Skip to main content

Menghidu Aroma Karsa




Setelah berminggu-minggu menghabiskan waktu menonton Smallville dari yang biasa aja sampai baper terus antiklimaks habis itu ga lanjutin sampai episode akhir (nanti saya cerita mengapa), saya tersadar telah menghabiskan banyak waktu yang terasa tidak produktif. Kemudian saya memutuskan mencari kegiatan yang sedikit cerdas. Membaca buku!

Belakangan ini membaca buku tidak masuk dalam skala prioritas. Kecuali buku kanak-kanak yang saya baca bersama Ara, saya tidak tertarik membaca novel. Mungkin karena saya sedang berada dalam kondisi butuh dicerdaskan, maka membaca novel tidak masuk dalam list. Saya memilah-milah bacaan suami yang rasanya kalo saya selesaikan, derajat kecerdasan saya naik 10 tingkat. Beberapa sudah masuk dalam daftar. Salah satunya Sapiens. Biar kalo ngobrol sama suami, saya sedikit agak pintar.

Sampai kemudian Emma mengirimi saya buku terbaru Dee Lestari. Aroma Karsa. Sudah lama saya tahu buku terbaru Dee akan terbit. Tapi tak kunjung hati ini ingin membelinya. Apa sebab? Karena buku terakhir Dee yang berjudul Intelegensia Embun Pagi menawarkan rasa yang tawar. Saya sebagai fans entah mengapa merasa kecewa. Sehingga Aroma Karsa ini tidak saya nanti dengan antusias. Suami beberapa kali menawarkan untuk membeli. Saya bilang tak usah, kapan-kapan aja. Tapi, karena saya punya sahabat yang sangat baik yang menghadiahkan buku ini, jadinya saya tak perlu menyesal begitu lama karena menunda-nunda membaca buku ini.

Karena ekspektasi yang bisa saya bilang tidak ada terhadap buku Aroma Karsa ini, saya malah mendapatkan kejutan yang berlipat ganda. Dalam lima halaman pertama, saya sudah yakin bahwa Aroma Karsa mampu membawa saya merasakan petualangan seperti saya membaca Partikel dulu.
Penuh misteri tapi juga menggemaskan.

Buku ini bercerita tentang Jati Wesi yang berasal dari TPA Bantar Gebang yang memiliki indra penciuman yang sangat tajam, hingga dijuluki Hidung Tikus. Suatu hari ia ditangkap karena memalsukan produk Parfum Puspa Ananta dari perusahaan Kemara. Kemudian membawa ia bertemu dengan Raras Prayagung, pemilik Kemara. Ia pun berkenalan dengan Tanaya Suma anak Raras yang memiliki kemampuan yang sama dengan dirinya. Kemudian buku ini mengantarkan pembaca pada petualangan mencari Puspa Karsa, bunga yang menurut legenda aromanya mampu mengubah dunia.

Apalagi yang harus saya bilang tentang  Dee? Kemampuannya dalam meracik cerita yang penuh ketegangan, mengaduk emosi,  dan tak lupa untuk melucu selalu membuat saya berdecak kagum. Apalagi menilik bagaimana riset yang ia lakukan dari TPA Bantar Gebang hingga laboratorium parfum  untuk memahami aroma benar-benar sebuah totalitas.  Tak lupa mitologi jawa yang ia olah membuat novel ini benar-benar tak mampu membuat saya berhenti membacanya sampai halaman terakhir.

Saya menutup buku ini dengan perasaan yang puas. Sajian cerita dan bab akhir yang dikemas menggantung terasa sangat pas. Meski pada bagian awal pendakian ke gunung Lawu alurnya terasa sedikit cepat, namun bisa dimaafkan. Saya menyukai visualisasi Dwarapala dan pohon-pohonnya yang gigantis. Vegetasi yang berbeda. Saya membayangkan serupa film Avatar. Sayangnya, sampai saya bertemu halaman penutup saya tidak bisa membayangkan siapa aktor Indonesia yang bisa memerankan Jati Wesi. Malah saya berharap buku ini tak usah difilmkan. Sudah cukup banyak film dari buku karya Dee yang membuat saya kecewa.

