Skip to main content

Secarik Kertas Kenanganmu

Hanya karena mencari foto lama akhirnya aku membuka agenda itu. Menemukan secarik kertas bertulis tanganmu. Aku masih menyimpannya. Masihkah kamu menyimpan kertas milikku? Sangat ingin kuacuhkan kertas itu. Tapi tanganku tergerak untuk meraihnya. Membaca 10 baris tulisanmu. Terpoint-point serupa daftar belanja. Sederhana tapi sanggup membuatku berucap rindu padamu. Ah, rindu rasanya telah begitu basi buatmu. Segera kusisipkan kertas itu kembali ketempatnya. Tersembunyi. Agar tak bertumbuh rindu ini.

Perlahan kubuka lembar agendaku. Tak ada lagi tulisan tanganmu di sana. Namun kudapati berlembar-lembar tulisanku berisikan percakapan denganmu. Itu adalah pesan text yang pernah kamu kirimkan kepadaku. Dulu sekali. Ketika kita masih meluangkan waktu di kala tengah malam untuk saling berkirim pesan. Sekalipun tak gratis. Ngobrol segala hal. Tanpa sungkan tanpa keterjagaan. Seperti teman akrab yang ngobrol tanpa batas yang membentang. Berhenti kala kita terjatuh dalam ketaksadaran kantuk yang melenakan mata. Tak jarang aku bermimpi masih mengirimi pesan kala tertidur. Pesan text itu memenuhi handphone lamaku. Dulu selalu kubuka ketika aku rindu padamu. Menguji hati apakah gairah membacanya sama ketika aku melakukan percakapan sms denganmu dulu. Beberapa menjadi sms favoritku. Tak juga kuhapus. Hingga ia memenuhi folder inboxku. Lalu kutulis di atas kertas semua smsmu. Satu hal yang mungkin kamu tidak tahu. Pesan itu hingga berlembar-lembar. Aku tahu aku akan lupa nanti. Karenanya kutulis ulang semuanya. Kusisipkan catatan kecil kapan kita membicarakannya dan mengapa kita membicarakan topik itu. Aku ingin membekukan percakapan itu disana. Agar kelak aku mampu menemukan sosokmu yang menyenangkan itu.

Sayangnya, waktu mengubah banyak hal. Dia mengubahmu. Mengubah pola percakapan kita. Mengubah kamu yang aku kenal. Kamu saat ini adalah kamu yang tak aku kenal. Aku berteman dengan sosokmu yang dulu. Dulu sekali. Aku ingin lupa akan dirimu yang sekarang. Sayangnya aku memilih tulisan yang membekukanmu di sana. Tulisan yang mampu melontarku jauh ke masa lalu menemukan dirimu yang aku rindukan. Dirimu yang dulu. Bukan dirimu yang sekarang. Rasanya ingin kubuang semua kertas itu agar rasa ini pun hilang bersamanya. Tapi tulisan bagiku adalah jejak masa silam yang pantang untuk aku buang. Dan kini aku menemukan diriku berharap lupa dengan segala instrumen yang mampu membuatku selalu mengingat. Sedangkan dirimu seolah tak pernah tahu bahwa aku ada. Seolah eksistensiku memudar di duniamu.

Aku masih selalu berpikir mengapa Tuhan menautkan jalan hidup kita. Kamu datang dan tiba-tiba pergi sekenamu. Meninggalkan hati yang serupa cermin. Pecah berserakan. Dan kamu masih ada disana. Mengapa sakit harus aku pelajari dari dirimu yang meninggalkan jejak tanpa pernah berucap selamat tinggal. Kamu selalu berkata aku kuat. Tapi sekuat apapun seseorang, tak harus kamu tinggalkan dengan luka yang menyakitkan. Kamu bukanlah kesatria. Bukan pula pangeran yang menyelamatkan putri. Aku harus menginjeksi pikiranku bahwa hadirmu adalah jalan Tuhan untuk mengenalkan cinta yang sempurna bukanlah darimu. Kamu datang dengan alasan yang baik. Dan pergi dengan alasan yang baik pula. Kamu mengenalkan padaku tentang sakit dan bagaimana harus kuat menghadapinya. Terima kasih untuk itu.

Kertas-kertas itu masih terjilid rapi di agendaku. Tak pernah kuasa aku membacanya kembali hingga tuntas. Aku tak ingin rindu itu mengalirkan sungai bening di jejak wajahku. Rindu yang menjadi satu-satu hal yang mampu aku lakukan karena dirimu. Meski aku tahu rindu sudah begitu terlambat untukmu.

Aku yakin di masa depan aku akan membuangnya. Seperti rasa yang perlahan mengikis untukmu. Di masa itu kamu hanyalah serupa debu yang beterbangan dan tak lagi memiliki arti. Tapi untuk saat ini, biarkan aku rindu. Kelak itu mungkin masih lama. Aku selalu tahu bahwa rindu ini hanyalah milik hati ini. Tak pernah debarnya sama seperti rindu milikmu. Biar kuresapi sakitnya. Biar kesesaki dadaku. Biar ia membelit dengan siksanya. Hingga aku melepasmu dengan indah.

Rindu ini begitu mandiri. Ia sadar sosokmu tak pernah tahu seberapa sesak ia ingin meledakkan rasa. Ia pun tahu tulisan ini tak pernah akan kamu baca. Ia ingin menggenang disini. Hingga meresap tertelan waktu. Terurai menjadi partikel kecil yang mengambang di semesta raya.(*)

25 may 2012, kala pagi dan sedang melankolis. Trust me, ini cuma fiksi^^
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pada Sebuah Beranda

Siapa yang tak mengenal bondan winarno. Presenter pembawa acara kuliner di televisi. Mempopulerkan istilah “Mak Nyus” untuk tiap komentar enak tentang makanan yang dimakannya. Tapi hanya sedikit yang tahu bahwa ia adalah seorang wartawan senior yang telah malang melintang di dunia jurnalisitik. Memiliki segudang pengalaman liputan. Bahkan pernah membuat salah satu laporan investigasi yang mengungkap sebuah kasus. Namun tak hanya sisi jurnalistik, Bondan Winarno pun seorang penulis sastra yang cukup ciamik. Beberapa waktu lalu seorang teman mengirimkan fotokopian kumpulan cerpen Bondan Winarno yang berjudul “Pada Sebuah Beranda”. Buku ini sudah lama aku cari di toko-toko buku. Namun tak kunjung aku temukan. Hingga seorang teman berbaik hati mengirimkan fotokopiannya yang bersumber di perpustakaan kotanya. Ada 25 cerpen yang dimuat dalam buku tersebut. Pada Sebuah Beranda ini diterbitkan oleh Bondan Winarno sebagai kado ulang tahun untuk dirinya sendiri yang dalam istilahnya “Celebrat

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan

Misteri Sepatu Menggantung di Kabel Listrik

Sumber : Athens News Sepasang sepatu menggantung lunglai di tiang listrik. kabel listrik tempatnya bergantung kokoh tak ingin melepaskan sepatu itu menghujam bumi. Pertama kali tiba di Athens, saya cukup heran dengan sepatu-sepatu yang tergantung di kabel-kabel listrik itu. Kutanya ke seorang teman bule tapi ia tak memberi jawaban yang memuaskan. Kupikir sepatu-sepatu itu dilempar begitu saja karena sudah dirusak atau tidak dipakai. Atau asumsiku yang lain adalah sepatu itu milih olahragawan yang berhenti dari profesi dan memilh menggantung sepatu. seperti pemain sepakbola. Tapi sepertinya asumsi olahragawan itu tidak benar, karena sepatu-sepatu yang menggantung di tiang listrik cukup mudah ditemukan. Jalan-jalanlah di seputaran Athens dan kau akan mendapati sepatu-sepatu menggantung di tiang listrik.  Uniknya sepatu yang digantung itu hanyalah sepatu-sepatu kets. Fenomena ini disebut Shoefiti dan terjadi diberbagai tempat di Amerika. Nyatanya bukan hanya saya saja yang penasar