Skip to main content

Langganan Koran pertamaku


Aku langganan koran. Sok kaya kedengarannya, mengingat aku sama sekali tak punya penghasilan tetap untuk membayarnya. Namun ternyata aku melakukannya juga. Dengan beberapa pertimbangan.

Tak ada televisi di kost-kostanku. Otomatis kanal-kanal informasi tertutup. Fasilitas hot spot yang ada di kampus hanya aku manfaatkan untuk buka email, up load tulisan di blog, dan membuka situs pertemanan. Membaca lewat komputer membuat mataku cepat lelah. Pertimbangan selanjutnya adalah, aku harus mulai membiasakan diri untuk membaca lagi. Aku memiliki kebiasan hanya membaca novel. Untuk hal-hal lain aku tak baca. Berlangganan koran membuatku bisa melatih semua itu…

Kak Yusran pun menyetujuinya. Dan lagi harga berlangganan untuk mahasiswa hanya Rp. 50.000. Aku memilih Koran Kompas. Mengapa? Karena aku suka edisi hari minggunya, bisa belajar menulis dari liputan dan tulisan para penulis, dan lumayan tebal. Selain itu ada info karier di tiap weekendnya. Hehehehe…

Dan akhirnya, aku pun memulai hari dengan membaca Kompas. Jika pada sebagian orang menganggap koran sebagai sarapan, aku mungkin lain. Koran bagiku sebagai alarm untuk membuatku bangun. Kompas terselip di bawah pintu kamarku jauh sebelum saya benar-benar terbangun kala pagi….


(Sendiri dikamar kost-kostanku yang sudah dibayar
- ketika Kak Yusran sudah ke Jakarta, 16 November 2008)

Comments

  1. Anonymous11/16/2008

    sudah kubilang ambil saja yang 78 ribu, spy bisa baca majalah CHIC, lumayan, bagaimana dengan ide kita (saya kali) untuk banting stir jadi wartawan mode??? penasaranka bela...heheheh

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Seketika Ke Sukabumi

twit ekspektasi vs twit realita Setelah kelelahan karena hampir seharian di Mal sehabis nonton Dr.Dolittle pada hari rabu, dengan santai saya mencuitkan kalimat di Twitter "karena udah ke mal hari Rabu. Weekend nanti kita berenang saja di kolam dekat rumah”. Sebuah perencanaan akhir pekan yang sehat dan tidak butuh banyak biaya. Saya sudah membayangkan setelah berenang saya melakukan ritual rebahan depan TV yang menayangkan serial Korea sambil tangan skrol-skrol gawai membaca utasan cerita yang ga ada manfaatnya.  Sebuah perencanaan unfaedah yang menggiurkan. Tiba-tiba Kamis malam suami ngajakin ke Taman Safari liat gajah pas akhir pekan. Mau ngasih liat ke Anna yang udah mulai kegirangan liat binatang-binatang aneka rupa. Terlebih lagi sehari sebelumnya kami menonton film Dr.Dolittle yang bercerita tentang dokter yang bisa memahami bahasa hewan. Sekalian  nginap di hotel berfasilitas kolam air panas. Hmmm. Saya agak malas sih. Membayangkan Taman Safari yan...

antusiasme berfoto....

Sebagai prasyarat untuk mendapat izin ujian selain kelenagkapan berkas, calon sarjana perlu menyertakan foto berjas atau berkebaya. Beranjak dari sinilah cerita hari ini bergulir. “izin ujian itu lama loh keluarnya” kata Santi. ( wahhh…aku harus segera mengurusnya ) Tapi aku belum berfoto. Merujuk pada dua orang kakak perempuanku yang telah berhasil menyelesaikan kuliah S1-nya dan telah melalui sesi berfoto untuk ujian dan wisuda, kepada merekalah aku meminta petunjuk. Dan hasilnya….keduanya berfoto menggunakan kebaya untuk ijazahnya. Meski kak Ipah memakai jilbab, ternyata untuk tampil cantik di ijazah ia rela untuk melepas jilbabnya dan bersanggul kartini. Dan atas petunjuk inilah aku pun kemudian mempertimbangkan hal tersebut. Dengan beberapa pertimbangan : Pertama, Dwi kan tidak berjilbab. Teman-teman yang pake jas rata-rata yang berjilbab. Kedua, Inikan ijazah untuk S1, tak ada orang yang memiliki gelar S1 dua kali. Mungkin ada, tapi mereka devian. (...

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan ...