Skip to main content

Posts

Showing posts from November, 2011

Ara Tengkurap

Kemarin malam ia memilih untuk tidak tidur. Meski sudah lewat jam tidur biasanya. Lewat isya ia masih saja terjaga. Padahal biasanya pukul 6.30 sore ia sudah terlelap. Saya sangat tahu siangnya ia sedikit tidur. Karena sepupu-sepupunya datang dan rumah begitu ribut. Tapi ia masih saja belum tidur. Ia juga tidak rewel untuk digendong. Ia asyik bermain di kasur. Berputar searah jarum jam atau pun sebaliknya. Untungnya ia memakai diaper sehingga saya tidak perlu begitu repot untuk menjaganya tetap berada di tikar dan tidak membasahi kasur dan sprei dengan pipis. Dia sibuk menggeliat-geliat. Memulintir badannya. Belajar balik kiri dan kanan. Sejak menyusuinya sambil tidur saya melatihnya untuk berbaring menyamping. Kemudian ia mulai mengangkat kakinya dan menyamping sendiri saat menyusui tanpa harus punggungnya diganjal pake bantal. Setengah badannya sudah ke berhasil menyamping. Tapi seperti zodiaknya Leo, sosok yang ambisius membuatnya ingin melebihi pencapaian untuk sekedar menyamping....

Dear Ara

Pagi ini melihatmu terbangun dan tersenyum. Ada aku di sampingmu. Tak ada tangis keras yang kesepian. Dirimu jujur akan setiap kesepian. Sejujur tangismu saat membutuhkanku. Ketika kupergi kamu protes, ketika aku mendekatimu kamu tersenyum lebar. Tak ada kepura-puraan padamu. Jujur dan begitu rapuh. Kamu menyadarkanku pada pilihan untuk berbahagia. Berhenti memikirkan hal-hal yang menyakiti diri dan membuat sedih. Berhenti membuang-buang waktu untuk sesuatu yang tak begitu berarti untuk dikenang. Berhenti memikirkan sesuatu yang mungkin tidak memberikan celah padanya agar diri kita masuk di dalamnya. Berhenti untuk larut dalam kondisi yang menyakitkan dan membeku. Terlalu sia-sia banyak waktu untuk berbahagia hanya untuk semua hal tersebut. Ada kamu dan orang-orang disekitar yang begitu menyenangkan dan begitu nyata. Membagi tawa dan candanya. Tanpa perlu lelah berimajinasi. Bahagia itu ternyata sederhana, melihatmu tersenyum kepadaku. Selamat hari saraswati sayang.Mom luv u.

Meet Esti Maharani

Baru saja saya menghempaskan tubuh di kasur di rumah kakakku yang beralamat Sudiang setelah menempuh waktu 4 jam dari Bone ketika saya menerima pesan text darinya. "Dwi, saya lagi di Makassar. Kamu di mana?" pengirim Esti PJTL 2006. Kubalas segera "Saya juga di Makassar. Kamu dimana?". Dan berbalas-balas smslah kami. Ia menjelaskan bahwa ia baru saja mendarat dan on the way menuju hotel tempatnya menginap. Ia sedang ada liputan musik di Makassar. Wah, sebuah kebetulan yang kemudian membawa kami berada di kota yang sama di waktu yang bersamaan. Esti Maharani, saya mengenalnya 5 tahun yang lalu. Disebuah pelatihan jurnalistik tingkat lanjut (PJTL) yang diadakan oleh Universitas Udayana, Bali. Kami sekamar. Anaknya ramah, suka tersenyum, dan chubby. Saat itu ia mewakili Majalah Balairung, Universitas Gajah Mada dan saya mewakili UKM Pers Universitas Hasanuddin. Dua minggu kami belajar tentang reportase lanjutan bersama rekan-rekan dari universitas lain. Setelah itu k...

Huufffttt....

November. Bulan romantis di penghujung tahun. Serupa kerlipan mata gadis remaja yang kekanak-kanakan. Lugu, menggemaskan, sedikit nakal, dan menggairahkan. November serupa perempuan setia yang tak pernah lelah menunggu lelakinya pulang ke rumah. Tak peduli hujan atau dingin. Ia tetap teguh berdiri mengantarmu ke penghujung tahun. Setiap november menjelang, kita akan tersentak dan mengucapkan kalimat "waktu bergerak begitu cepat". Ujung tahun yang mampu membuat kita sejenak merefleksi apa saja yang telah kita lakukan. Mengecek kembali daftar resolusi yang kita buat di awal tahun. Beberapa tercapai tapi tak sedikit yang gagal. Kemudian kita kembali membuat list resolusi yang harus kita capai di tahun depan. Siklusnya tak berubah. Selalu seperti itu.  November datang dalam rinai hujan. Tapi suhu udara terasa tetap hangat. Apakah bulan juga mengenal galau? Entahlah. Hujan bulan november menciptakan rindu pada segala hal yang berjarak. Baik geografis maupun secara hati. Pada mas...

Revolusi Tidak Lahir Dari Tempat Nyaman, Kawan!

Beberapa waktu lalu saya membaca tulisan seorang TKW Hongkong yang dititipkan di akun kompasiana Pipiet Senja. Disana ia menuliskan bagaimana cara pandang orang-orang terhadap TKW dan perlakuan yang mereka dapatkan. Media telah membentuk sterotipe tentang TKW dalam benak masyarakat Indonesia. Perempuan-perempuan yang memilih bekerja sebagai pembantu rumah tangga yang akrab dengan siksaan. Sungguh mengerikan gambaran tersebut. Bahkan itu pun yang ada dalam benak saya. Namun Lea Jaladara, seorang TKW di Hongkong berhasil menepis sterotipe itu tersebut. Pengalaman bekerja di negara orang mungkin tak pernah berjalan mulus namun ia berhasil belajar dari keadaan tersebut. Ia belajar menulis di Forum Lingkar Pena Hongkong dan berhasil menuliskan sebuah buku. Pada Ubud Writer Festival 2011 lalu ia berhasil menjadi salah satu penulis yang diundang untuk berbagi cerita mengenai proses kepenulisannya. Mungkin hal-hal besar hanya mampu lahir dari segala hal yang tak nyaman. Karena dalam ketidakny...

Lemari

Kita punya barang baru di kamar. Sebuah lemari. Sederhana memang. Tapi setelah hampir berbulan-bulan kita menyimpan pakaian yang kita pakai di sebuah koper. Kita layaknya dua orang tamu yang tinggal di rumah ini yang sewaktu-waktu akan berkemas dan mmbawa semua pakaian. Mungkin benar kita akan segera berkemas, tapi rumah ini adalah rumah kita juga. Rumah yang memberikan hangat meski kadang kita sampai kepanasan karenanya. Rumah yang kita sebut tempat kembali. Kita akan selalu kembali ke sini, karenanya aku membeli lemari. Untuk menyimpan baju-baju kita. Tepatnya memesan lemari khusus buat kamar kita. Lemarinya bukan sembarang lemari. Modelnya berbeda dengan lemari-lemari lain. Etta menawari untuk membeli lemari yang biasa saja. Tapi aku menolak. Lemari biasa hanya untuk pakaian. Sedangkan kita akan memakainya tak cuma untuk menyimpan pakaian. Tapi juga buku-buku. Buku-buku yang memenuhi meja dan laci meja rias. Berdebu dan tak indah. Karena itu aku memesan khusus. Modelnya setengah lem...

Life is Beautiful, Ara

Life is beautiful adalah sebuah film karya Roberto Benigni. Menceritakan tentang seorang ayah (Guido) yang ditawan di kamp konsetrasi Nazi karena ia adalah Yahudi Jerman. Di kamp konsetrasi Nazi Guido harus menyembunyikan anaknya ( Giosue) dari tentara-tentara Nazi. Guido yang diperankan oleh Roberto Benigni mencuri makanan untuk Giosue, menceritakannya humor agar anaknya tidak menangis. Guido bahkan meyakinkan anaknya bahwa di kamp itu mereka sedang melakukan permainan mengumpulkan poin. Siapa saja yang berhasil mendapatkan 1000 poin maka memenangkan sebuah mobil tank. Peraturan permainannya adalah saat Giosue tak boleh menangis, tidak boleh mengeluh untuk bertemu ibunya, tidak boleh mengeluh soal makanan atau mengeluh lapar. Ketika ia melakukannya maka poinnya berkurang. Giosue pun harus terus bersembunyi dari para penjaga-penjaga kamp agar menghasilkan poin. Sang ayah menjelaskan bahwa anak-anak lain pun berusaha bersembunyi untuk mengumpulkan poin dan para penjaga-penjaga Nazi itu...