Skip to main content

Surat Buat Kakak



Dear Kakak...

Sekali pernah, di masa kita kecil, pada sebuah bulan Ramadhan seperti saat ini, kita berkelahi. Entah karena apa. Yang paling kuingat saat itu piring makan malam yang ada di tanganku berisi kepiting bekas makanku berakhir di atas kepalamu. Bagaimana akhir pertengkaran itu, rasanya tidak begitu penting. 

Saya tidak pernah mengingat kita menjadi kawan yang cukup dekat. Jarak umur kita terlampau jauh. Aku kanak-kanak ketika kamu beranjak kuliah. Kemudian kita hanya bertemu tiap kamu pulang kampung. Kemudian saya tamat SMA dan mulai kuliah. Kamu hadir kala aku menjalani ospek. Memenuhi semua tuntutan benda-benda aneh yang harus aku bawa di pukul 5 pagi. Kemudian kamu mulai bekerja di daerah lain dan kita lagi-lagi tidak memiliki banyak waktu bersama.
Sumber Gambar Di Sini

Aku mengenang saat itu seperti tahunan waktu yang telah lampau. Kita bertumbuh menjadi dewasa. Memiliki keluarga dan anak. Kemudian kita hanya bertemu secara berkala. Tidak bercerita banyak. Hanya tentang anak dan ponakan. Tiap kita bertemu, kita berbagi suka. Di hari-hari perayaan kita berbagi tawa. Di hari-hari yang sedih kita saling menguatkan. Kita menangis bersama dan saling berkata “Tidak apa-apa. Inilah hidup”. 

Kemudian hari-hari kembali biasa dan kita hanya bertukar sapa. Hingga sebuah kecurigaan yang butuhkan pertimbangan-pertimbangan. Aku memberi pun beberapa masukan. Tetaplah positif. Kamu pun mengikuti saranku. Kita kembali diam. Berikutnya masalahmu lebih besar. Kecurigaanmu mendapatkan petunjuk-petunjuk yang menguak tabir keraguanmu. Kamu nelangsa. Bingung dan sedih. Beberapa jalan menjadi pilihanmu. Jalan pintas yang cukup terjal atau jalan sabar yang butuh hati yang kuat. Kamu memilih sabar. Aku mendukungmu.

Kemudian sebuah tabir yang lain terkuak. Kamu kembali menangis. Kali ini aku ikut marah. Menyumpah dan mengutuk. “Pilih jalan pintas saja”, saranku yang agak memaksa. Tapi kamu memilh bertahan. Meski orang-orang menganggapmu tolol dengan pilihan-pilihan itu. Aku pun kecewa. Tapi aku berusaha memahamimu. Dirimu adalah yang paling paham. Aku hanyalah orang yang memandang dari jauh dan menghakimimu dengan sebutan bodoh.

 Tapi, aku menghormati pilihanmu. Kamu menjalaninya dan kamu siap dengan segala konsekuensi. Yang menjadi tugasku sekarang adalah mendukungmu. Menyediakan waktu kapan pun kamu butuh. Menyediakan bahu untuk bersandar. Kamu tak bisa menjadi di hari-hari mendatang berapa banyak tabir yang menanti untuk kamu ketahui (yang kuharap tak ada lagi), aku takkan mengatakan “I told you so”. Semoga aku tidak pernah berada pada barisan terdepan yang mengatakan “Kan, sudah aku bilang”. Karena aku berusaha memahamimu. Memahami posisimu. Memahami hidupmu. Butuh sebuah keberanian dan hati yang kuat untuk memilih jalanmu. Maka aku tak punya hak untuk menghakimimu.

Aku mendoakanmu untuk bahagiamu selalu, hari ini, esok, dan seterusnya. Jika kamu bahagia, aku tenang. 

Bogor, 13 Juli 2015

Comments

Popular posts from this blog

Alas Kaki Nyaman, Hati Senang

  sumber foto : Facebook Be.Bob Kata seorang teman memilih alas kaki   sama seperti memilih pasangan hidup,   harus cari yang nyaman. Alas kaki nyaman buat saya adalah sandal jepit, tapi tidak semua kondisi pas dengan sandal jepit.. Saat kuliah saya pun dituntut memakai sepatu. Berhubungan karena ngekost maka alas kaki hendaknya memiliki syarat murah, kuat, dan tahan lama serta pas untuk model casual , feminine , atau sporty . Pilihan saya jatuh pada flat shoes . Karena kostku lumayan dekat dengan kampus, saya cukup jalan kaki. Sepatu yang saya kenakan harus bercumbu dengan berdebu dan beladus karena sinar matahari. Paling menyedihkan ketika musim hujan dan air menggenang, saya mengakalinya dengan jalan kaki menggunakan sandal jepit dan memakai sepatu saat tiba di kampus. Tak jarang saya harus menanggung malu karena persoalan alas kaki.  Pernah sekali saya diusir saat mengenakan sepatu sandal di perkuliahan yang dosennya mengharuskan menggunakan...

Di Braga Saya Jatuh Cinta Pada Bandung

Hampir 10 tahun tinggal di Bogor, sepertinya hanya tiga kali saya ke Bandung. Di tiap kedatangan itu Bandung selalu memberikan kesan tersendiri buat saya. Kali pertama ke Bandung, tahun 2013. Kala itu belum pindah ke Bogor. Saya, suami, dan Ara yang masih berusia 3 tahun menghadiri acara nikahan teman di Jogjakarta. Ala backpacker kami lanjut naik kereta ke Bandung. Perjalanan yang memakan waktu cukup lama yang bikin pantat tepos. Belum lagi sambil momong anak yang pastinya ga begitu nyaman duduk di kereta. Dalam kelelahan kami menjelajah Bandung. Belum ada gocar atau grabcar kala itu. Seingatku kami hanya ke gedung sate. Itu pun sambil jalan kaki. Bandung ini first impression tidak berhasil membuat saya kagum. Kami ke Cihampelas Walk. Selain malnya yang berkonsep eco friendly, tidak ada yang istimewa. Bandung failed to make me wowing.  Perjalanan kedua kala Anna hampir dua tahun. Pakai mobil via Cianjur. Berangkat jam 5 pagi. Ketemu macet di Cianjur. Jam masuk kerja para peg...

The Intimate Lover

sumber foto : www.amazon.com Apa yang akan kamu lakukan jika bertemu Mr. Rightman sesaat sebelum kamu menikah? Ms. Girl, perempuan yang telah bertunangan bertemu dengan Mr. Boy disuatu hari di dalam lift. Hanya mereka berdua di dalam lift yang meluncur turun dari lantai 20. "Jika tidak ada orang yang bersama kita dilift ini hingga lantai dasar, maka aku akan mentraktirmu minum"kata pria itu. Sayang, sang wanita memilih menginterupsi lift tersebut. Berhenti satu lantai sebelum lantai tujuan mereka dan memilih pergi. Tapi gerak bumi mendekatkan mereka. Tak berselang waktu mereka kembalib bertemu dan saling bercakap. Tak bertukar nama, memilih menjadi orang asing bagi masing-masing. Bertemu, berkenalan, dan melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama. Menyerahkan pada semesta kapan mereka hendak berpisah. Namun, ketika semesta mengharuskan mereka berpisah, dua orang tersebut telah saling jatuh cinta. Seberapa pun mereka berusaha berpisah, hati mereka tetap saling ...