Skip to main content

Dunia Anna, Sebuah Pengandaian Tentang Bumi di Masa Depan


Manusia menyadari dunia makin memanas hari demi hari. Es-es di kutub mencair. Namun pola hidup dan konsumsi kita tak pernah benar-benar melakukan tindakan serius untuk mencegah suhu semakin memanas dan es tetap membeku.

Berapa emisi karbon yang kita produksi tiap hari? Berapa banyak plastik, kertas yang kita pakai? Berapa tumpuk sampah yang kita hasilkan tiap hari?
Pola hidup manusia secara langsung memberi kontribusi pada upaya "pembunuhan" planet bumi di masa depan.

Jostein Gaarder mengajak pembaca berada pada posisi manusia masa depan yang mendapat warisan planet bumi dari kita, manusia masa kini, yang tak lagi biru. Suhunya memanas. Flora dan fauna yang punah. Hutan hijau menjadi gurun-gurun pasir gersang. Seorang anak bernama Nova begitu marah pada nenek buyutnya dan manusia pada masa silam yang mewariskan alam raya yang begitu gersang kepada mereka, anak cucunya. Yang mereka miliki hanyalah citra-citra hologram tentang indahnya bumi dan keanekaragaman hayati yang memanjakan mata namun semu. Ia meminta pada nenek buyutnya untuk mengembalikan lagi tumbuhan dan hewan serta alam raya subur. Hingga kemudian sang nenek buyut mengabulkan permintaan itu dan memberi kesempatan kedua pada manusia di masa silam.

Adalah Anna yang menjadi nenek buyut tersebut yang kemudian juga menjadi manusia yang sadar bahwa kesempatan kedua untuk menyelamatkan bumi adalah tanggung jawab dan kewajiban manusia masa kini. Manusia yang tidak hanya memikirkan tentang hidup hari ini tapi juga memikirkan bagaimana hidup generasi mendatang.

Buku ini memberi pesan bahwa bencana iklim nyata adanya dan layaknya bom waktu tinggal menunggu detik untuk meledak. Buku ini mengajak pembaca untuk merenung sejenak jikalau penyesalan itu datang belakangan.

Setelah membaca buku ini saya tiba-tiba mengingat sebuah kutipan dari Mahatma Ghandi , alam raya menyediakan kebutuhan umat manusia, namun tidak akan cukup untuk satu manusia serakah.

Dan kita-kitalah manusia serakah itu.

Bogor, 12 Oktober 2015

Comments

  1. Selalu suka novel-novelnya Gaarder, dan yg ini favorit saya setelah Sophie.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

S2 : Belum Minat Tuh

Berfoto bersama penerima beasiswa Ford (Semoga terciprat aura Beasiswanya. Amin) Bagi sebagian orang melanjutkan studi hingga ketingkat Strata Dua atau Master menjadi sebuah kewajiban. Bagiku? Hmmm…..Mungkin belum. Seminggu lalu saya dan suami mengunjungi pameran pendidikan Amerika yang diselenggarakan Indonesian Interational Education Foundation di gedung Smesco. Terdapat lebih 20an stand universitas dari segala penjuru Amerika. Ada Ohio University, Iowa University, dan banyak macam lagi yang namanya baru aku dengar. Tapi yang pastinya tidak ada Harvard University dan Massachusetts Institute Techonology (MIT) tempat kuliah orang-orang cerdas di dunia. Mereka menyediakan liflet dan brosur informasi tentang universitas mereka. Selain itu ada pula bule-bule yang menjadi tempat bertanya tentang tata cara untuk mendaftar dan bergabung di universitas tersebut. Jika melanjutkan S2 saya pun belum tahu harus mengambil studi apa. Program studi S1 saya adalah jurnalistik. Mungkin ini bisa m...

Spring Forward, Fall Back

Pagi ini saya terbangun dengan jendela kamar yang mulai meremang. Cahaya putih menerobos masuk di sela-sela tirai jendela. Pagi datang seperti biasa. Selalu mengejutkan. Untuk bangun subuh rasanya selalu mustahil. Jam 5 masih dini hari. Sedangkan jam delapan menurut otakku sudah begitu siang. Tapi sebenarnya jam delapan itu masih serupa jam enam pagi di sini. Matahari masih terlalu malas untuk bersinar. Jejak malam masih betah di kaki langit. Refleks saya mengintip ke arah jam weker di atas meja. Seakan berkata padaku ini sudah pukul 9. Ayo bangun!!! Masih pagi dan masih normal, pikirku. Kuintip handphoneku. Angka 08.00 tertera jelas. Handphone ini perlu direset ulang, pikirku. Blackberryku memang sering hang. Apalagi ketika sedang lowbat. Jam pasir penanda loadingnya kadang muncul jahil dan menyeringai menjengkelkan. Perlu meresetnya ulang jika harus digunakan normal. Tapi pagi ini jam pasirnya tidak hadie. Pertanda handphoneku tidak perlu direset dan berada dalam kondisi normal. Ta...

Di Jendela Itu

Pesawat yang akan menerbangkanku ke Makassar mulai boarding. Aku mulai mengemasi travel bagku. "Aku check in dulu y" kataku padanya. "Sehabis check in kembali lagi ke sini y" katanya dengan wajah memelas. Aku tersenyum mengangguk. --- Aku sangat tahu hari ini. Hari terakhirku bersamanya. Setelah beberapa hari yang kami lalu begitu menyenangkan. Menghabiskan senja di bibir pantai. Membiarkan debur ombak menjilati kaki kami yang telanjang. Kami adalah serupa alien yang terdampar di bumi. Berbagi cinta. Meniadakan posisi kami pada hubungan-hubungan yang lain. Kami adalah sepasang manusia yang tepat, di tempat yang tepat, namun sayang waktu yang berdiri diantara kami lah yang salah. Kami harus kembali pada dunia sosial kami. Alien-alien yang harus kembali ke planetnya masing-masing. Kembali pada hari biasa dan kehidupan biasa. Aku sangat paham setelah aku meninggalkan pulau ini semua akan menjadi kenangan. Meski kami berjanji kelak akan datang dan nengunjunginya, aku sa...