Skip to main content

Aku Mengunjungimu, Gie

Aku mengunjungimu. Apa kabarmu? Kau mungkin tak mengenalku. Tapi aku mengenalmu. Meski mengenalmu adalah sebuah jejeran huruf dan interpretasi akan dirimu. Kita berbeda zaman. Sangat jauh. Tubuhmu telah terbaring disini sedang aku masih belum menghirup dunia. Jejakmu adalah sebuah catatan harian yang baru kubaca 5 tahun silam. Catatan yang telah kau tulis 20 tahun sebelumnya.


Seberapa aku mengenalmu? Aku hanya membaca buku harianmu. Aku hanya mengenalmu dari interpretasi orang-orang akan dirimu. Aku hanya mengenalmu dari diskusi teman-teman tentang pemikiranmu dan bagaimana Indonesia dizamanmu. Bahkan aku harus berusaha memilahmu dari sebuah penggambaran tentang dirimu di sebuah film. Sesungguhnya aku pun masih tak begitu mengenalmu.


Aku mengunjungimu. Diantara nisan-nisan indah dan patung-patung malaikat. Tubuhmu pernah terbaring disini.Terurai bersama tanah bumi. Meski belulangmu tidak lagi dibawah batu nisanmu. Aku tetap mampu merasakan khidmat sesaat ketika mengunjungi nisanmu. Kamu memilih mengabadi bersama edelweiss di puncak Mahameru. Puncak yang kau cintai dan memeluk jiwamu erat di usiamu yang ke 26.


Yang paling beruntung adalah tidak pernah dilahirkan,
Kedua adalah dilahirkan kemudian mati muda,
yang paling sial adalah berumur tua.
Beruntunglah mereka yang mati muda....


Dan kau telah mendapati bahagia dalam definisimu. Mati muda. Aku bukanlah mahasiswi yang begitu paham tentang demokrasi , pergerakan, dan segala hal yang begitu menyedihkan di Negara ini. Tapi aku mampu mengerti sedikit tentang kegamanganmu. Sesuatu yang kali itu terjadi di Negara tetap saja masih terjadi sampai sekarang. Mungkin perlu untuk mengirimkan kembali bedak pupur untuk pejabat-pejabat agar mereka berdandan dan tetap cantik yang seperti kau lakukan dulu? Yah, mungkin sejarah memang selalu berulang.


 Nisanmu masih d isini. Di antara rimbunan pohon yang tak berasa Jakarta. Aku merasakan damai di sini. Semoga kau merasakan yang sama. Aku mengunjungimu, Gie….(*)


Makam Gie di Pemakaman Kerkhoof Laan, Museum Taman Prasasti , Tanah Abang. 

Comments

Popular posts from this blog

Seketika Ke Sukabumi

twit ekspektasi vs twit realita Setelah kelelahan karena hampir seharian di Mal sehabis nonton Dr.Dolittle pada hari rabu, dengan santai saya mencuitkan kalimat di Twitter "karena udah ke mal hari Rabu. Weekend nanti kita berenang saja di kolam dekat rumah”. Sebuah perencanaan akhir pekan yang sehat dan tidak butuh banyak biaya. Saya sudah membayangkan setelah berenang saya melakukan ritual rebahan depan TV yang menayangkan serial Korea sambil tangan skrol-skrol gawai membaca utasan cerita yang ga ada manfaatnya.  Sebuah perencanaan unfaedah yang menggiurkan. Tiba-tiba Kamis malam suami ngajakin ke Taman Safari liat gajah pas akhir pekan. Mau ngasih liat ke Anna yang udah mulai kegirangan liat binatang-binatang aneka rupa. Terlebih lagi sehari sebelumnya kami menonton film Dr.Dolittle yang bercerita tentang dokter yang bisa memahami bahasa hewan. Sekalian  nginap di hotel berfasilitas kolam air panas. Hmmm. Saya agak malas sih. Membayangkan Taman Safari yan...

antusiasme berfoto....

Sebagai prasyarat untuk mendapat izin ujian selain kelenagkapan berkas, calon sarjana perlu menyertakan foto berjas atau berkebaya. Beranjak dari sinilah cerita hari ini bergulir. “izin ujian itu lama loh keluarnya” kata Santi. ( wahhh…aku harus segera mengurusnya ) Tapi aku belum berfoto. Merujuk pada dua orang kakak perempuanku yang telah berhasil menyelesaikan kuliah S1-nya dan telah melalui sesi berfoto untuk ujian dan wisuda, kepada merekalah aku meminta petunjuk. Dan hasilnya….keduanya berfoto menggunakan kebaya untuk ijazahnya. Meski kak Ipah memakai jilbab, ternyata untuk tampil cantik di ijazah ia rela untuk melepas jilbabnya dan bersanggul kartini. Dan atas petunjuk inilah aku pun kemudian mempertimbangkan hal tersebut. Dengan beberapa pertimbangan : Pertama, Dwi kan tidak berjilbab. Teman-teman yang pake jas rata-rata yang berjilbab. Kedua, Inikan ijazah untuk S1, tak ada orang yang memiliki gelar S1 dua kali. Mungkin ada, tapi mereka devian. (...

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan ...