Skip to main content

Aku Dan Sebuah Rencana Yang (Belum) Terlaksana



Mungkin aku adalah satu dari sedikit orang yang begitu senang melihat komenku di cetakan pertama Perahu Kertas-nya Dee. Cukup membuatku tertegun sejenak. Siapalah aku yang hanya menjadi satu dari begitu banyak penyuka tulisan Dee. Siapalah aku yang kemudian bias ikut nampang nama di bukunya yang begitu menyenangkan di baca.

Aku merasa seperti para penulis atau orang-rang terkenal yang memberi testimony pada karya tulisan seseorang. Mungkin sejenak aku perlu berbangga. Tapi apakah aku harus berpuas pada sekedar komen di buku se popular Dee.

Aku pun harus bias menuliskan sebuah cerita yang suatu saat nanti Dee berkomentar di dalam lembarannya. Aku pun harus memiliki setidaknya satu buah karya orisionil yang datang dari hati tanpa beban tugas bahwa ini sebuah persyaratan lulus kuliah laiknya skripsi.

Ratusan ide bekelebat diotak kecilku. Tiap saat, tiap waktu. Tapi aku selalu tak mampu melihat wujudnya dalam sebuah tulisaan panjang yang bertutur. Aku tak mau hanya berpuas diri dalam kumpulan tulisan atau kumpulan puisi. Aku selalu ingin bias melihat namaku satu-satunya terpampang di sampul buku itu. Rencana itu telah ada sejak dulu. Sejak aku SMA, sejak aku mulai menulis buku harian.

Tiap tahun aku selalu merencanakan membuat setidaknya satu buah kisah saja. Tapi hari berlalu dan bulan berjalan resolusi itu tak pernah benar-benar terjadi. Selalu ada saja permaafan dan sejuta alas an mengapa kisah itu tak dituliskan dengan tuts-tuts computer.Sibuk kerjalah tak ada waktu. Sampai-sampai k yusran mengatakan jangan tunggu mood, tuliskan. Ancaman pun diberikannya ”kalo nanti kita sudah menikah. Dwi tidak usah kerja. Dwi cukup di rumah dan menulis buku. Setiap tahun harus ada dua buku yang dihasilkan. Awas kalo ada alas an lagi”.

Hahahahaha. Mungkin aku sudah terlalu sering merencanakan ini dan tak pernah berhasil. Mungkin aku harus berfokus seperti Dee yang menyelesaikan Perahu kertas dalam sebuah karantina berhari-hari. Mungkin gaya menulis seperti itu yang aku butuhkan.

Tapi sesekali aku harus mampu melawan sejuta alas an. Melawan semua Mood dan sejuta kompromi yang tak pernah membuat karyaku lahir. Aku telah sampai pada kesimpulan bahwa menulis adalah sebuah jalan panjang untuk menjadi eksis. Ada dua pilihan di dalamnya menggandung dan melahirkannya atau mungkin keguguran.
Tapi semua berharap tiap karya bisa dilahirkan ke bumi ini……

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Alas Kaki Nyaman, Hati Senang

  sumber foto : Facebook Be.Bob Kata seorang teman memilih alas kaki   sama seperti memilih pasangan hidup,   harus cari yang nyaman. Alas kaki nyaman buat saya adalah sandal jepit, tapi tidak semua kondisi pas dengan sandal jepit.. Saat kuliah saya pun dituntut memakai sepatu. Berhubungan karena ngekost maka alas kaki hendaknya memiliki syarat murah, kuat, dan tahan lama serta pas untuk model casual , feminine , atau sporty . Pilihan saya jatuh pada flat shoes . Karena kostku lumayan dekat dengan kampus, saya cukup jalan kaki. Sepatu yang saya kenakan harus bercumbu dengan berdebu dan beladus karena sinar matahari. Paling menyedihkan ketika musim hujan dan air menggenang, saya mengakalinya dengan jalan kaki menggunakan sandal jepit dan memakai sepatu saat tiba di kampus. Tak jarang saya harus menanggung malu karena persoalan alas kaki.  Pernah sekali saya diusir saat mengenakan sepatu sandal di perkuliahan yang dosennya mengharuskan menggunakan...

The Intimate Lover

sumber foto : www.amazon.com Apa yang akan kamu lakukan jika bertemu Mr. Rightman sesaat sebelum kamu menikah? Ms. Girl, perempuan yang telah bertunangan bertemu dengan Mr. Boy disuatu hari di dalam lift. Hanya mereka berdua di dalam lift yang meluncur turun dari lantai 20. "Jika tidak ada orang yang bersama kita dilift ini hingga lantai dasar, maka aku akan mentraktirmu minum"kata pria itu. Sayang, sang wanita memilih menginterupsi lift tersebut. Berhenti satu lantai sebelum lantai tujuan mereka dan memilih pergi. Tapi gerak bumi mendekatkan mereka. Tak berselang waktu mereka kembalib bertemu dan saling bercakap. Tak bertukar nama, memilih menjadi orang asing bagi masing-masing. Bertemu, berkenalan, dan melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama. Menyerahkan pada semesta kapan mereka hendak berpisah. Namun, ketika semesta mengharuskan mereka berpisah, dua orang tersebut telah saling jatuh cinta. Seberapa pun mereka berusaha berpisah, hati mereka tetap saling ...

Di Braga Saya Jatuh Cinta Pada Bandung

Hampir 10 tahun tinggal di Bogor, sepertinya hanya tiga kali saya ke Bandung. Di tiap kedatangan itu Bandung selalu memberikan kesan tersendiri buat saya. Kali pertama ke Bandung, tahun 2013. Kala itu belum pindah ke Bogor. Saya, suami, dan Ara yang masih berusia 3 tahun menghadiri acara nikahan teman di Jogjakarta. Ala backpacker kami lanjut naik kereta ke Bandung. Perjalanan yang memakan waktu cukup lama yang bikin pantat tepos. Belum lagi sambil momong anak yang pastinya ga begitu nyaman duduk di kereta. Dalam kelelahan kami menjelajah Bandung. Belum ada gocar atau grabcar kala itu. Seingatku kami hanya ke gedung sate. Itu pun sambil jalan kaki. Bandung ini first impression tidak berhasil membuat saya kagum. Kami ke Cihampelas Walk. Selain malnya yang berkonsep eco friendly, tidak ada yang istimewa. Bandung failed to make me wowing.  Perjalanan kedua kala Anna hampir dua tahun. Pakai mobil via Cianjur. Berangkat jam 5 pagi. Ketemu macet di Cianjur. Jam masuk kerja para peg...