Skip to main content

Divortiare


Judul : Divortiare
Pengarang : Ika Natassa
Harga : Rp. 48.000
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama

Alexandra, seorang relationship manager sebuah bank ternama di Jakarta. Kerjanya adalah terbang dari kota ke kota bertemu nasabah debiture dan menilai usaha untuk pengucuran kredit usaha. 27 tahun, cantik, dan sukses sebagai bankir. Menikah dengan Beno Wicaksono, seorang dokter ahli bedah jantung yang sangat sibuk. Kesibukan membuat keduanya kehilangan waktu untuk menemukan arti berkeluarga.  Pertengkaran yang berlarut-larut dan ego menyebabkan keduanya memilih bercerai.  

Dua tahun berlalu dan keduanya masih memilih sendiri. Wina, sahabat Alex mengenalkan Alex pada Denny. Seorang bankir yang juga kawannya waktu kuliah. Alex berpacaran dengan Denny, namun, ia tidak mampu menghapus Beno dari pikirannya. 

***

Sudah lama saya menfollow akun twitter Ika Natassa. Membaca twit-twit dari pembaca bukunya yang bercerita betapa mereka jatuh cinta pada Beno. Namun baru seminggu lalu saya berhasil membeli bukunya di Jakarta. Kunjunganku ke toko buku memang cukup jarang, namun buku Divortiare ini juga cukup sulit saya dapat di Makassar atau mungkin saya tidak cukup keras mencari di rak-rak toko buku. 

Nah, entah mengapa saya hanya membeli satu bukunya meski keempat bukunya berjejer rapi. Sederhana sih, berat bawa pulangnya. Tapi setidaknya dwilogi Divortiare ini harusnya saya beli lengkap. Selesai baca buku ini barulah saya menyesal. 

Buku bergenre metropop ini membingkai potret kehidupan keluarga muda di kota besar yang sibuk berkarir. Memotret kehidupan para pekerja sosialita yang menggunakan pakaian branded dan nongkrong after office hour. 

Tapi tidak seperti cerita metropop lainnya, Ika Natassa berhasil menyajikan cerita yang mampu membuat saya gregetan, mengaduk emosi saya, dan juga terpingkal-pingkal karena leluconnya di waktu bersamaan. Buku ini juga memberikan gambaran kehidupan pekerja Bank -yang adalah profesi sang penulis- from 8 to 5dan kadang nambah. Kaku, formal, dan selalu harus tersenyum ramah tidak peduli mood. Sebuah pekerjaan yang menyita waktu. Di catatan awal buku Divortiare, Ika Natassa menceritakan bagaimana ia menulis buku ini di sela-sela pekerjaannya yang padat.

Meski cerita novel ini bertutur dari sudut pandang Alex, namun mampu membuat saya jatuh cinta pada Beno. Sosoknya yang dingin, sarkastik, serta sinis. Sayangnya, Cerita romance antara Beno dan Alex tidak terlalu dieksplor. Jika saja bagian romantisnya sebanyak bagian romantis antara Alex dan Denny, saya jamin bakal bikin saya lebih sesak lagi membaca buku ini. 

Pernah sekali, Ika Natassa mentwit pic foto Reza Rahadian trus bilang yang kurang lebih "ini cocok nda jadi Beno?", twit pic itu berhasil membuat saya membayangkan Reza  Rahadian sepanjang saya membaca novel ini. Tapi, saya pikir Beno masihlah lebih meneduhkan dibanding Reza Rahadian. Lol. 
 
Satu catatan kecil yang sedikit menganggu saya sebagai pembaca meski tidak terlalu berdampak pada cerita, penulisan judul bab yang menggunakan bahasa latin ( kalo nda salah y). Entah kenapa tidak  menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris saja. Entah....

Anyway, Buku ini berhasil saya baca tidak kurang dari 24 jam. Membuat saya terjerat untuk membaca karya Ika Natassa yang lain.

 Selamat membaca. (*)

Bone, 24 Oktober 2013

Comments

  1. Ahhh saya kurang suka dengan tulisan Ika Natassa >.<

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

jurnalistik siaran, pindah kost-kostan, dan "capek deh!"

Akhirnya, kembali bisa menyempatkan diri sejenak ke Teras Imaji. Sedikit berbagi kisah lagi dengan diri sendiri. Sekedar untuk sebuah kisah klasik untuk Saraswati dan Timur Angin kelak. Aku tak pernah menyangka bahwa aku bisa bertahan sampai saat ini.meski tugas kuliah menumpuk. Keharusan untuk pindah pondokan. Kewajiban lain yang belum terselesaikan.Problem hati yang menyakitkan. Serta kontrak yang tersetujui karena takut kehilangan peluang meski tubuh ini harus sudah berhenti. Siang tadi (15 nov 06) seharian ngedit tugas siaran radioku. Tak enak rasanya pada teman-teman, memberatkan mereka. menyita waktu yang seharusnya untuk hal lain. Tak enak hati pada Pak Anchu, penjaga jurusan. yang tertahan hanya menunggu kami menyelesaikan tugas itu. Dengan modal suara fals nan cempreng toh aku pun akhirnya harus sedikit PD untuk membuat tugas itu. Meski hanya menguasai program office di komputer, toh aku harus memaksakan belajar cool-edit (yang kata teman-teman yang udah bisa merupakan sesuatu...

babel

Sebenarnya tak ada planing untuk menonton film. hanya karena kemarin arya dan kawan-kawan ke TO nonton dan tidak mengajakku. Dan kemudian menceritakan film 300 yang ditontonnya. Terlepas dari itu, sudah lama aku tak pernah ke bioskop. Terkahir mungkin sam kyusran nonton denias 2 november tahun lalu. (waa…lumayan lama). Dan juga sudah lama tak pernah betul-betul jalan sama azmi dan spice yang lain J Sebenarnya banyak halangan yang membuat kaimi hampir tak jadi nonton. Kesal sama k riza, demo yang membuat mobil harus mutar sampe film 300 yang ingin ditonton saudah tidak ada lagi di sepanduk depan mall ratu indah. Nagabonar jadi dua, TMNT, babel, dan blood diamond menjadi pilihan. Agak ragu juga mo nonton yang mana pasalnya selera film kami rata-rata berbeda. Awalnya kami hampir pisah studio. Aku dan echy mo nonton babel atas pertimbangan sudah lama memang pengen nonton. (sebenarnya film ini udah lama aku tunggu, tapi kemudian gaungnya pun di ganti oleh nagabonar dan 300). Serta pem...

idealis vs pragmatis

ruang kuliah fis 3.115 entahlah...seperti berdebat kusir rasanya. tentang rating air mata dengan kreddibiltas wartawan. pengeksplotasian kemiskinan, penjualan airmata untuk memperoleh rating tinggi. yang katanya sebuah perpanjangan mata untuk melihat kemiskinan di sekitar kita. di satu sisi aku melihat, apakah dengan menjual airmata di media kemudian kita baru sadar bahwa ada kemiskinan di sekitar kita. apakah harus melewati media kemudian kita sadar bahwa ada orang yang kelaparan di sebelah rumah kita. media adalah merupakan konstruksi dari realitas yang sebenarnya. ia adalah realitas yang kesekian dari apa yang sesungguhnya terjadi. "media tidak menjual air mata. itu membantu kita mengugah apa yang terjadi. membantu kita memberikan informasi bahwa ada yang seperti itu" aku tidak sepakat. mungkin di sisi lain mereka memang memang membantu. memberikan uang lima sampai sepuluh juta merupakan hal yang besar untuk si miskin. tapi, kemudian apa yang di dapat media? tayang itu saa...