Skip to main content

Huufffttt....

November. Bulan romantis di penghujung tahun. Serupa kerlipan mata gadis remaja yang kekanak-kanakan. Lugu, menggemaskan, sedikit nakal, dan menggairahkan. November serupa perempuan setia yang tak pernah lelah menunggu lelakinya pulang ke rumah. Tak peduli hujan atau dingin. Ia tetap teguh berdiri mengantarmu ke penghujung tahun.

Setiap november menjelang, kita akan tersentak dan mengucapkan kalimat "waktu bergerak begitu cepat". Ujung tahun yang mampu membuat kita sejenak merefleksi apa saja yang telah kita lakukan. Mengecek kembali daftar resolusi yang kita buat di awal tahun. Beberapa tercapai tapi tak sedikit yang gagal. Kemudian kita kembali membuat list resolusi yang harus kita capai di tahun depan. Siklusnya tak berubah. Selalu seperti itu. 

November datang dalam rinai hujan. Tapi suhu udara terasa tetap hangat. Apakah bulan juga mengenal galau? Entahlah. Hujan bulan november menciptakan rindu pada segala hal yang berjarak. Baik geografis maupun secara hati. Pada masa lalu yang terbungkus oleh kenangan. November mengingatkanku pada beberapa tahun terakhir. Pada tiap kenangan yang kulalui di bulan ini. Mungkin manusia-manusia pembuat kenangan itu tak lagi mengingatnya, tapi aku selalu mampu mengandalkan daya ingatku. Segala hal serasa baru sedetik kemarin terjadi. Masih terasa di neuron otakku. Masih mampu aku ingat detailnya.

Aku merindukan masa lalu. Aku merindukan jarak terjauh yang tak mampu aku gapai. Hanya lantunan musik yang mampu membuatku merasakan sejenak meski tak pernah benar-benar nyata. Aku sendiri saat kembali ke masa lalu itu. Menyisakan mata yang basah yang perlu diseka. Kenangan-kenangan yang menari dipelupuk mata. Memenuhi dunia khayal. Melemahkan sekaligus menguatkan. Dan sebuah bisikan lirih, sebuah harapan semu agar bisa kembali ke masa itu. Membuatnya tidak terjadi agar aku tak perlu merindukan masa lalu.

Bagiku ada dua waktu untuk memulai hal baik. Saat ulang tahun dan saat tahun baru. Aku mencoba di ulang tahunku tapi gagal. Aku menunggu awal tahun ini. Memulai segala hal yang baik dan melangkah dengan kepala tegak dan menantang matahari. Aku tak ingin lagi menunduk atau tak berani menatap mata itu. Tak ada rasa sakit maupun kesengsaraan. 

November kali ini aku ingin mengemas masa lalu. Membuang ke tempat sampah hal-hal yang pantas dibuang. Membakar hal-hal yang pantas menjadi debu. Membuat resolusi baru. Memasukkan bahagia dalam salah satu daftarnya. 

November hujan. Tapi suhu tetap panas. Bahkan cuaca pun galau....
See the sunrise
Know it's time for us to pack up all the past
And find what truly lasts
If everything has been written, so why worry, we say
It's you and me with a little left of sanity
If life is ever changing, so why worry, we say
It's still you and I with silly smile as we wave goodbye
(Grew Older A Day, Dewi Lestari)

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Comments

Popular posts from this blog

Ara Belajar Ngomong

Serius Nulis Ara mulai suka ngoceh. Ada saja suara keluar dari mulutnya. Kadang jelas kadang juga tidak. Beberapa berhasil saya terjemahkan maksudnya. Beberapa mengalami missunderstand berujung pada rengekan atau aksi menarik tangan. Selain nonton lagu anak-anak, beberapa film anak-anak yang menurut saya cukup edukatif menjadi pilihan tontonannya. Saya memutarkan film Blue's Clues, Super Why, hingga Pocoyo. Serial Blue's Clues sudah kami tonton semua. Mulai dari sang pemilik Blue bernama Steve hingga beralih ke Joe adiknya di serial itu. Yang paling nyantol di kepalanya Ara adalah kata "think" sambil telunjuk memegang dahi. Itulah kata pertama yang ia ucapkan secara jelas setelah kata Mama dan Ayah. Entah kenapa kata ini yang melekat di kepalanya. Mungkin karena si Steve sangat aktraktif menyanyikan lagu jingle Blue's Clues terlebih dibagian "Sit down in thinking chair. Think, think, think". Ara juga suka bagian ketika surat datang. Dia akan i...

Kamu 9 Bulan dan Kita "Bertengkar"

Kamu 9 bulan. Apa yang kamu bisa? Merayap dengan gesit. Berguling-guling ke sana kemari. Duduk sendiri sekehendakmu. Tempat tidur telah kita preteli. Yang bersisa hanyalah kasur alas tidur kita yang melekat di lantai. Agar kamu bebas berguling dan merayap tanpa perlu khawatir gaya tarik bumi menarikmu. Hobiku adalah membiarkanmu bermain di lantai. Dari kasur turun ke ubin dingin. Sesekali memakai tikar, tapi akhir-akhir ini aku malas melakukannya. Lagian daya jangkaumu lebih luas dari tikar 2 x 2 meter. Kamu masuk hingga ke kolong meja. Tak tahu mencari apa. Tak jarang kamu membenturkan kepalamu. Di ubin atau dimana saja. Kubiarkan. Ukuranku adalah jika tidak membuatmu menangis artinya kamu tidak merasa sakit. Sakit itu ditentukan oleh diri sendiri. Saya hanya tak ingin memanjakanmu dengan mengasihimu untuk sebuah sakit yang bisa kamu hadapi sendiri. Mama keras padamu? Bisa jadi. Kamu mulai banyak keinginan. Mulai memperjuangkan egomu. Menangis jika Khanza merebut mainan dari tanganmu....

Norwegian Wood

Cukup melelahkan membaca Norwegian Wood karya Haruki Murakami. Buku yang telah kulihat wujudnya sejak tahun 2004 baru aku baca di tahun 2013. Saya tidak terlalu akrab dengan karya-karya Haruki Murakami. Buku Norwegian Wood ini adalah karyanya yang pertama saya baca.  Mengapa saya berkata buku ini cukup melelahkan? Karena buku ini bercerita tentang kematian dan sangkut pautnya dengan orang-orang yang ditinggalkan. Bukan kematian yang disebabkan sakit atau tua. Tapi kematian orang-orang muda yang memilih bunuh diri.  Bersetting tahun 1970an di Jepang, sang tokoh utama, Watanabe menceritakan kembali kisahnya. Ia bertemu kembali kekasih almarhum temannya yang memilih mati bunuh diri di usia 17 tahun. Sekalipun tidak akrab mereka selalu bersama. Berkeliling mengitari Tokyo tanpa tujuan. Hingga sang perempuan, Naoko masuk panti rehabilitasi gangguan jiwa. Ia lantas bertemu Midori, perempuan nyentrik yang selalu berkata seenak dia. Perempuan yang selalu jujur mengatakan apapun yang i...