Skip to main content

Menanti Hujan

Matahari masih memanggang bumi dengan terik. Tanah-tanah mulai retak berdebu. Hari ini hari kedua bulan oktober. Tapi hujan tampaknya belum menampakkkan tanda-tandanya. Belum ada awan hitam yang menggumpal di atas langit. Atau hembusan angina dingin penanda badai akan segera datang. Langit masih berwarna biru cerah. Tak ada awan hitam penanda hujan akan turun.

Tetumbuhan layu. Pepohonan mongering. Berdebu dan tampak menguning.Kembang di teras depan rumah melemah dan batangnya lembek. Mungkin karena kasihan, Bapak menyiramnya tiap sore. Bau tanah kering tersiram air seketika merekah membawa kesegaran. Bau tanah yang begitu kurindukan ketika hujan pertama kali bercumbu dengan bumi penanda kemarau telah pergi.


Apakah hanya aku yang merindukan hujan?Terik matahari masih menjadi penyelamat bagi para petani yang memanen padinya. Gabah-gabah ditebar diatas tikar. Dipanggang di bawah matahari agar kering. Agar bisa dijual untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya anak-anak sekolah.


Anak-anak pun masih bercinta dengan kemarau. Kala sore layangan-layangan mengangkasa membelah langit biru. Bersuka cita menarik benang dengan obsesi menerbangkan layangan itu lebih tinggi dari semua layangan yang ada. Menanti para orang tua menyelesaikan berkarung-karung gabahnya di sawah yang harus diangkut oleh pa’teke’ (pengangkut gabah memakai sarana kuda) karena medan sawah yang begitu berat dan jauh dari jalanan desa.

Tapi tak Cuma aku yang membutuhkan hujan. Sungai-sungai pun telah mongering. Debit air di area pembangkit listrik makin menurun. Listrik pun harus pada 3 kali sehari layaknya minum obat untuk melakukan penghematan. Untungnya semua aktivitas yang membutuhkan listrik telah aku selesaikan. Dari memasak hingga mencharge laptopku. Bahkan waktu nonton Tv pun harus aku kondisikan dengan pemadaman bergilir.

Tapi, tanpa pemadaman listrik pun aku telah mendietkan pola menontonku. Tak ada lagi yang menyenangkan dari acara-acara TV. Mungkin beberapa berita dan acara-acara yang menginspirasi. Tapi itupun dalam persentase yang kecil dan diwaktu-waktu tertentu.

Aku tak begitu menyukai hujan. Tapi ia telah terlalu lama pergi. Dan kali ini aku merindukannya.Mungkin kah hanya aku yang menrindukan hujan? Hujan mengingatkanku pada dirinya. Telah menahun kami tak bersua, telah menahun kami tak terhubungkan. Ia adalah satu alasan mengapa aku merindukan hujan.

Ia penyuka Hujan. Ia menyukai saat hujan turun membasahi bumi. “Titik-titik itu begitu indah”katanya. “Tahukah kau yang paling menyenangkan dari hujan adalah ketika ia reda bumi tampak seperti bermandikan berlian-berlian kecil yang berkilau. Pepohonan tampak begitu hijau. Dan semua tampak bahagia”.


Ketika hujan turun tak jarang ia berlari menerobos pohon-pohon air itu dan membiarkan seluruh tubuhnya basah. Di dalam hujan ditemukannya sebuah serenada alam yang merdu. “ Sejak kecil aku menyukai hujan. Aku menyukai bau tanah yang merekah saat titik titik pertamanya menyentuh tanah di bumi. Aku menyukai bunyi yang ditimbulkannya saat butiran-butiran air itu jatuh diatap rumah. Sehabis pulang sekolah waktu kecil, hujanlah yang selalu kunantikan. Berhujan-hujan pulang ke rumah. Nenek selalu memarahiku jika aku melakukannya. Tak jarang ia memukulku jika melihat aku pulang dengan basah kuyup dan berlumur Lumpur. Namun, ia akhirnya mengalah melihat kebiasaanku bermain hujan. Ia akhirnya memberiku konpensasi bermain hujan jika bertepatan hari Sabtu. Alasannya adalah karena sabtu sudah menjadi akhir sekolah dan jika aku demam karena hujan aku tak perlu membolos sehari karena besoknya adalah hari libur”kenangnya padaku sambil tertawa kecil.

Namun, berbeda dengannya, aku tak bersepakat dengannya tentang hujan. Aku tak membenci hujan. Aku hanya tak menyukainya. Aku tak suka ketika aku harus tergopah-gopah berlari mengambil jemuran hanya karena hujan yang turun tiba-tiba. Aku tak suka becek dan Lumpur yang disebabkan oleh hujan. Aku pun sering terjatuh karena licinnya jalanan yang ditimbulkan oleh hujan.

