Aku menyaksikan Trailer film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta dua bulan yang lalu. Apa yang membuat ingin menontonnya? Karena ia diproduksi oleh Mizan Production. Rumah produksi yang juga menelurkan film Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Garuda di Dadaku. Aku menonton kesemua film itu tanpa ada gurat kecewa. Beranjak dari pengalaman menonton beberapa film mizan maka aku mmasukkan film 3 hati,2 Dunia,1 Cinta ini dalam daftar film yang perlu aku tonton.
Tema utama film ini pun sangatlah beda dengan tema-tema film Indonesia yang sedang menjamur seperti Hantu-hantuan dan komedi-komedi lucu nan vulgar. Film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta diangkat dari novel Dwilogi karya Ben Sohib, “The Da Peci Code “dan “Balada Rosyid dan Delia”. Film ini menceritakan tentang Rosyid,anak keturunan Arab yang menyukai sastra, menggemari Budayawan WS Rendra, dan berambut kribo. Berbeda persepsi dengan bapaknya yang menganggap bahwa beragama adalah menggunakan baju koko putih dan peci putih. Rosyid menganggap berpeci hanyalah sebuah symbol dan warisan leluhur. Bukan sebagai tanda orang beragama.
Permasalahan memuncak ketika Rosyid berteman dekat dengan Delia, perempuan berdarah menado yang beragama katholik. Perbedaan keyakinan membuat hubungan keduanya tak berjalan lancar. Orang tua Rosyid dan delia berusaha memisahkan keduanya. Seperti Abahnya Rosyid yang berusaha mencarikan Istri untuk Rosyid dan usaha keluarga Delia untuk menyekolahkannya ke Amerika.
Film ini dikemas dalam bahasa visual yang cantik. Perbedaan keyakinan dan bagaimana proses saling menghormati itu digambarkan dalam film ini. Semisalnya ketika Rosyid menunggu Delia di luar gereja atau pun sebaliknya. Juga ketika Delia ikut menonton tarian Zapin (tarian arab) bersama Rosyid. Gambar The last Supper dan gambar bunda Maria terekam dengan begitu indah di film ini. Disini disajikan pula bagaimana masyarakat terlalu gampang menganggap sesuatu sesat jika bersimpangan dari sesuatu yang mayoritas.
Cinta tak mengenal warna kulit, suku,ras, dan tingkat social. Tak ada yang salah dengan cinta. Dan tak ada yang salah dengan perbedaan. Perbedaan memberi warna yang indah dan member kita persfektif lain dalam melihat hidup.
Tiga hati, dua dunia,satu cinta ini membuatku berpikir ulang bagaimana manusia memahami sebuah agama dan keyakinan. Mungkin ada saat dimana saya menjdi begitu sok tahu akan agama padahal sesungguhnya aku pun tak mengetahui apapun. Pengetahuan manusia dan pemahaman manusia akan Tuhan adalah sebuah upaya yang terus berproses. Agama dan keyakinan adalah jalan manusia untuk mencapai ruh keilahian. Hidup ini adalah untuk terus memahami dan mempelajari bahasa-bahasa Tuhan.
Puisi-puisi WS Rendra memberikan rasa yang lain dalam film ini. Seperti puisi “Surat kepada Bunda”. Rosyid digambarkan sebagai penyair yang kocak tanpa kesan serius. Tak seperti gambaran penyair yag selalu ada dalam benakku, sosok pendiam, serius, dan miskin rasa humor.
Ending film ini ditutup dengan tarian Zapin antara Delia dan Rosyid. Dengan sebuah kalimat yang menjadi jawaban tentang hidup ini “Who knows”. Silakan simpulkan sendiri:).
foto : www.mizan.com
Tema utama film ini pun sangatlah beda dengan tema-tema film Indonesia yang sedang menjamur seperti Hantu-hantuan dan komedi-komedi lucu nan vulgar. Film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta diangkat dari novel Dwilogi karya Ben Sohib, “The Da Peci Code “dan “Balada Rosyid dan Delia”. Film ini menceritakan tentang Rosyid,anak keturunan Arab yang menyukai sastra, menggemari Budayawan WS Rendra, dan berambut kribo. Berbeda persepsi dengan bapaknya yang menganggap bahwa beragama adalah menggunakan baju koko putih dan peci putih. Rosyid menganggap berpeci hanyalah sebuah symbol dan warisan leluhur. Bukan sebagai tanda orang beragama.
Permasalahan memuncak ketika Rosyid berteman dekat dengan Delia, perempuan berdarah menado yang beragama katholik. Perbedaan keyakinan membuat hubungan keduanya tak berjalan lancar. Orang tua Rosyid dan delia berusaha memisahkan keduanya. Seperti Abahnya Rosyid yang berusaha mencarikan Istri untuk Rosyid dan usaha keluarga Delia untuk menyekolahkannya ke Amerika.
Film ini dikemas dalam bahasa visual yang cantik. Perbedaan keyakinan dan bagaimana proses saling menghormati itu digambarkan dalam film ini. Semisalnya ketika Rosyid menunggu Delia di luar gereja atau pun sebaliknya. Juga ketika Delia ikut menonton tarian Zapin (tarian arab) bersama Rosyid. Gambar The last Supper dan gambar bunda Maria terekam dengan begitu indah di film ini. Disini disajikan pula bagaimana masyarakat terlalu gampang menganggap sesuatu sesat jika bersimpangan dari sesuatu yang mayoritas.
Cinta tak mengenal warna kulit, suku,ras, dan tingkat social. Tak ada yang salah dengan cinta. Dan tak ada yang salah dengan perbedaan. Perbedaan memberi warna yang indah dan member kita persfektif lain dalam melihat hidup.
Tiga hati, dua dunia,satu cinta ini membuatku berpikir ulang bagaimana manusia memahami sebuah agama dan keyakinan. Mungkin ada saat dimana saya menjdi begitu sok tahu akan agama padahal sesungguhnya aku pun tak mengetahui apapun. Pengetahuan manusia dan pemahaman manusia akan Tuhan adalah sebuah upaya yang terus berproses. Agama dan keyakinan adalah jalan manusia untuk mencapai ruh keilahian. Hidup ini adalah untuk terus memahami dan mempelajari bahasa-bahasa Tuhan.
Puisi-puisi WS Rendra memberikan rasa yang lain dalam film ini. Seperti puisi “Surat kepada Bunda”. Rosyid digambarkan sebagai penyair yang kocak tanpa kesan serius. Tak seperti gambaran penyair yag selalu ada dalam benakku, sosok pendiam, serius, dan miskin rasa humor.
Ending film ini ditutup dengan tarian Zapin antara Delia dan Rosyid. Dengan sebuah kalimat yang menjadi jawaban tentang hidup ini “Who knows”. Silakan simpulkan sendiri:).
foto : www.mizan.com
no, it's not drama.. :(
ReplyDeletesorry to hear about your mom