Skip to main content

Oven Tangkring dan Grandma Cake



Sebelum tahun baru oven tangkring kekinian yang saya pesan di Bandung tiba. Warnanya baby pink yang lembut bikin enak dan semangat bikin kuenya. Sayangnya, baru kesampaian dicoba pake hari ini. Karena baru mood dan ada waktu luang.

Memanggang pake oven tangkring rada-rada cemas juga. Takutnya terlalu panas jadinya gosong. Untuk pertama kali setelah dibeli oven tangkring harus dipanaskan dulu agak bau-bau sengnya ilang. Pada proses ini sering kecium bau tidak enak. Mbak yang jual nyaranin pake daun pandan agar bau dari oven terbakar bisa diminimalisir. Ternyata manjur. Sembari memanggang oven baru yang tercium bau pandan yang mewangi. Ara ga jadi protes soal bau tak sedap.

Nah pada percobaan pertama saya membuat kue kering coco chip. Membuat kue kering selalu membuatku mengingat masa kanak-kanak saat menjelang lebaran. 10 hari sebelum lebaran, mamaku akan mengeluarkan oven tangkringnya beserta cetakan kue yang sebaskom banyaknya.

Dia akan mencampur mentega, telur, gula halus dan kemudian memberinya bubuk coklat. Berikutnya mencampur dengan terigu agar adonannya padat. Bagian favoritku adalah ketika dicetak dan dihiasi. Meises selalu menjadi hiasan favorit. Waktu kecil saya selalu terobsesi memberikan meises di seluruh permukaan kue. Mamaku selalu melarangnya. Ketika dewasa saya baru sadar kalo kue jadi terlihat norak. 

Menghiasi dengan garpu juga menjadi pilihan. Kadang kalo mo cepat saya hanya membuat lubang-lubang kecil dipermukaan kue. Mamaku akan kembali menusuk-nusuk kue itu dengan garpu agar lubang-lubang kecil menutup seluruh permukaan. Ara kembali melakukan yang seperti kulakukan dulu dan saya melakukan seperti yang mamaku lakukan dulu.

Saya tidak pernah memanggang kue kering waktu membuat kue bareng mamaku. Memanggang kue selalu menjadi tanggung jawabnya. Karena saya, sang anak terlalu malas buat berlama-lama dekat oven panas. Jadi oven tangkring dan kompor selalu membuatku cemas meski membuat kue bukan hal baru buatku. Jadi untuk pertama kalinya saya berhasil membuat kue kering ya saat ini. 

Ga terlalu buruk buat pemula. Bahkan tak ada kue yang gosong. Matangnya pun sesuai. Menurut tips memanggang kue, bagian paling bawah oven menjadi bagian yang paling jarang dipake buat bakar kue. Ternyata tips itu ga mempan buat saya. Malah bagian paling bawah itulah yang membuat kue saya cukup cepat matang. Mungkin karena api yang saya pakai tidak terlalu gede maka panas di bawah oven tidak membuat kue gosong.


Kata tim ciciper, kue kering yang saya buat enak. Berhasil pokoknya. Ara malah menyebutnya grandma cake. Mungkin karena waktu dia membantu bikin kue, saya cerita bahwa saya belajar bikin kue dari mama saya. 

Eniwey, berikutnya saya berniat bikin pizza, bolu karemel, serta chinamon roll. Doakan saya ya ^^.

Bogor, 5 Januari 2018

Comments

  1. Semangat semangaaat mm Ara...jangan lupa aku masukkin di tim ciciper yaa😄😄

    ReplyDelete
    Replies
    1. masih lebih enak kue buatan ummi lah. hehehehee

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Seketika Ke Sukabumi

twit ekspektasi vs twit realita Setelah kelelahan karena hampir seharian di Mal sehabis nonton Dr.Dolittle pada hari rabu, dengan santai saya mencuitkan kalimat di Twitter "karena udah ke mal hari Rabu. Weekend nanti kita berenang saja di kolam dekat rumah”. Sebuah perencanaan akhir pekan yang sehat dan tidak butuh banyak biaya. Saya sudah membayangkan setelah berenang saya melakukan ritual rebahan depan TV yang menayangkan serial Korea sambil tangan skrol-skrol gawai membaca utasan cerita yang ga ada manfaatnya.  Sebuah perencanaan unfaedah yang menggiurkan. Tiba-tiba Kamis malam suami ngajakin ke Taman Safari liat gajah pas akhir pekan. Mau ngasih liat ke Anna yang udah mulai kegirangan liat binatang-binatang aneka rupa. Terlebih lagi sehari sebelumnya kami menonton film Dr.Dolittle yang bercerita tentang dokter yang bisa memahami bahasa hewan. Sekalian  nginap di hotel berfasilitas kolam air panas. Hmmm. Saya agak malas sih. Membayangkan Taman Safari yan...

antusiasme berfoto....

Sebagai prasyarat untuk mendapat izin ujian selain kelenagkapan berkas, calon sarjana perlu menyertakan foto berjas atau berkebaya. Beranjak dari sinilah cerita hari ini bergulir. “izin ujian itu lama loh keluarnya” kata Santi. ( wahhh…aku harus segera mengurusnya ) Tapi aku belum berfoto. Merujuk pada dua orang kakak perempuanku yang telah berhasil menyelesaikan kuliah S1-nya dan telah melalui sesi berfoto untuk ujian dan wisuda, kepada merekalah aku meminta petunjuk. Dan hasilnya….keduanya berfoto menggunakan kebaya untuk ijazahnya. Meski kak Ipah memakai jilbab, ternyata untuk tampil cantik di ijazah ia rela untuk melepas jilbabnya dan bersanggul kartini. Dan atas petunjuk inilah aku pun kemudian mempertimbangkan hal tersebut. Dengan beberapa pertimbangan : Pertama, Dwi kan tidak berjilbab. Teman-teman yang pake jas rata-rata yang berjilbab. Kedua, Inikan ijazah untuk S1, tak ada orang yang memiliki gelar S1 dua kali. Mungkin ada, tapi mereka devian. (...

Tentang Etta

Aku mungkin terlalu sering bercerita tentang ibu. Ketika ia masih hidup hingga ia telah pulang ke tanah kembali aku selalu mampu menceritakannya dengan fasih. Ia mungkin bahasa terindah yang Tuhan titipkan dalam wujud pada tiap manusia. Tapi izinkan kali ini aku bercerita tentang bapak. Pria terdekat yang selalu ada mengisi tiap halaman buku hidupku.Pria yang akrab kusapa dengan panggilan Etta, panggilan ayah pada adat bugis bangsawan. Kami tak begitu dekat. Mungkin karena perbedaan jenis kelamin sehingga kami taklah sedekat seperti hubungan ibu dangan anak perempuannya. Mungkin juga karena ia mendidikku layaknya didikan keluarga bugis kuno yang membuat jarak antara Bapak dan anaknya. Bapak selalu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Pemegang keputusan tertinggi dalam keluarga. Berperan mencari nafkah untuk keluarga. Meski Mama dan Ettaku PNS guru, tapi mereka tetap bertani. Menggarap sawah, menanam padi, dan berkebun. Mungkin karena mereka dibesarkan dengan budaya bertani dan ...