Aniwei, saya senang mendapatkan bacaan bagus untuk menyuntikkan kembali semangat membacaku. Berikutnya saya akan membaca Sapiens. Semoga saya bisa membaca dengan cepat dan paham. Hahaha.

Bogor, 27 April 2018

Comments

Popular posts from this blog

tentang buku

"...u can buy many book,but u can't buy a knowledge" 081383118xxx pesan itu sampai ke ponselku beberapa saat setelah aku mengeluh pada seseorang tentang buku "detik-detik menentukan" BJ.Habibie yang tak berhasil aku peroleh dari peluncuran bukunya di hotel clarion hari ini. iya mungkin benar...aku terlalu mengharapkan buku yang ditulis mantan presiden ketiga ini.padahal ku punya begitu banyak buku yang bertumpuk di kamar. Belum pernah aku jamah sedikit pun. aku tak tahu beberapa hari terakhir ini aku begitu jauh dari buku. jauh dari para pengarang-pengarang besar dengan segala masterpiece-nya. akuy begitu malas membaca. malas membuka tiap lembar buku tebal itu dan memplototi huruf-hurufnya yang kecil. "tahu tidak...buku bisa membawa kesuatu tempat tanpa kamu harus bergesr se-inci pun" kata-kata itu selalu keluar jka aku mengeluh sedang malas baca buku... entahlah aku begit malas mengetahui tiap isinya. aku hanya terpesona pada banyak tumpukannya di kam...

Dapat Kiriman Moneygram

Ini adalah pengalaman pertama saya mendapatkan kiriman uang dari luar negeri. Sedikit norak dan kampungan sih. Tapi tak ada salahnya membaginya di sini. Setelah saya googling di internet kurang yang mau berbagi pengalaman tentang transferan luar negerinya. Nah, karena Kak Yusran yang bersekolah di Amerika berniat mengirimi saya uang buat tiket ke Bau-Bau, maka dia akhirnya mengirimkan uang. Dalam bentuk dollar lewat jasa layanan Moneygram yang banyak tersedia di supermarket di Amerika. Moneygram sama seperti Western Union. Tapi Western Union lebih merakyat. Mereka bekerja sama dengan kantor Pegadaian dan kantor pos. Sehingga di kampungku pun ada fasilitas Western Union (tapi saya belum tahu berfungsi atau tidak). Moneygram sendiri setahu saya hanya bekerja sama dengan beberapa bank. Saya belum pernah tahu kalo Moneygram juga sudah bekerja sama dengan kantor pos, meskipun informasi dari teman-teman di twitter mengatakan demikian. Jasa layanan pengiriman uang macam Moneygram dan Western ...

Norwegian Wood

Cukup melelahkan membaca Norwegian Wood karya Haruki Murakami. Buku yang telah kulihat wujudnya sejak tahun 2004 baru aku baca di tahun 2013. Saya tidak terlalu akrab dengan karya-karya Haruki Murakami. Buku Norwegian Wood ini adalah karyanya yang pertama saya baca.  Mengapa saya berkata buku ini cukup melelahkan? Karena buku ini bercerita tentang kematian dan sangkut pautnya dengan orang-orang yang ditinggalkan. Bukan kematian yang disebabkan sakit atau tua. Tapi kematian orang-orang muda yang memilih bunuh diri.  Bersetting tahun 1970an di Jepang, sang tokoh utama, Watanabe menceritakan kembali kisahnya. Ia bertemu kembali kekasih almarhum temannya yang memilih mati bunuh diri di usia 17 tahun. Sekalipun tidak akrab mereka selalu bersama. Berkeliling mengitari Tokyo tanpa tujuan. Hingga sang perempuan, Naoko masuk panti rehabilitasi gangguan jiwa. Ia lantas bertemu Midori, perempuan nyentrik yang selalu berkata seenak dia. Perempuan yang selalu jujur mengatakan apapun yang i...