Skip to main content

Saya Membayangkan Menontonnya Bersama Ema

Dear Ema...

Saya baru saja menyelesaikan film Legends of the fall. Film yang selama ini kita diskusikan di twitter. Saya tak pernah benar-benar memperhatikan film ini. Selama ini saya hanya menontonnya sebatas film di televisi penuh dengan iklan yang diputar tengah malam. Mungkin karena kita sempat menyinggungnya di twitter beberapa waktu lalu, maka saya menonton lagi film ini.

Saya tak ingin membagi ceritanya di sini. Saya yakin kamu sangat paham film ini. Saya hanya membayangkan bagaimana jika kita menontonnya bersama. Saya membayangkan pada scene-scene tertentu kita akan sama-sama berteriak sambil berkata "saya paham rasanya". Perhatian saya terpusat pada tokoh Suzannah dan Tristan. Love is tragedy.

Sosokmu siapa di tokoh ini? Suzannah? Ah, kamu memilih jadi Tristan. Sosok tangguh yang bisa menangis. Perpaduan antara Legolas dan Aragorn mungkin. Tristan lebih dari dua cowok itu. Ia mampu membunuh tapi juga bisa menangis. Owww....setiap perempuan kupikir mencintai lelaki dengan kombinasi itu.

Saya bisa merasakan pedihnya menjadi Suzannah. Dialog ketika ia menemui Tristan di penjara kadang juga berkelebat di benakku. Mungkin seperti itulah yang kita maksud dengan mengirim kutukan. Membayangkan hal-hal di luar kemampuan kita dan tak menyangka itu menjadi nyata. Ketika ia memilih bunuh diri, mungkin hanya itu satu-satunya jalan untuk menyerah pada keputusasaan. Menyerah pada cinta yang tak berujung. Cinta yang tak pernah berakhir

Pelajaran moral dari film ini adalah setiap orang bisa menikah dengan siapa pun, tapi cinta hanya berlabuh pada orang-orang terpilih. Anyway, one last question from me, have u ever think like Suzannah? (*)

Comments

  1. Ara.... belum lihat suratnya kah?

    ReplyDelete
  2. Anonymous1/06/2013

    Tristan jahat, masa disuruh suzannah menikah sama orang lain... padahal spiji cinta sejati huaaaaa... *embermanaember
    @ermus

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Alas Kaki Nyaman, Hati Senang

  sumber foto : Facebook Be.Bob Kata seorang teman memilih alas kaki   sama seperti memilih pasangan hidup,   harus cari yang nyaman. Alas kaki nyaman buat saya adalah sandal jepit, tapi tidak semua kondisi pas dengan sandal jepit.. Saat kuliah saya pun dituntut memakai sepatu. Berhubungan karena ngekost maka alas kaki hendaknya memiliki syarat murah, kuat, dan tahan lama serta pas untuk model casual , feminine , atau sporty . Pilihan saya jatuh pada flat shoes . Karena kostku lumayan dekat dengan kampus, saya cukup jalan kaki. Sepatu yang saya kenakan harus bercumbu dengan berdebu dan beladus karena sinar matahari. Paling menyedihkan ketika musim hujan dan air menggenang, saya mengakalinya dengan jalan kaki menggunakan sandal jepit dan memakai sepatu saat tiba di kampus. Tak jarang saya harus menanggung malu karena persoalan alas kaki.  Pernah sekali saya diusir saat mengenakan sepatu sandal di perkuliahan yang dosennya mengharuskan menggunakan...

The Intimate Lover

sumber foto : www.amazon.com Apa yang akan kamu lakukan jika bertemu Mr. Rightman sesaat sebelum kamu menikah? Ms. Girl, perempuan yang telah bertunangan bertemu dengan Mr. Boy disuatu hari di dalam lift. Hanya mereka berdua di dalam lift yang meluncur turun dari lantai 20. "Jika tidak ada orang yang bersama kita dilift ini hingga lantai dasar, maka aku akan mentraktirmu minum"kata pria itu. Sayang, sang wanita memilih menginterupsi lift tersebut. Berhenti satu lantai sebelum lantai tujuan mereka dan memilih pergi. Tapi gerak bumi mendekatkan mereka. Tak berselang waktu mereka kembalib bertemu dan saling bercakap. Tak bertukar nama, memilih menjadi orang asing bagi masing-masing. Bertemu, berkenalan, dan melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama. Menyerahkan pada semesta kapan mereka hendak berpisah. Namun, ketika semesta mengharuskan mereka berpisah, dua orang tersebut telah saling jatuh cinta. Seberapa pun mereka berusaha berpisah, hati mereka tetap saling ...

Nomaden

Ilustrasi Perlu mengalami kepergian untuk dapat meresapi sebuah kepulangan. Dan kadang kepergian itu serupa perjalanan tak tentu arah dan berpindah. Merasakan nomaden. Tak hanya nomad di alam materi namun juga di alam jiwa. Nomad serupa pengembaraan dimana kamu tak menetap di sebuah tempat. Kamu berpindah. Bergerak. Setiap hari adalah sebuah kepergian dan hidup adalah sebuah jalan yang perlu ditempuh. Seperti sebuah teka-teki labirin yang sering aku temukan di majalah atau bungkus kemasan makanan. Pertanyaannya adalah membantu sang tokoh kartun dari awal labirin untuk sampai dirumahnya dengan jalan berliku. Sangat mudah menebaknya. Otak jaman SDku mampu menjawabnya apalagi jika aku gunakan otakku yang sekarang. Yang telah dipenuhi hal-hal yang lebih rumit dari sekadar gambar labirin di majalah anak-anak. Labirin di majalah itu gampang. Aku bisa melihat semua kemungkinan jalannya. Jika aku tersesat aku dengan mudah untuk kembali ke awal dan mencari alterative lain. Namun soal tek...