Skip to main content

Paper Towns : Kota Kertas Margo




Adalah Margo Roth Spiegelmen yang menjadi pujaan hati Quentin Jacobsen. Berdua hidup bertetangga di Jefferson Park, Orlando,  sejak usia mereka 2 tahun hingga menginjak tahun akhir di SMA. Keduanya berteman cukup dekat pada usia 10 tahun hingga mereka menemukan sebuah tubuh yang menjadikan mereka berjarak. 

Quentin yang lebih akrab dipanggil Q hanya mampu menatap dari jauh perempuan paling keren dengan ide-ide dan petualangan paling ajaib yang pernah ditemuinya itu. Melihatnya dari jendela kamar, mengintipnya dari balik pintu loker sekolah. Hingga suatu malam, Margo membangunkannya dan mengajaknya bertualang mengelilingi pemukiman mereka. Membobol masuk ke rumah orang, menyiapkan perangkap ikan lele, membantunya membalas dendam, hingga mengarungi parit di Sea World. 

Q yakin malam yang memacu adrenalin  tersebut mampu mengubah pagi mereka di sekolah. Sayangnya Margo tak pernah hadir di sekolah sejak  pada pagi yang memisahkan mereka. Tak ada yang mengkhawatirkannya. Margo telah melanglang buana sebelumnya. Ikut sirkus keliling di Misissipi. Ia akan kembali. Namun hingga berhari-hari ia tak kembali. Quentin mengikuti petunjuk-petunjuk yang ditinggalkan Margo untuknya. Membawa ke sebuah perjalanan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.

***

John Green, pengarang best seller The Fault in Our Stars, meramu buku Paper Towns dengan gaya anak SMA yang penuh dengan upaya pencarian jati diri. Karakter Margo yang liar, bebas, namun dipuja, Quentin, boy next door dengan hidup yang teratur dan patuh aturan.

Meski dikemas dengan latar kehidupan anak SMA, cerita buku ini cukup berat dengan metafora-metafora kehidupan yang menjadi dialog antara Margo dan Quentin.  Jika buku ini dimasukkan dalam kategori misteri, saya cukup bosan membacanya. Terlebih pada bagian-bagian pertengahan buku yang terasa sangat lambat. Bagian awal cerita cukup menjanjikan dengan petualang Margo dan Quentin di malam hari. Namun ketika memasuki bagian Quentin mencari petunjuk-petunjuk soal Margo terasa membosankan. Dan bagian itu menghabiskan 2/3 dari ketebalan buku. 

Metafora-metafora kehidupan dari puisi-puisi pun terasa cukup menjenuhkan buat saya. Mungkin karena selama ini saya selalu mengidentifikasi misteri serupa cerita Sherlock Holmes atau buku karangan Agatha Christie. Sehingga pencarian Margo yang dilakukan Q terasa hambar. Pada 1/3 bagian terakhir baru saya menemukan keseruan ketika mereka telah menemukan petunjuk keberadaan Margo dan berkendara selama sehari semalam. 

Tapi kemudian keseruannya pun harus hilang ketika dua tokoh ini kembali melakukan dialog-dialog dramatis tentang hidup. Yang mau saya bilang adalah John Green berusaha membuatnya menjadi sangat rumit untuk ukuran novel remaja. Paper Towns ini adalah buku pertama John Green  yang saya baca, jadi saya belum tahu persis bagaimana pola signature tulisannya. Tapi saya sudah menonton The fault in Our Stars, dan dari filmnya sih ceritanya cukup lumayan. Tapi kan selalu ada kata bijak dont judge the novel from its movie, jadi saya tidak akan mengomentari buku The Fault In Our Stars.

Eh, film Paper Towns ini lagi tayang di bioskop. Sebenarnya saya tertarik nonton sih. Cuman karena ending bukunya flat banget dan ga happy jadinya saya nunggu bajakannya aja keluar di lapak DVD. Hehehe. 

Selamat Membaca.

Bogor, 10 September 2015

Comments

Popular posts from this blog

tentang buku

"...u can buy many book,but u can't buy a knowledge" 081383118xxx pesan itu sampai ke ponselku beberapa saat setelah aku mengeluh pada seseorang tentang buku "detik-detik menentukan" BJ.Habibie yang tak berhasil aku peroleh dari peluncuran bukunya di hotel clarion hari ini. iya mungkin benar...aku terlalu mengharapkan buku yang ditulis mantan presiden ketiga ini.padahal ku punya begitu banyak buku yang bertumpuk di kamar. Belum pernah aku jamah sedikit pun. aku tak tahu beberapa hari terakhir ini aku begitu jauh dari buku. jauh dari para pengarang-pengarang besar dengan segala masterpiece-nya. akuy begitu malas membaca. malas membuka tiap lembar buku tebal itu dan memplototi huruf-hurufnya yang kecil. "tahu tidak...buku bisa membawa kesuatu tempat tanpa kamu harus bergesr se-inci pun" kata-kata itu selalu keluar jka aku mengeluh sedang malas baca buku... entahlah aku begit malas mengetahui tiap isinya. aku hanya terpesona pada banyak tumpukannya di kam...

Dapat Kiriman Moneygram

Ini adalah pengalaman pertama saya mendapatkan kiriman uang dari luar negeri. Sedikit norak dan kampungan sih. Tapi tak ada salahnya membaginya di sini. Setelah saya googling di internet kurang yang mau berbagi pengalaman tentang transferan luar negerinya. Nah, karena Kak Yusran yang bersekolah di Amerika berniat mengirimi saya uang buat tiket ke Bau-Bau, maka dia akhirnya mengirimkan uang. Dalam bentuk dollar lewat jasa layanan Moneygram yang banyak tersedia di supermarket di Amerika. Moneygram sama seperti Western Union. Tapi Western Union lebih merakyat. Mereka bekerja sama dengan kantor Pegadaian dan kantor pos. Sehingga di kampungku pun ada fasilitas Western Union (tapi saya belum tahu berfungsi atau tidak). Moneygram sendiri setahu saya hanya bekerja sama dengan beberapa bank. Saya belum pernah tahu kalo Moneygram juga sudah bekerja sama dengan kantor pos, meskipun informasi dari teman-teman di twitter mengatakan demikian. Jasa layanan pengiriman uang macam Moneygram dan Western ...

Norwegian Wood

Cukup melelahkan membaca Norwegian Wood karya Haruki Murakami. Buku yang telah kulihat wujudnya sejak tahun 2004 baru aku baca di tahun 2013. Saya tidak terlalu akrab dengan karya-karya Haruki Murakami. Buku Norwegian Wood ini adalah karyanya yang pertama saya baca.  Mengapa saya berkata buku ini cukup melelahkan? Karena buku ini bercerita tentang kematian dan sangkut pautnya dengan orang-orang yang ditinggalkan. Bukan kematian yang disebabkan sakit atau tua. Tapi kematian orang-orang muda yang memilih bunuh diri.  Bersetting tahun 1970an di Jepang, sang tokoh utama, Watanabe menceritakan kembali kisahnya. Ia bertemu kembali kekasih almarhum temannya yang memilih mati bunuh diri di usia 17 tahun. Sekalipun tidak akrab mereka selalu bersama. Berkeliling mengitari Tokyo tanpa tujuan. Hingga sang perempuan, Naoko masuk panti rehabilitasi gangguan jiwa. Ia lantas bertemu Midori, perempuan nyentrik yang selalu berkata seenak dia. Perempuan yang selalu jujur mengatakan apapun yang i...