“Pokoknya aku tak suka hujan” teriakku padanya saat kami berteduh di sebuah halte bus di kampus menunggu hujan reda
“Cobalah menyukainya. Hujan adalah sebuah fase dimana bumi mendapatkan airnya lagi. Ia seperti selang besar yang mencuci bumi. Membuat tanaman kembali segar dan berbunga. Hujan membawa kebaikan pada setiap makhluk” terangnya.
“Aku paham pada titik itu. Tapi aku tak suka terjebak seperti ini kala hujan”gerutuku.Ia tak menjawab, ia tiba-tiba menarik tanganku dan menarikku keluar dari halte tempaku berteduh. Membuatku berdiri di bawah hujan dan basah kuyup. Ia memegang tanganku dan berputar-putar, berlari, memercikkan genangan air, dan menarikan tarian hujan .
“Ayolah, nikmati hujan ini. Suatu saat nanti kau akan menrindukan hujan” katanya. Ia terus berlari layaknya anak kecil ditengah hujan. Berlari mengitariku dan sesekali memerciki diriku dengan genangan air di jalan.

Aku hanya bersungut-sungut karena ulahnya. Setelah kejadian bermandikan air hujan itu, aku terkena flu dan demam tinggi. Ia tampak begitu bersalah.

“Maafkan aku, telah membuatmu sakit. Aku takkan lagi mengajakmu bermain hujan” katanya ketika melihatku meringkuk di atas tempat tidur dengan sebuah kompres melekat di dahiku.

“Hujan menimbulkan trauma bagiku. Ibuku meninggal saat hujan turun. Ia kecelakan saat kami berdua berjalan beriringan di bahu jalan ketika ia menjemputku dari sekolah. Ibu selalu menjempuku saat hujan karena tahu bahwa fisikku begitu lemah pada perubahan cuaca. Namun Siang itu adalah saat terakhir ia menjemputku. Sebuah Mobil terslip karena jalanan yang licin yang kemudian menabrak ibuku. Saat itu aku luka ringan tapi nyawa ibu tidak bisa diselamatkan.Sejak saat itu aku tak menyukai hujan. Aku selalu berusaha untuk memaafkan diriku dan tak menyalahkan hujan. Tapi, hujan masih saja selalu menghantuiku hingga kemarin ketika kau mengajakku bermain hujan. Aku mulai mampu memaafkan hujan. Aku pun mulai memaafkan diri” tuturku padanya. Ia menggenggam tanganku.


“Maaf. Aku tak tahu soal Ibumu” katanya begitu bersalah. Aku hanya tersenyum. Sudahlah, semua pada akhirnya pulang ke Rumah Tuhan. Mungkin jalan yang ibu tempuh untuk kembali adalah itu. Kau telah membantuku keluar dari traumaku. Sejujurnya, aku menyukai hujan ketika aku tak perlu ikut basah atau terkena cipratannya. Tubuhku begitu lemah dan gampang sakit jika terkena dingin. Apalagi jika harus bermain hujan” Jawabku.

“Dulu, Ibu dan aku selalu menikmati hujan di rumah. Duduk di depan jendela dan menikmati secangkir the hangat sambil memperhatikan sawah dibelakang rumah. Hujan yang paling menyenangkan adalah saat aku berada di kamarku dan melihat rintiknya dibalik jendela” Jelasku padanya.


Sejak saat itu, ia selalu menemaniku saat hujan. Kami pun selalu menikmati hujan di balik jendela kamar kostku. Kadang kami menuturkan kisah yang kami buat sendiri tentang hujan.

“Tahukah kamu, rerumput yang bergoyang saat hujan ada peri-peri kecil yang bermain hujan di bawah batangnya. Mereka bisa membuat pelanginya sendiri diantara rerumputan itu. Jika kamu jeli dan beruntung kamu akan mendapatkan mereka bermain dan berlarian di bawah hujan diantara pohon-pohon rumput itu.” Kisahnya padaku.

Namun, dari semua kisah yang kami berdua ciptakan yang paling ia sukainya adalah kisahku yang menganggap ketika awan begitu hitam dan menggantung di langit seperti seorang nenek sihir yang tengah murka oleh kecantikan seorang putri.


Ia memanggilku Lady rain dan menyebut dirinya sebagai lelaki hujan. “nenek sihir itu marah dan mengutuk putri itu menjadi Lady Rain. Namun Lelaki hujan menyelematkan ia dari cengkraman nenek Sihir. Sayangnya kutukan nenek sihir itu tak bisa dimusnahkan. Tapi cinta telah menjadi ikatan terhadap keduanya.” sambungnya.“ dan keduanya jatuh cinta dan bahagia selamanya”koor kami berdua dan diikuti derail tawa yang membelah hujan.


