Skip to main content

Kopi Sumatera di Amerika



Judul : Kopi Sumatera di Amerika
Penulis : Yusran Darmawan
Penerbit : Nourabooks
Harga : Rp. 51.500

Mereview Kopi Sumatera di Amerika sedikit agak beda dengan mereview buku yang pernah saya baca. Saya mengenal dengan sangat baik penulisnya, kisah-kisah yang diceritakan dalam buku itu pun sedikit banyak adalah pengalaman saya juga. Jadi jikalau review sebelumnya yang saya tulis subjektif maka review kali ini akan sangat subjektif. Hahahaha. 

Awalnya saya tidak berniat mereview buku ini, tapi dikarenakan saya masih bergabung pada proyek membaca dan mereview yang diadakan beberapa kawan, maka saya wajib mereview buku ini, biar tidak dikatakan HOAX serta menambah daftar buku yang saya baca bulan ini. Tanpa basa basi panjang lagi, mari simak cuap-cuap saja mengenai buku yang ditulis suami saya yang tercinta ini*dicipokbuku*. 

Meski penulis telah menyusun beberapa buku, tapi buku Kopi Sumatera di Amerika ini adalah buku pertama yang saya baca. Buku-buku sebelumnya bertema sosial kultural yang tidak menarik minat saya. Saya tipe pembaca ringan yang tidak ingin berpikir jika membaca sesuatu. Saya tidak ingin sehabis membaca kepala saya terasa sakit dengan banyaknya tema-tema berat yang memusingkan kepala saya. Beberapa kali saya mencoba membaca buku-buku berat, tapi kenyataannya saya hanyalah sekedar gengsi dan menentengnya kemana-mana biar dikira sok pintar padahal saya tidak pernah bergeser dari halaman pertama dan kemudian meninggalkannya berdebu entah di rak buku mana. 

Kopi Sumatera di Amerika adalah kumpulan tulisan penulis selama dua tahun berada di Amerika yang dia publish di sosial blog. Penulis membawa saya melihat potret Amerika yang berbeda. Amerika yang tidak ditemukan di film-film Hollywood dengan cowok-cowok bule yang ganteng dan hot (kenyataannya hampir setahun di Athens hanya satu cowok bule yang cakepnya pake banget). Nah, Buku ini serupa pensieve atau mesin waktu  buat saya untuk kembali mengingat beberapa kenangan akan Athens yang sempat kami lalu bersama. 

Ada ikatan psikologis antara saya dan cerita dalam buku ini. Serasa membaca buku harian dan kembali merasakan dingin salju serta kehangatan ibu tua yang dengan baik hati menawarkan mobilnya mengantar  saya dan Ara ke Riverpark ditengah angin kencang dan salju yang dingin. Merefresh ingatan saya akan baby story time yang tiap minggu saya hadiri bersama Ara. Sikap hangat para warga Athens terhadap masyarakat international seperti saya. Mencoba memahami keterbatasan saya dalam berbahasa. 

Kisah-kisah yang dituturkan seputar kehidupan sehari-hari penulis. Tapi dengan gaya khasnya penulis menyajikan refleksi-refleksi terhadap apa yang disaksikannya. Saya menemukan banyak teori-teori sosial di buku ini, tapi kemudian tidak membuat saya mengerutkan kening dan lost in translation. Malah dengan refleksi-refleksi tersebut penulis menyampaikan fenomena sosial dengan gaya ringan dan mudah saya mengerti. Menurut penulis sih, gaya menulisnya ini ia sebut gaya zoom in, zoom out. Mungkin bisa diartikan seperti lagunya Sherina, lihat lebih dekat sambil pegang kamera trus motret. Ups, mulai ngelantur. 

Nah, bagian yang cukup mengganggu saya sebagai pembaca  buku ini dan juga banyak tahu soal penulis adalah pengulangan-pengulangan kalimat sering terjadi antara satu tulisan dengan tulisan yang lain.  Mungkin bisa dipahami bahwa kumpulan tulisan ini adalah awalnya kisah-kisah terpisah yang berdiri sendiri kemudian dibukukan. Ekspetasi saya sih sebenarnya buku ini bentuknya kronologis, tapi ternyata dipisah dalam bab-bab dengan tema tertentu. Nda pha-pha juga sih. Hehehe. Bagian presiden SBY vs Presiden Obama, saya berharapnya sih pengalaman penulis pas ketemu Obama di OU ( woi, Dwi, emangnya kamu editor #eh #ups # maaplewatbatas). 


Anyway, buku ini asyik dibaca dan ringan. Dibaca sambil lalu pun bisa. Etta saya pun tertarik baca. Mungkin karena yang nulis menantunya kali ya. Nah, buku ini saya kasi rating 4,5. Soalnya ada namaku di dalamnya dan ada foto Ara. Wkwkwkwkwk. I told u before, review ini bakal sangat amat subjektif. Jangan lupa beli ya. Biar royaltinya bisa bantu Ara masuk playgroup. 

Good job! Well Done, Yusran Darmawan.*Cipok*. Bukuku wajib ditandatangani loh ya. 

Selamat Membaca ;) 

Bone, 5 Maret 2014

Comments

Popular posts from this blog

Seketika Ke Sukabumi

twit ekspektasi vs twit realita Setelah kelelahan karena hampir seharian di Mal sehabis nonton Dr.Dolittle pada hari rabu, dengan santai saya mencuitkan kalimat di Twitter "karena udah ke mal hari Rabu. Weekend nanti kita berenang saja di kolam dekat rumah”. Sebuah perencanaan akhir pekan yang sehat dan tidak butuh banyak biaya. Saya sudah membayangkan setelah berenang saya melakukan ritual rebahan depan TV yang menayangkan serial Korea sambil tangan skrol-skrol gawai membaca utasan cerita yang ga ada manfaatnya.  Sebuah perencanaan unfaedah yang menggiurkan. Tiba-tiba Kamis malam suami ngajakin ke Taman Safari liat gajah pas akhir pekan. Mau ngasih liat ke Anna yang udah mulai kegirangan liat binatang-binatang aneka rupa. Terlebih lagi sehari sebelumnya kami menonton film Dr.Dolittle yang bercerita tentang dokter yang bisa memahami bahasa hewan. Sekalian  nginap di hotel berfasilitas kolam air panas. Hmmm. Saya agak malas sih. Membayangkan Taman Safari yan...

Pride and Prejudice : I’m Bewitched

Tak pernah kusangka saya akan jatuh cinta pada film Pride and Prejudice. Waktu kuliah dan masa-masa belum punya anak, saya tidak pernah tergerak untuk menonton film ini. Prasangka saya terhadap film ini sudah tumbuh sejak memiliki versi Film India di tahun sebelumnya. Mungkin karena hal itu saya kemudian tidak tertarik menontonnya.   Namun karena episode-episode drama korea yang aku nonton udah habis, ditambah kebosanan pada topik medsos yang masih heboh dengan pilpres, dan juga pengaruh hari valentine yang menyebabkan algoritma lapak streaming merekomendasi film-film romantis menjadi sebab akhirnya saya menonton film ini Semuanya berawal dari ketidaksengajaan menonton Atonement yang diperankan oleh Kiera Knightley. Film ini cukup bagus, meski di tengah jalan saya udah kena spoiler via wikipedia dan rada senewen dengan endingnya. Tapi kecantikan Kiera Knightley tetap mampu membuat saya menyelesaikan film itu sampai detik terakhir. Saking senewennya dengan ending Atonement, sa...

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan ...