah dunia yang kita jejaki semestinya.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pada Sebuah Beranda

Siapa yang tak mengenal bondan winarno. Presenter pembawa acara kuliner di televisi. Mempopulerkan istilah “Mak Nyus” untuk tiap komentar enak tentang makanan yang dimakannya. Tapi hanya sedikit yang tahu bahwa ia adalah seorang wartawan senior yang telah malang melintang di dunia jurnalisitik. Memiliki segudang pengalaman liputan. Bahkan pernah membuat salah satu laporan investigasi yang mengungkap sebuah kasus. Namun tak hanya sisi jurnalistik, Bondan Winarno pun seorang penulis sastra yang cukup ciamik. Beberapa waktu lalu seorang teman mengirimkan fotokopian kumpulan cerpen Bondan Winarno yang berjudul “Pada Sebuah Beranda”. Buku ini sudah lama aku cari di toko-toko buku. Namun tak kunjung aku temukan. Hingga seorang teman berbaik hati mengirimkan fotokopiannya yang bersumber di perpustakaan kotanya. Ada 25 cerpen yang dimuat dalam buku tersebut. Pada Sebuah Beranda ini diterbitkan oleh Bondan Winarno sebagai kado ulang tahun untuk dirinya sendiri yang dalam istilahnya “Celebrat

Misteri Sepatu Menggantung di Kabel Listrik

Sumber : Athens News Sepasang sepatu menggantung lunglai di tiang listrik. kabel listrik tempatnya bergantung kokoh tak ingin melepaskan sepatu itu menghujam bumi. Pertama kali tiba di Athens, saya cukup heran dengan sepatu-sepatu yang tergantung di kabel-kabel listrik itu. Kutanya ke seorang teman bule tapi ia tak memberi jawaban yang memuaskan. Kupikir sepatu-sepatu itu dilempar begitu saja karena sudah dirusak atau tidak dipakai. Atau asumsiku yang lain adalah sepatu itu milih olahragawan yang berhenti dari profesi dan memilh menggantung sepatu. seperti pemain sepakbola. Tapi sepertinya asumsi olahragawan itu tidak benar, karena sepatu-sepatu yang menggantung di tiang listrik cukup mudah ditemukan. Jalan-jalanlah di seputaran Athens dan kau akan mendapati sepatu-sepatu menggantung di tiang listrik.  Uniknya sepatu yang digantung itu hanyalah sepatu-sepatu kets. Fenomena ini disebut Shoefiti dan terjadi diberbagai tempat di Amerika. Nyatanya bukan hanya saya saja yang penasar

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan