Skip to main content

Mimpi


"Hei, kemarin aku buka situs yang ngasih kesempatan buat summer course di Belanda. Dari dulu kan kamu pengen ke Belanda. Ikut aja seleksinya, kali aja bisa mencentang satu mimpimu", kataku. "Mimpi? I almost give up for all my dreams...", balasmu. Membuatku terpana dan tak mampu berkomentar. 

Aku mengenalmu delapan tahun silam. Pemuda yang penuh semangat. Aktif di lembaga sosial, vokal dalam diskusi. Matamu berbinar kala kamu menceritakan rencana-rencana hidupmu ke depan. Sembari memandangi matahari perlahan turun di horizon, kaki-kaki kita yang dijilati lidah ombak yang menepi kamu membagi mimpimu padaku. 

"Aku ingin ke Belanda. Belajar atau kuliah di sana", katamu. Aku menunduk memperhatikan pasir putih yang menempel di kakiku. "Aku ingin menulis buku", kataku sembari mendongak dan mendapati binar matamu yang memantulkan warna senja. Lipatan jeans kita basah. Tapi, kita tidak peduli. Saat itu aku dan kamu adalah manusia-manusia bebas tanpa beban. Sepasang manusia dengan kekuatan penuh mimpi yang akan menantang dunia. 

Kita berpisah. Tapi mimpi-mimpi itu menyala. Imaginya terasa dekat. Cukup mengulurkan tangan dan meraihnya. Tapi waktu adalah dimensi yang tak pernah kita perhitungkan kekuatannya. 

Waktu seperti godam sang pandai besi, menempa dan membentuk jati diri kita. Delapan tahun cukup mampu mengubah cara pandang kita melihat dunia. Lama tak kudengar kabarmu. Pertemuan tak kunjung datang dan kita terus menyongsong hari. Menjadi dewasa. Mandiri dan berusaha menompang kaki masing-masing untuk menjejak di atas bumi. 

Selesai kuliah kita masih memiliki keyakinan akan mimpi-mimpi yang akan kita raih. Bekerja, masuk kantor. Berpakaian rapi. Dasi, kemeja dan celana kain  berlipatan tajam. Blazer dan stiletto. Menjadi manusia dengan rutinitas monoton. Mimpi itu masih ada di rak paling belakang di gudang dalam otak kita. Tapi rasanya mulai menjauh. Kemudian kamu memilih untuk menikahi pujaan hatimu. Perempuan yang dengannya ingin kamu lewatkan hari-hari tuamu. Dan mimpi itu telah menjadi samar. 

"Karena setiap mimpi-mimpi yang ada selalu dibenturkan dengan kondisi bernama realitas", katamu. "Aku tidak punya pilihan", katamu menyerah. Aku bayangkan pijar matamu meredup kala kamu ucapkan kalimat itu. Seperti bukan kamu, tapi sangat kupahami. 
"Menjadi dewasa menyebalkan", kataku. Kamu tertawa mengamininya.  "Menjadi dewasa membuat kita memilah-milah yang mana yang perlu dikompromikan. Aku berkompromi pada mimpi-mimpiku. Pada pilihan-pilihan hidup yang aku jalani sekarang", jawabmu.

"Mimpi mungkin hanyalah milik anak-anak muda yang belum memikirkan bagaimana membayar tagihan listrik serta susu anak", candaku. 
"Bisa jadi demikian", katamu lagi sambil tersenyum kecut. 

"Aku memilih untuk menikmati apa yang aku miliki sekarang. Tapi bertindak egois dan mengejar mimpi-mimpi yang dulu sepertinya bukan pilihanku. Aku berusaha menikmati setiap perjalanan kantor yang ditugaskan padaku. Itulah satu-satunya hal yang mendekatkan aku akan mimpi itu". 

Kompromi menjadi hal yang kita lakukan terhadap mimpi. Aku tidak lagi melihatmu sebagai pemuda yang berdiri menantang dunia. Kamu bertransformasi. Pada diri kulihat sosok lelaki yang penuh pertimbangan, hati-hati dan perhitungan. Meski aku masih bisa menangkap nyala mimpimu yang meredup. 

" Akhirnya aku mampu memahami filosofi tentang bahagia. "How the way we happy" bukan "what should make us happy", katamu. 

"Jangan berhenti bermimpi, kumohon", bisikku.(*) 

Bogor, 25 Maret 2015

Comments

Popular posts from this blog

Indecent Proposal

sumber foto : tvtropes.org Seorang bilyuner menawariku one billion dollar untuk one night stand dengannya. Aku bingung. Aku dan suami sedang tidak punya uang dan satu juta dollar begitu banyak. Mampu membiaya hidup kami. Disisi lain aku  mencintai suamiku, rasa-rasanya ini tidaklah patut. Tapi kami benar-benar tidak punya uang. Aku ingin melakukannya untuk suamiku. Aku mencintaiku dan tidak ingin melihatnya terlilit utang. Kami memutuskan mengambil tawaran itu. This is just sex bukan cinta. Ini hanya tubuhku. Aku dan suami memutuskan setelah semalam itu, kami tidak akan mengungkitnya lagi. Setelah malam itu. Kami berusaha menebus  properti kami yang jatuh tempo. Sayangnya, bank telah menyita dan melelangnya. Seorang pengusaha telah membelinya. Kami putus asa. Suamiku tiba-tiba berubah. malam itu, Ia mempertanyakan apa yang saya dan bilyuner itu lakukan. Padahal kami sepakat untuk tidak mengungkitnya. Saya menolak menjawab pertanyaannya. Saya tidak ingin lagi menginga...

Sengsara Membawa Nikmat

  Judul : Sengsara Membawa Nikmat Penulis : Tulis Sutan Sati Penerbit : Balai Pustaka Midun, lelaki muda baik budinya halus pekertinya disukai warga sekampung. Namun, hal ini menciptakan kebencian Kacak, kemanakan Tuanku Laras, kepada Midun. Segala cara dilakukan Kacak untuk menjebak Midun. Hingga akhirnya ia menyewa pembunuh untuk menghabisi nyawa Midun. Untungnya, Midun masih mampu menghindar dari tikaman pisau. Namun perkelahian itu menjebloskan Midun ke penjara. Membuatnya terpisah dari keluarganya. Penderitaan tak berhenti di situ, di penjara pun Midun menerima siksaan. Hingga masa ia bebas, ia memilih tak pulang ke Bukit Tinggi. Ia memilih mengadu nasib ke Betawi mengantar Halimah, perempuan yang ditolongnya pulang ke Bogor. Di tanah Jawa inilah lika liku hidup membawanya menjadi asisten demang dan pulang ke tanah Padang.  Judul buku ini cukup mencerminkan cerita lengkap sang tokoh utama. Kemalangan silih berganti menimpa sang tokoh utama. Namun berpegang pada keyakinan ...

Misteri Sepatu Menggantung di Kabel Listrik

Sumber : Athens News Sepasang sepatu menggantung lunglai di tiang listrik. kabel listrik tempatnya bergantung kokoh tak ingin melepaskan sepatu itu menghujam bumi. Pertama kali tiba di Athens, saya cukup heran dengan sepatu-sepatu yang tergantung di kabel-kabel listrik itu. Kutanya ke seorang teman bule tapi ia tak memberi jawaban yang memuaskan. Kupikir sepatu-sepatu itu dilempar begitu saja karena sudah dirusak atau tidak dipakai. Atau asumsiku yang lain adalah sepatu itu milih olahragawan yang berhenti dari profesi dan memilh menggantung sepatu. seperti pemain sepakbola. Tapi sepertinya asumsi olahragawan itu tidak benar, karena sepatu-sepatu yang menggantung di tiang listrik cukup mudah ditemukan. Jalan-jalanlah di seputaran Athens dan kau akan mendapati sepatu-sepatu menggantung di tiang listrik.  Uniknya sepatu yang digantung itu hanyalah sepatu-sepatu kets. Fenomena ini disebut Shoefiti dan terjadi diberbagai tempat di Amerika. Nyatanya bukan hanya saya saja yang pen...