Saat itu entah telah beberapa tahun yang lalu. Aku tak lagi pernah bersua dengannya. Semenjak kami menyelesaikan kuliah kami, kami tak pernah lagi saling mengabari. Ia melanjutkan kuliahnya lagi di propinsi lain, sementara aku kembali ke kota kelahiranku.


Seperti ramalannya dulu, aku pun merindukan hujan saat ini. Seperti aku merindukan sosoknya menemaniku memandangi hujan di balik jendela kamar.

Jika suatu saat nanti kami bertemu akan kuajak ia menari di bawah hujan tak peduli meski aku harus flu berat.


(Rumah, 4 oktober-6 oktober 2009)
-Tulisan lama...waktu hujan belum turun-

Comments

Popular posts from this blog

jurnalistik siaran, pindah kost-kostan, dan "capek deh!"

Akhirnya, kembali bisa menyempatkan diri sejenak ke Teras Imaji. Sedikit berbagi kisah lagi dengan diri sendiri. Sekedar untuk sebuah kisah klasik untuk Saraswati dan Timur Angin kelak. Aku tak pernah menyangka bahwa aku bisa bertahan sampai saat ini.meski tugas kuliah menumpuk. Keharusan untuk pindah pondokan. Kewajiban lain yang belum terselesaikan.Problem hati yang menyakitkan. Serta kontrak yang tersetujui karena takut kehilangan peluang meski tubuh ini harus sudah berhenti. Siang tadi (15 nov 06) seharian ngedit tugas siaran radioku. Tak enak rasanya pada teman-teman, memberatkan mereka. menyita waktu yang seharusnya untuk hal lain. Tak enak hati pada Pak Anchu, penjaga jurusan. yang tertahan hanya menunggu kami menyelesaikan tugas itu. Dengan modal suara fals nan cempreng toh aku pun akhirnya harus sedikit PD untuk membuat tugas itu. Meski hanya menguasai program office di komputer, toh aku harus memaksakan belajar cool-edit (yang kata teman-teman yang udah bisa merupakan sesuatu...

Asyiknya Berkirim Kartu Pos

Kartu pos untuk teman-teman di Indonesia. Beberapa minggu ini saya lagi senang-senangnya berkirim kartu pos. Membeli kartu pos di court street. Menuliskan nama dan alamat yang akan dikirimkan. Menuliskan pesan yang akan disampaikan. Dan membawanya ke kantor pos dan memposkannya. Prosesnya itu begitu menyenangkan buatku. Terlebih lagi ketika orang yang saya kirimi kartu pos mengabarkan kalo kartu posnya sudah sampai, rasanya seperti mission completed deh. Selain mengirimkan kartu pos ke teman-teman di Indonesia, saya juga bergabung di Postcrossing . Sebuah web yang menyatukan para penggemar kartu pos seluruh dunia. Saya menemukan web Postcrossing ini tak sengaja ketika sedang mencari informasi berapa harga prangko untuk kartu pos luar negeri. Caranya gampang, daftar di webnya, kemudian kamu akan menerima 5 alamat yang harus kamu kirimi kartu pos. Saat pertama join kamu harus mengirim kartu pos. Ketika kartu pos itu diterima, maka alamat kamu akan disugesti untuk dikirimi kartu po...

Serpent's Shadow : Petualangan Terakhir Carter dan Sadie

foto : inthemiddlereading.blogspot.com Carter dan Sadie berhasil membangunkan Ra, Dewa Matahari. Sayangnya, Apophis, Dewa kekacauan makin kuat dan berniat menghancurkan dunia. Sayangnya Dewa Matahari masihlah sangat lemah. Tubuh tua ringkihnya tak sanggup bertarung mengalahkan Apophis. Kehancuran dunia tinggal menghitung detik. Carter dan Sadie harus mencari cara mengalahkan Aphopis dan menyelamatkan dunia. Sanggupkah mereka? Buku ketiga dari Kane Chronicles ini berjudul Serpent's Shadow. Buku ini adalah seri terakhir dari pertualangan Carter Kane dan Sadie Kane diantara dewa-dewa mitologi Mesir dan usaha mereka untuk mengalahkan musuh terbesar mereka, Apophis. Seperti dua buku sebelumnya, Carter dan Sadie mengantar pembaca mendengarkan petualangan mereka. Lewat rekaman yang dititipkan pada penulis buku ini, Rick Riordan, Sadie dan Carter mengawali cerita mereka di sebuah Museum Dallas. Sadie, Carter, Allysa, dan Walt mencari golden box yang bisa membantu mereka menguak kel...