Skip to main content

Posts

Showing posts from September, 2016

Saat Kita Membicarakan Kematian

Dear Ara... Sore ini kamu pulang main lebih pagi dari biasanya. Anak-anak masih riuh berlarian di lapangan depan rumah. Masih pukul 5 sore lebih sedikit, kamu menghampiri saya sambil menangis. "Kenapa?", tanyaku. Saya khawatir kamu terluka akibat terjatuh atau seorang kawan bermainmu menyakiti kamu.  "Ara takut. Ara tidak mau mati", jawabmu sambil sesunggukan. "Semua orang akan mati?", tanyamu lagi. Sebuah tema yang cukup berat yang kamu pilih untuk kita diskusikan sore ini.  Saya tertegun sejenak. Tak langsung menjawab pertanyaanmu. Malah bertanya balik, "siapa yang kasi tau?". "Rania sama Naura", jawabmu.  "Anak-anak, trus kakak-kakak, trus jadi nenek trus mati. Ara takut. Ara tidak mau mati", katamu lagi masih menangis.  "Semua orang akan mati? Harus nenek-nenek dulu baru mati? Ara tidak mau tumbuh besar. Ara mau anak-anak saja". Pertanyaanmu begitu sulit untuk dijawab nak, mengingat usiamu yang begitu muda dan pe...

Tuhan Ada di Mana?

Dear Ara... Siang tadi kamu sangat ingin keluar rumah. Namun, saya melarangmu. Di luar begitu panas. Listrik mati. Dan teman-temanmu masih istirahat di rumahnya masing-masing.  Kemudian, hujan turun. "Ara berdoa sama Tuhan. Biar hujannya reda pas sore nanti", kataku.  "Tuhan, hujannya berhenti ya kalo Ara mau main. Aamiiinn", doamu.  Kemudian tiba-tiba kamu bertanya, "Tuhan ada dimana?" "Dimana coba?", tanyaku balik.  "Tuhan ada di angkasa. Di langit. Di awan-awan", jawabmu. "Jadi kalo naik pesawat liat awan, bisa liat Tuhan dong", kataku lagi. Kamu cekikikan. "Tuhan ada di planet", jawabmu lagi.  "Tuhan alien dong", kataku lagi.  Kamu tidak bisa menahan tawa. Sepertinya konsep itu cukup kamu mengerti mengingat planet-planet adalah rumah para alien.  Kamu lantas terdiam. Berpikir. "Jadi Tuhan di mana".  "Tuhan ada di hatinya, Ara. Kalo Ara baik, berbahagia, tidak sedih dan marah-marah artinya...

Apakah Benar Seperti Dendam Rindu Harus dibayar Tuntas?

Eka Kurniawan menyamakan Rindu dan Dendam sebagai sebuah hal yang setara serupa masalah yang butuh penyelesaian. Tapi saya agak tidak sepaham dengannya.  Rindu dan dendam ada dua variabel yang bisa disebut sama tapi juga sangat berbeda.  Semua bermuara di hati. Menganggu pikiran. Memaksa tubuh untuk melakukan tindakan. Namun jika dendam telah terbayar tuntas, hati akan terasa ringan. Pikiran mampu "move on". Sedang Rindu? Sebuah rasa yang memiliki sifat repetisi.  Jika ia terbayar tuntas, maka cobalah kembali menarik jarak. Perlahan ia bertumbuh. Seperti jamur di musim hujan. Seperti kutu air di kaki yang berkeringat. Kembali mengontrol tubuh dan pikiran. Menuntut untuk dibayar kembali.  Ah, jika saja bisa memilih, mungkin mendendam lebih melegakan dibanding merindu. Sayannya, dendam begitu identik dengan rasa benci sedang rindu berbarengan dengan rasa cinta.  Maka, tibalah saya disini dengan rindu yang penuh kebimbangan. Memaksa pulang menemuimu tapi takut untu...

Tentang Sahabat yang Berpulang

Sebuah pesan masuk ke grup WA teman-teman SMAku. Grup yang selalu ramai dengan perbincangan nostalgia, basa-basi, atau sekadar sapa menyapa dengan kawan-kawan di sekolahan dulu. Saya hanyalah silent reader di sana. Menengok sesekali meski kadang terlalu susah mengejar dan mengerti tema perbincangan saking ramainya sahut-sahutan.  Namun, pesan kali tak kuasa membuatku sekadar diam. Sebuah kabar tentang seorang kawan yang berpulang. Pesan belasungkawa mengalir. Saya sedih dan terkenang olehnya.  Ia adalah teman sedari kecil. Sejak dari SD hingga SMA, kami selalu satu sekolah. Kami tetangga kampung. Rumahnya, meski agak jauh dari rumahku, tapi sering kukunjungi dengan berjalan kaki. Saya sering main ke rumahnya.  Ia punya toko dan saya selalu membeli permen dan coklat jualannya. Soalnya kadang jualannya tidak ada di toko lain. Saya pun sering ke rumahnya jika lebaran. Di rumahnya selalu ada kue tart yang enak dan selalu disajikan saat say dan teman-teman ma'siara. ...

Kunamai Engkau, Anna Dara Makeishana

  William Shakespeare, ““What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.   Saya tak bersepaham dengan penyair terkenal itu. Nama serupa gerbang untuk mengenal seseorang. Nama juga menjadi pengingat. Nama adalah doa. Nama adalah sebuah pengharapan.  Maka ketika kamu dalam kandungan, ayahmu begitu galau mencarikanmu nama. Tapi buatku, itu tak pernah menjadi masalah. Jauh sebelum kamu dikandung, saya telah menuliskan namamu di sudut pikirku. Nama yang istimewa. Nama yang menjadi identitasmu.  Jika nama kakakmu, Ara berasal dari imaji tentang seorang dewi pengetahuan, Saraswati, maka namamu berasal dari identitas budaya yang mewakili kesukuanmu. Kelak ketika kamu ditanya oleh teman-teman ayahmu yang sering datang ke rumah, kamu bisa menjawabnya dengan bangga, bahwa namamu menjelaskan asalmu.  Meski itu, sebulan sebelum kamu lahir ayahmu masih ragu dengan nama yang akan disematkan padamu. Masih berusaha dicarinya nama-nama Sanseker...