Skip to main content

Tentang Kepergian, Ara

Aku tak tahu harus memulai dengan kalimat apa menjelaskan padamu tentang kepergian. Pergi berarti sesuatu atau seseorang yang selama ini di dekatmu atau kamu miliki menjauh darimu, berjarak darimu pada selang beberapa waktu atau bisa jadi selamanya dalam definisi waktu manusia. Ia bisa jadi hilang. Tak lagi mampu kamu inderai oleh tubuhmu. Yang kamu punya hanyalah larik-larik kenangan yang membekas di neuron-neuronmu. Beberapa selalu kamu ingat, beberapa masih kamu ingat, beberapa lagi mulai samar, dan beberapa lagi terlupakan.

Kemarin, ayahmu mengabariku tentang tasnya yang tercecer. Banyak barang penting di sana. Sesaat rasanya ketika mendengar kabar itu kupikir dunia begitu kejam. Aku mencari segala kemungkinan untuk itu. Menyesalkan dan setengah mengutuk. Mengapa,mengapa, mengapa? Aku menangis. Rasanya perih mendengar kabar itu. Semua hal penting ada di sana. Aku memarahinya dan baru kali ini dia tidak membantah itu.

Hari ini, aku mendengar kabar bahwa seorang kakak angkatan di Kosmik yang juga adalah teman baik ayahmu meninggal. Tiba-tiba dan mengejutkan.Aku tak pernah bertemu dengannya, tapi ayahmu banyak bercerita tentangnya. Ia adalah salah satu anggota Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Kosmik) Unhas yang terbaik. Usianya sepantaran ayahmu. Masih muda, masih banyak hal yang mengagumkan yang bisa ia lakukan. Tapi hitungan Tuhan tak pernah sama dengan hitungan manusia. Dan Tuhan-lah yang memiliki semuanya. 

Tuhan sedang berbicara dengan bahasa-Nya. Ia memantik sadar akan sebuah kepergian. Akan sebuah kehilangan. Ketika aku mengumpat untuk kehilangan akan barang-barang itu, seketika Ia berbicara dengan kuasa-Nya. Mengambil sesuatu yang begitu menyakitkan ketika hilang dan takkan kembali. Orang-orang terdekat yang dicintai dan dikasihi. 

Aku bersyukur "hanya" barang-barang itu yang hilang. Sesuatu yang tak begitu penting kurasa dibanding ketika orang-orang yang kamu kasihi pergi meninggalkanmu untuk selamanya. Dunia ini fana, Ara. Kamu datang ke sini melalui rahim yang gelap hanya bersama kulit dan tubuhmu yang begitu rapuh. Kita tak membawa apapun saat datang ke dunia. Ketika pulang pun hanya jiwa yang Tuhan pinjam ke kita yang akan pulang. Semua milik Tuhan dan pada-Nya segala sesuatu kembali.

Inilah bahasa Tuhan kepada manusia. Agar kita menjadi taqwa, bersyukur saat memiliki, dan ikhlas saat kehilangan. Tuhan tak pernah memberikan beban berat kepada manusia jika ia tak mampu memikulnya. Tak pernah benar-benar mudah memang untuk mempraktekkannya. Tapi ingatlah, Tuhan tidak pernah meninggalkanmu. Ia selalu ada memberikanmu harapan. Doa menjadi tangan yang mengetuk pintu-Nya. Menjadi tangan untuk meraih-Nya. Ketika kamu tak punya lagi kekuatan, serahkan semua kepada-Nya. Agungkan Dia, karena Ia adalah pemilik Semesta. 

Hanya ketika seseorang kehilangan sesuatu mereka sadar bahwa sesuatu itu begitu penting.Yang kamu punya adalah takaran waktu yang misterius dari Tuhan. Waktu yang tak pernah kamu tahu kapan habisnya. Belajarlah bersyukur dan ikhlas, Ara.

Comments

  1. Entah kenapa bunda kita berfikir sama tante kemarin menulis ttg kepergian d diary tante

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pada Sebuah Beranda

Siapa yang tak mengenal bondan winarno. Presenter pembawa acara kuliner di televisi. Mempopulerkan istilah “Mak Nyus” untuk tiap komentar enak tentang makanan yang dimakannya. Tapi hanya sedikit yang tahu bahwa ia adalah seorang wartawan senior yang telah malang melintang di dunia jurnalisitik. Memiliki segudang pengalaman liputan. Bahkan pernah membuat salah satu laporan investigasi yang mengungkap sebuah kasus. Namun tak hanya sisi jurnalistik, Bondan Winarno pun seorang penulis sastra yang cukup ciamik. Beberapa waktu lalu seorang teman mengirimkan fotokopian kumpulan cerpen Bondan Winarno yang berjudul “Pada Sebuah Beranda”. Buku ini sudah lama aku cari di toko-toko buku. Namun tak kunjung aku temukan. Hingga seorang teman berbaik hati mengirimkan fotokopiannya yang bersumber di perpustakaan kotanya. Ada 25 cerpen yang dimuat dalam buku tersebut. Pada Sebuah Beranda ini diterbitkan oleh Bondan Winarno sebagai kado ulang tahun untuk dirinya sendiri yang dalam istilahnya “Celebrat

Misteri Sepatu Menggantung di Kabel Listrik

Sumber : Athens News Sepasang sepatu menggantung lunglai di tiang listrik. kabel listrik tempatnya bergantung kokoh tak ingin melepaskan sepatu itu menghujam bumi. Pertama kali tiba di Athens, saya cukup heran dengan sepatu-sepatu yang tergantung di kabel-kabel listrik itu. Kutanya ke seorang teman bule tapi ia tak memberi jawaban yang memuaskan. Kupikir sepatu-sepatu itu dilempar begitu saja karena sudah dirusak atau tidak dipakai. Atau asumsiku yang lain adalah sepatu itu milih olahragawan yang berhenti dari profesi dan memilh menggantung sepatu. seperti pemain sepakbola. Tapi sepertinya asumsi olahragawan itu tidak benar, karena sepatu-sepatu yang menggantung di tiang listrik cukup mudah ditemukan. Jalan-jalanlah di seputaran Athens dan kau akan mendapati sepatu-sepatu menggantung di tiang listrik.  Uniknya sepatu yang digantung itu hanyalah sepatu-sepatu kets. Fenomena ini disebut Shoefiti dan terjadi diberbagai tempat di Amerika. Nyatanya bukan hanya saya saja yang penasar

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan