Skip to main content

Inilah Jakarta


Inilah Jakarta. Ibukota negara yang penuh sesak. Gedung yang menjulang dan berbatas langsung dengan slam area. Penuh dengan orang-orang sibuk yang bergegas. Ribuan kendaraan berlalu lalang. Di kota ini tempat semua jenis kendaraan berada. Bus kota, angkot, taksi, Bemo, Kareta api, Busway, pesawat, dan kapal. Mungkin hanya becak saja yang tak mampu kau dapati di sini. Ia telah dipunahkan secara paksa pada tahun 1980-an. Jakarta adalah satu-satunya kota yang melakukan pelarangan secara resmi terhadap becak. Alasan resminya antara lain kala itu ialah bahwa becak adalah "eksploitasi manusia atas manusia"(http://id.wikipedia.org/wiki/Becak).

Inilah Jakarta. Mungkin tempat yang menjadi mimpi tentang masa depan bagi kebanyakan manusia Indonesia. Jika ada American dream, maka di Indonesia bolehlah diistilahkan Jakarta Dream. Banyak orang mengadu nasib ke Jakarta dengan mimpi untuk penghidupan yang lebih baik. Waktu kecil saya pernah mendengar sebuah kalimat “Siapa suruh datang ke Jakarta”. Sebuah kalimat yang menegaskan bahwa Jakarta tak selamanya baik dan sesuai ekspetasimu.

Ketika saya melihat lampu-lampu gedung pencakar langitnya, saya teringat pada lagu yang dinyanyikan Titiek Puspa yang berjudul "Gang Kelinci". Tergelitik juga ingin mencari Gang Kelinci itu di mana.

Jakarta kotaku indah dan megah
disitulah aku dilahirkan
rumahku di salah satu gang
namanya gang kelinci

entah apa sampai namanya kelinci
mungkin dulu kerajaaan kelinci
karena manusia bertambah banyak
kasihan kelinci terdesak

sekarang rumahnya berjubel
ooo...padat penghuninya
anak anak segudang
duadak duduk kaya kelinci


Jakarta bagi saya adalah sebuah tempat asing. Penuh dengan sterotipe yang saya saksikan di televisi. Maaf saja, jika saya pun menganggap ibukota itu kejam. Sajian acara televise tentang Jakarta yang penuh dengan kriminalitas dan jahat pada pendatang menjadi sebuah ketakutan buatku. Ke kota ini hanya saya sekadar menemani suami dan berkunjung. Tidak lebih. Saya tak pernah berpikir untuk bekerja di kota sepadat ini. (Tapi kalo ada tawaran kerja mungkin akan saya pertimbangankan.xixixixi).

Tapi tak semua hal buruk di sini. Ada banyak museum yang perlu aku kunjungi. Ke kota tua Jakarta pun menjadi salah satu tempat yang harus aku datangi. Banyak hal-hal menarik selain mall di Jakarta. Tapi tetap saja saya merindukan rumahku ketika menjejakkan kaki di sini.


Ritme Jakarta terlalu cepat bagiku. Orang-orang harus berlari agar tak kena macet. Bergegas hanya untuk memburu bus kota atau berharap berada di paling depan antrian Busway. Terjebak macet hingga 2 jam. Melewatkan delapan jam di kantor dan selanjutnya menyediakan 3 jam untuk berada di jalan. Pulang ke rumah, kelelahan, tertidur, dan terbangun pagi hari untuk melakukan rutinitas yang sama. Saya mungkin yang terlalu manja dengan rutinitas Makassar yang terkesan begitu lambat dibanding kota ini.


Saya salut pada penulis-penulis Jakarta yang kerjanya kantoran yang masih tetap melahirkan karya dalam kondisi yang serba cepat ini. Atau mungkin juga para penulis itu lebih memilih berkontemplasi tanpa terganggu dengan jadwal kantor.

Inilah Jakarta. Sebuah kota padat. Tiap orang bergegas. Aku tiba-tiba rindu rumah.

071010-Jakpus

Comments

Popular posts from this blog

Seketika Ke Sukabumi

twit ekspektasi vs twit realita Setelah kelelahan karena hampir seharian di Mal sehabis nonton Dr.Dolittle pada hari rabu, dengan santai saya mencuitkan kalimat di Twitter "karena udah ke mal hari Rabu. Weekend nanti kita berenang saja di kolam dekat rumah”. Sebuah perencanaan akhir pekan yang sehat dan tidak butuh banyak biaya. Saya sudah membayangkan setelah berenang saya melakukan ritual rebahan depan TV yang menayangkan serial Korea sambil tangan skrol-skrol gawai membaca utasan cerita yang ga ada manfaatnya.  Sebuah perencanaan unfaedah yang menggiurkan. Tiba-tiba Kamis malam suami ngajakin ke Taman Safari liat gajah pas akhir pekan. Mau ngasih liat ke Anna yang udah mulai kegirangan liat binatang-binatang aneka rupa. Terlebih lagi sehari sebelumnya kami menonton film Dr.Dolittle yang bercerita tentang dokter yang bisa memahami bahasa hewan. Sekalian  nginap di hotel berfasilitas kolam air panas. Hmmm. Saya agak malas sih. Membayangkan Taman Safari yan...

antusiasme berfoto....

Sebagai prasyarat untuk mendapat izin ujian selain kelenagkapan berkas, calon sarjana perlu menyertakan foto berjas atau berkebaya. Beranjak dari sinilah cerita hari ini bergulir. “izin ujian itu lama loh keluarnya” kata Santi. ( wahhh…aku harus segera mengurusnya ) Tapi aku belum berfoto. Merujuk pada dua orang kakak perempuanku yang telah berhasil menyelesaikan kuliah S1-nya dan telah melalui sesi berfoto untuk ujian dan wisuda, kepada merekalah aku meminta petunjuk. Dan hasilnya….keduanya berfoto menggunakan kebaya untuk ijazahnya. Meski kak Ipah memakai jilbab, ternyata untuk tampil cantik di ijazah ia rela untuk melepas jilbabnya dan bersanggul kartini. Dan atas petunjuk inilah aku pun kemudian mempertimbangkan hal tersebut. Dengan beberapa pertimbangan : Pertama, Dwi kan tidak berjilbab. Teman-teman yang pake jas rata-rata yang berjilbab. Kedua, Inikan ijazah untuk S1, tak ada orang yang memiliki gelar S1 dua kali. Mungkin ada, tapi mereka devian. (...

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan ...